Setelah baca artikel Ambil KPR di Tanah Rantau: Sebuah Keputusan Berujung Penyesalan, bukannya pencerahan yang saya dapatkan, justru kebingungan. Bingungnya lebih kek “kok bisa sih sebelum KPR nggak kepikiran sama sekali?”
Saya pelaku KPR, sama seperti suami si penulis. Saya tahu betul kekurangan, kelebihan, kerugian, dan keuntungan KPR. Jadi, saat membaca, saya kira saya akan bisa menebak arahnya ke mana. Tapi jujur saja, artikel tersebut beneran mindblowing.
Kayak, di salah satu paragraf, penulis bilang ambil KPR adalah tren. Ini beneran bikin saya ketawa terpingkal-pingkal sih. Sejak kapan nyicil rumah dianggap tren. Sengsara kok dianggap tren, ini logikanya di mana. Kalau bingung masukin kalimat apa ke dalam tulisan, yo nggak gitu-gitu banget juga.
Selain itu, argumen-argumen penulis juga bikin agak saya gimana gitu. Developer tidak amanah, jual rumah ternyata sulit, serta beli rumah di kampung sendiri, serta “nyicil lebih menguntungkan” adalah argumen penulis yang bikin saya kukur-kukur kepala. Oke, kita bahas di bawah.
Developer tidak amanah atau situ yang nggak teliti?
Saya akan mengutip salah satu argumen tentang rumah KPR di artikel yang saya singgung secara utuh.
“Contoh nyata yang kami alami misalnya. Sekadar untuk memasang meteran listrik, saya dan suami harus pakai dana sendiri. Jadi developer tidak mengurus printilan semacam itu.”
Udah ngerasa aneh belum? Belum? Pie to koe ki. Ya udah, saya jelasin.
Yang aneh adalah, sudah tahu rumah belum dipasang meteran listrik, kok unitnya diterima? Kok ya mau-maunya tanda tangan di depan notaris kalau tahu bahwa rumahnya belum layak dipakai? Terakhir, KOK YA NGGAK DICEK MENYELURUH?
Saya nggak mau bela developer rumah ya. Saya tahu brengseknya gimana. Cuman, kalau bagian ini, ya saya nggak bisa juga tutup mata atas kesalahan super dasar kek gini. Kok bisa, situ tahu nggak ada meterannya, tetep dibeli, tetep tanda tangan serah terima?
Setau saya, developer tidak bisa dituntut kalau kalian sudah tanda tangan serah terima. Biasanya kalau ada yang kurang, ya jangan diterima, minta pengembang untuk menyelesaikan kekurangan, baru serah terima. Saya dulu juga gitu kok.
Kalau perkara situ yang nggak teliti terus menyarankan orang lain untuk tidak mengambil KPR mah lucu. Lucu banget malah. Kok bisa nerima rumah kurang lengkap. Iki pie to pas tuku.
Jual rumah KPR ternyata sulit
Wo lha iyo, nggak usah rumah KPR deh, orang rumah lunas aja dijual sulit. Kau kira jual rumah itu kek jual frozen food atau roti maryam bisnis rumahan yang pasti dibeli tetanggamu karena pekewuh? Aneh areke iki.
Terus oper kredit dengan harga yang anjlok. Aduh. Saya jujur aja nggak paham maksudnya. Jangan-jangan, maksudnya adalah oper kredit, tapi rumah dibeli dengan tidak sesuai harga pasar? Ya kalau gini namanya nggak tahu diri.
Namanya beli rumah, situ harusnya udah mikirin kalau situ akan bertahan lama di situ, dan risiko-risiko yang ada. Makanya, ada orang yang bilang beli rumah itu sama kek jodoh, nggak bisa sembarangan. Kudu dipikir banget-banget. Dan ini ya nggak bikin KPR nggak worth it. Situ mau beli lunas pun masalahnya ya sama.
Baca halaman selanjutnya
Mending beli rumah di kampung sendiri?
Mending beli rumah di kampung sendiri
Ini saya setuju dan tidak setuju. Soalnya kayak gini tuh urusannya nggak sederhana. Saya KPR di kampung sendiri, enak, masih murah. Kenapa? Karena nggak mungkin saya beli rumah di Jogja pada saat itu (sekarang mah, berani, tapi ya nyicil).
Tapi kenapa saya milih KPR di kampung sendiri ketimbang Jogja? Karena deket. Dua jam motoran nyampe. Udah. Perkara murahnya mah iya, cuman kan namanya nyicil, mau mahal atau nggak, sama aja rugi. Oleh karena dekat ini, jadi saya bisa mengambil keputusan.
LHA GIMANA KALAU MERANTAUNYA JAUH?
Sekarang kan saya merantau Jogja-Wonogiri. Deket nih, cuman 2 jam. Lha gimana kalau misal Surabaya-Wonogiri, masak ya saya mau tetep KPR di Wonogiri? Mestine ya bakal ambil di Sidoarjo lah kalau cari yang lebih murah. Mbok ya tolong.
Kayak gini tuh kondisional. “Mending beli rumah di kampung sendiri” itu nggak bisa dijadikan alasan untuk nggak usah KPR di perantauan. Kalau hidup kemungkinan dihabiskan di rantau, ya ngapain mikir balik kampung. Toh nanti juga bisa tuh rumah dijual terus dipake di kampung.
Lagian, kok yakin banget harga rumah di kampung akan selalu murah?
KPR memang memaksamu kalah, tapi…
Sebenernya nggak usah panjang-panjang ngomongin KPR beginilah, begitulah, karena pada dasarnya ketika kamu mengambil keputusan menyicil rumah, kamu sebenarnya sudah kalah. Kalah, karena kamu memilih untuk merugi demi hunian, yang sebenernya ini menyebalkan karena urusan yang harusnya tugas pemerintah, justru kita yang mengerjakan.
Tapi ya kalau dibilang penyesalan, menurutku ya berlebihan. Keputusan ini kan diambil dengan sadar, mosok begitu rugi bilang menyesal. Hal-hal kek gini kan risikonya jelas, bisa diukur, bisa diketahui dari nanya-nanya orang. Kalau kejadian, ya wajar, wong sudah sepaket.
Menurut saya sih, gembar-gembor KPR this KPR that ketika rugi, tapi diem-diem aja saat nikmatin untungnya itu agak gimana gitu.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kenapa sih Kalian Selalu Nyinyirin KPR Rumah? Kenapa Nggak Fokus Menuntut Pemerintah untuk Menjaga Harga Rumah agar Tidak Makin Gila? dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.
