Klitih Adalah Soal Kesenangan, Orang Tua Membosankan Mana Paham

Kini, klitih adalah sebuah “olahraga” bagi gerombolan brengsek. Korbannya random.

Klitih Adalah Sebuah Kesenangan, Orang Tua Membosankan Mana Paham MOJOK.CO

Ilustrasi klitih Jogja (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMari berpikir seperti pelaku klitih. Berpikir dua arah. Jangan berpikir satu arah dan maunya menggurui. Kejahatan berkembang, kita masih terbelakang.

Senin (3/1) pagi, saya menemukan satu tulisan bagus soal klitih yang tayang di Kedaulatan Rakyat. Penulisnya adalah Bernardo J. Sujibto, seorang Dosen Sosiologi Universitas Islam Negeri (UIN-SUKA). Beliau memberi judul begini: “Yogyakarta Darurat Klitih?”

Tulisan Pak Bernardo enak sekali dibaca. Kalimatnya pendek-pendek. Paragrafnya pas. Isinya juga daging semua. Sangat cocok menggambarkan kondisi klitih di Yogyakarta yang memang semakin memprihatinkan. Terakhir, pelaku klitih tertangkap di dekat Tugu. Bayangkan, si pelaku hendak beraksi di sekitar daerah ramai. Warga dan polisi bertindak cepat mengamankan pelaku.

Untuk mencari akar dari sebuah aksi kejahatan ini, diperlukan sebuah pemahaman dari sisi pelaku. Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa klitih terjadi karena hal-hal negatif yang mengiringi. Pak Bernardo menulis seperti ini:

“Problem klitih memang tidak tunggal. Mereka adalah ‘produk’ dari sistem sosial yang makin terisolasi dan terfragmentasi di tengah kondisi urban Yogyakarta. Secara sosiologis, kondisi seperti ini bisa dibaca sebagai konsekuensi logis bagi masyarakat urban yang tidak mempersiapkan sistem integrasi sosial yang baik. Kehidupan sosial masyarakatnya semakin sporadik, mengalami anomali di banyak sisi, terutama karena faktor ekonomi dan kesejahteraan.”

Kalimat yang bagus sekali. Saya agak setuju dengan kalimat Pak Bernardo. Namun, di bagian kalimat terakhir, saya agak menggerutu. “Kok gitu, sih, Pak?”

Pak Bernardo melanjutkan, “Kita mungkin belum punya data secara profiling, dari keluarga apa mereka ini berasal? Tetapi, dari kecenderungan umum bisa ditangkap: lahir dari keluarga di mana nilai-nilai integrasi sosialnya lemah, karena faktor sejarah kekerasan, broken home, terkucil secara pendidikan, ekonomi, dan tentu saja agama.”

Kali ini bukan agak lagi, saya nggak setuju sama pendapat Pak Bernardo….

Pendapat Pak Bernardo bukannya salah. Masalahnya adalah, kalimat Pak Bernardo di atas sendiri sudah kontradiktif. Kalau memang belum ada data secara profiling, bagaimana bisa Pak Bernardo mengambil kesimpulan soal latar belakang keluarga? Bukankah itu prematur?

Saya mencoba memahami jalan pikiran Pak Bernardo. Mungkin saja, Bapak menggunakan data-data kenakalan remaja pada umumnya. Tentang broken home, keluarga miskin, tidak terpapar pendidikan, dan lemah soal agama itu bukan latar belakang klitih, sebagai fenomena yang mengalami pergeseran sifat.

Pak Bernardo, klitih adalah sebuah aksi kejahatan yang sudah bersalin muka. Dulu, korbannya targeted, laki-laki yang jalan sendiri di tengah jalan. Kalau random, masuknya ke begal. Pak Bernardo sudah menuliskan kondisi ini di dalam tulisan, kan….

Kini, klitih adalah sebuah “olahraga” bagi gerombolan brengsek. Korbannya random. Yang membedakan klitih dengan begal hanya tujuannya. Wujudnya sudah sama. Selain itu, mereka yang terlibat klitih tidak benar kalau berasal dari keluarga miskin dan broken home.

Pak Bernardo bisa menyimak pengakuan mantan pelaku klitih yang tayang di YouTube Mojok pada Senin (3/1) sore. Banyak anak orang kaya, sekolah di lingkungan bagus, keluarganya sejahtera dan bahagia.

