MOJOK.CO – Ujian akhir semester tidak melulu meninggalkan cerita seram. Kadang-kadang ada saja kisah goblok yang bisa muncul dari sana.
Hilangkan dulu stigma soal seramnya ujian akhir semester. Kadang-kadang situasi serius saat ujian bisa luluh lantak tak berbekas ketika ada saja mahasiswa-mahasiswa tak bertanggung jawab. Wabilkhusus, mahasiswa-mahasiswa angkatan tua bangka yang mengacaukan suasana.
Seperti yang dialami teman saya, namanya Yogi, salah satu mahasiswa keguruan ternama di Yogyakarta. Yah, sebut saja Universitas Negeri Yogyakarta lah, mahasiswa salah satu fakultas paling terdidik karena ada nama “Pendidikan”-nya.
Ceritanya, bersama dua sohibnya, Edo dan Edi, yang sama-sama angkatan tua bangka, mereka bertiga bertekad akan menempuh ujian akhir semester mata kuliah “Pengantar Logika” (serius, mata kuliah ini ada beneran).
Ceritanya mereka bertiga sudah mengulang mata kuliah ini dua kali. Kalau sampai ujian yang ini mereka nggak ikut, mereka bisa ngulang mata kuliah Pengantar Logika untuk ketiga kalinya di tahun depan. Dan jelas bakal malu naudzubillah, karena itu tandanya mereka nggak punya logika sama sekali.
Lha iya dooong, Pengantar Logika kok ngulang sampai tiga kali itu logikanya ditaruh di mana hah?
Masalahnya adalah, ujian dilangsungkan pukul 8 pagi. Problem banget ini.
Hm, nggak terlalu pagi sih memang. Tapi buat Yogi, Edi, dan Edo, pukul 8 pagi itu seperti waktu sepertiga malamnya manusia normal. Soalnya, pukul 8 pagi adalah waktu mereka baru mau tidur dari begadang semalaman. Entah begadang untuk main kartu remi atau main PS.
Alhasil mereka bertiga bikin perjanjian pukul 1 dini hari, beberapa jam sebelum ujian berlangsung.
“Oke, karena ini pertaruhan kita. Kita minta Yogi yang biasa bangun pagi untuk bangunin kita nanti subuh,” kata Edo mengawali.
“Iya, Yog. Kamu yang biasa bangun pagi,” kata Edi.
Karena jelas kalah voting, akhirnya Yogi pun menerima tanggung jawab itu. Yogi yang tinggal beda rumah kontrakan akhirnya balik ke kandangnya, meninggalkan Edo dan Edi yang bukannya langsung tidur, tapi….
…malah main PS.
Mana main PS-nya sampai subuh lagi. (Emang nggak ada logikanya dua orang ini).
Di sini sudah jelas betapa gobloknya kisah ini. Selintas saja mata mereka sampai ketiduran, ujian Pengantar Logika bablas. Dan benar saja, Edo dan Edi beneran ketiduran. Mereka berdua baru bangun jam 8 pagi…
…lebih 1 jam.
Dengan mata masih merah menyala, rambut kusut, dan iler di mana-mana, Edo terkejut melihat jam di hapenya.
“Di, Edi, kita telat bangun, Di! Udah jam 9 ini, Setaaan,” teriak Edo sambil membangunkan Edi yang tidur di sampingnya.
Edi gelagapan. Lalu sambil masih mengumpulkan nyawa, Edi ikut-ikutan melirik jam.
“Wasyuuu, ngulang lagi ini tahun depan,” kata Edi meratap. Mungkin air matanya keluar.
Meski begitu, keduanya agak lumayan lega karena punya satu sosok yang patut disalahkan, yakni Yogi.
“Bangsat si Yogi, nggak bangunin kita,” kata Edo marah-marah.
Tak berapa lama kemudian, dengan tanpa perasaan bersalah, Yogi datang ke kontrakan Edi dan Edo. Begitu masuk kontrakan, terlihat tak ada gairah sama sekali dari wajah Yogi. Dari melihat ekspresi Yogi yang seperti habis ditagih pinjaman online, Edo menduga Yogi bernasib seperti dirinya. Sama-sama telat bangun.
“Kamu telat bangun juga?” tanya Edo.
“Ya dikit, bangun jam 8.30,” kata Yogi.
“Nggak ikut ujian dong?” tanya Edo.
“Ikut,” kata Yogi.
“Woolaa hasyuuu, nggak bangunin kita,” kata Edi, kali ini marah-marah.
“Tunggu dulu, tunggu,” kata Yogi.