Nah, sampai di sini, ada satu aspek yang sering dilupakan oleh masyarakat dan orang terpelajar yang mencoba menganalisis serba-serbi klitih. Aspek yang saya maksud, di samping faktor lingkungan, adalah aspek kesenangan. Klitih adalah sport yang menyenangkan bagi mereka.

Remaja pelaku klitih mendapatkan semacam ekstasi dari perbuatan mereka. Rasa manis dan enak luar biasa yang tidak mereka dapatkan dari lingkungan sejahtera dan bahagia. Adrenalin rush itu candu, Pak dan Bu. Kenapa saya tahu? Karena adik sepupu saya adalah mantan tukang gebuk yang sudah mirip klitih zaman dulu.

Dia berasal dari keluarga yang cair, berkecukupan secara keuangan, dan sangat terbuka. Namun, dia terjebak di tengah lingkungan yang negatif. Sayangnya, dia mendapatkan kesenangan dari sana. Fun. Bebas menjadi seseorang yang diakui oleh banyak orang.

Jangan remehkan aspek kesenangan ini, ya….

Dengan merasa fun, anak muda akan lebih cepat menyerap sesuatu. Termasuk beragam rupa budaya. Kalau ngomongin budaya itu terlalu tinggi, kita ngomong soal aktivitas belajar, deh. Bukankah menyerap sebuah ilmu jauh lebih gampang kalau kita merasa fun? Sesederhana itu soal klitih.

Karena mendapatkan kesenangan ketika melakukannya, para anak muda ini lebih mudah menyerap budaya negatif itu. Apalagi mendapatkan apresiasi yang mungkin tidak mereka dapatkan dari keluarga yang (terlihat) harmonis.

Masalahnya adalah, budaya positif yang selalu coba dikampanyekan pemerintah atau pamong lingkungan itu sudah terlalu membosankan. Contohnya sederhana, yaitu budaya jam belajar. Pukul 07.00 sampai pukul 09.00 jadi semacam jam wajib bejalar. Belajar selama dua jam itu membosankan. Terlalu lama pula. Otak udah nggak bisa konek selepas 30 menit.

Contoh yang lebih kompleks adalah usaha menjaga budaya luhur lewat kesenian. Semuanya bersifat satu arah. Anak muda tidak lagi mendapatkan nilai seperti dulu dari sebuah kampanye membosankan. Zaman berubah, tapi pendekatan budaya masih gitu-gitu aja.

Anak-anak di bawah 15 tahun masih bisa diajak belajar joget tradisional. Keponakan saya antusiasi sekali. Namun, untuk usia krusial, antara 15 sampai 19 tahun, rasanya sangat kering. Mereka yang berada di usia ini mendapatkan kesenangan yang lebih nyata, lebih dekat, dan lebih mudah dipahami. Sayangnya, yang mereka serap adalah budaya klitih dan kekerasan jalanan.

Merangkul mereka bukan dengan hukuman keras dan aksi jalanan oleh masyarakat. Merangkul mereka harus dimulai dari lingkaran budaya paling kecil, yaitu keluarga dan lingkungan. Di sini, pemerintah harus tanggap menangkap napas zaman. Bukan dengan denial dan menyerahkan semuanya kepada polisi.

Bisa dibilang, polisi adalah eksekutor. Namun, yang akan menentukan nasib klitih adalah pemerintah sebagai konseptor. Harus sangat telaten melihat perkembangan dan pola pikir remaja saat ini. Lha wong bekerja keras saja belum tentu klitih bisa beres, apalagi dengan tidak bertindak.

Bikinlah konsep pengenalan budaya yang asyik. Lakukan secara masif dan konsisten karena pemerintah akan head to head dengan penyebaran budaya klitih yang sangat asyik dan terjadi hampir tiap jam itu.

Saat ini, segala dugaan dan analisis sebetulnya sangat prematur. Klitih sudah tidak lagi seperti dulu. Namun, kita masih berkutat di tesis lama; keluarga broken home, kemiskinan, pendidikan rendah, agama lemah, dan lain sebagainya.

Hal-hal di atas sudah nggak laku lagi buat anak muda. Mereka senang dengan hal-hal dinamis, hal baru, menantang, secara instan memberi pengakuan yang jarang diucapkan oleh orang tua khas Asia kepada anaknya, hingga memberi kesenangan dan dorongan adrenalin.

Mari berpikir seperti pelaku klitih. Berpikir dua arah. Jangan berpikir satu arah dan maunya menggurui. Kejahatan berkembang, kita masih terbelakang.

BACA JUGA Klitih Jogja, Ancaman untuk Citra Jogja yang Sebetulnya Sudah Koyak dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version