Lalu Yogi menceritakan sebuah kisah yang kemudian menjadi urban legend di kampus tersebut—terutama di jurusan mereka bertiga.
Jadi gini. Yogi memang bangun telat, tapi nggak telat-telat banget. Yah, cuma telat setengah jam lah. Karena sudah telat, Yogi tak mandi dan tak sempat menelepon kedua sahabatnya. Janji semalam sebelumnya jebul dikacangin demi karier kuliahnya sendiri.
Begitu sampai kampus dan masuk ruang ujian akhir semester—karena udah telat setengah jam—Yogi langsung mengambil lembar jawab dan lembar soal. Saat itu, kebetulan Petugas TU sedang keluar ruangan (entah karena alasan apa). Jadi Yogi ya tinggal ngambil-ngambil lembar soal dan lembar jawab aja gitu.
Lalu dimulailah mengerjakan soal. Sebagai orang yang sudah punya iktikad agar lulus mata kuliah Pengantar Logika, Yogi mengerjakan soal dengan semangat ’45. Bahkan, kolom nama, mata kuliah, dan lain-lain tidak dia isi dulu karena ingin konsentrasi mengerjakan soal.
Baru kemudian, ketika udah mau selesai mengerjakan soal, Yogi kepikiran untuk mengisi kolom keterangan nama mahasiswa, NIM, nama dosen, dan mata kuliah. Nah, di kolom nama dosen inilah Yogi bingung, karena dia memang tidak hafal nama dosennya.
Bimbang dengan siapa nama dosennya, Yogi pun nanya ke mahasiswa di sampingnya.
“Eh, matkul ini siapa dah nama dosennya?” tanya Yogi.
“Bu Ambarwati, Bang,” jawab si mahasiswa yang merupakan adik kelas.
Yogi bingung. Dirinya mematung sejenak.
“Lah? Bukannya dosennya cowok ya?” tanya Yogi lagi.
“Cowok gimana, Bang?”
“Iya, cowok. Aku nggak hafal nama dosennya, tapi aku kuliah beberapa kali, cowok kok,” kata Yogi.
Mereka berdua malah berdebat hebat. Kelas bahkan jadi berisik.
Nah, ketika dua mahasiswa ini berdebat, Petugas TU yang tadi keluar, tiba-tiba masuk ke dalam ruang ujian. Melihat ada dua orang yang lagi ribut sendiri, si Petugas TU mendekat.
“Lho, Masnya baru datang?” tanya Petugas TU melihat Yogi
“Iya, Pak.”
“Sudah tanda tangan presensi?” tanya si Petugas TU.
“Belum. Tadi buru-buru ngerjain, Pak,” kata Yogi.
“Ya udah, ini tanda tangan dulu,” kata Petugas TU menyodorkan lembar presensi.
Perasaan Yogi sudah tidak enak ketika nama dosen yang disebutkan si adik kelasnya berbeda dengan dosen yang dia tahu. Lalu dicarilah itu namanya di presensi ujian akhir semester. Dan benar, namanya nggak ada. Juga nama dua temannya, si Edo dan si Edi. Semuanya nggak ada. Walah, konspirasi macam apa ini?
“Waduh, Pak, kok nama saya nggak ada ya?” tanya Yogi.
“Kamu mahasiswa sini bukan?” tanya si Petugas TU.
“Ya iyalah, Pak,” kata Yogi.
“Lha kamu itu ikut mata kuliah Administasi Pendidikan ini nggak?” tanya Petugas TU.
“Apa, Pak? Ujian apa ini, Pak?” tanya Yogi tambah panik.
“Administrasi Pendidikan, kamu itu ambil ini nggak?” tanya Petugas TU.
“Lho, bukannya ini ujian Pengantar Logika ya, Pak?” tanya Yogi.
“Oh, ujian Pengantar Logika di lantai 3, Mas. Bukan di ruangan ini,” kata Petugas TU santai.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9.15. Mau dia lari secepat kijang juga nggak bakal sempat. Akhirnya yang dilakukan Yogi adalah…
…menyusul ke kontrakan Edi dan Edo.
Ketika Edi dan Edo mendengar cerita tersebut, kemarahan mereka berdua berubah jadi ledakan tawa yang sangat keras sekali pagi itu. Edi dan Edo benar-benar merasa lega, sebab ternyata kegoblokan mereka berdua (yang main PS sampai subuh) menemukan tandem sempurnanya.
Pada akhirnya, logika Yogi, Edo, dan Edi berakhir dengan proses instal ulang lagi tahun depan. Hm, benar-benar goblok yang paripurna.
BACA JUGA Masa Depan Mahasiswa Sastra Indonesia yang He He He atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.