Kesabaran Itu Menular dan Menjalar Seperti Api

kesabaran

Di bulan ramadan, kesabaran menjadi sebuah komoditi berharga yang dipertandingkan. Ada banyak orang yang sanggup konsisten menjadi pribadi yang sabar, pun tak sedikit yang tumbang karena tak kuat berjalan di lintasan kesabaran yang alurnya memang berliku kerap tak terduga.

Kesabaran, pada titik tertentu, ia seperti air di dalam telinga. Untuk mengeluarkannya, perlu air yang lain. Ia seperti butuh pancingan agar mau keluar.

Pada titik yang lain, kesabaran itu juga seperti api di ujung obor. Ia menular dan menyambar, tapi tidak berkurang walau dibagi berkali-kali.

Sebuah kejadian yang saya alami pada maghrib kemarin saya yakini sebagai sebuah pertunjukkan di mana kesabaran tampil menjadi api di ujung obor dan air di dalam telinga.

Sore kemarin, di sebuah rumah makan di bilangan Jalan Kaliurang atas, saya dan juga beberapa orang tampak gusar dan gelisah karena makanan yang kami pesan belum datang juga. Padahal azan maghrib sudah berlalu lebih dari lima belas menit yang lalu. Maklum, pesanan serentak menjelang maghrib di rumah makan sederhana ini membuat pesanan makanan harus antre.

Satu per satu, makanan dikeluarkan, tapi bukan untuk saya, melainkan untuk para pengunjung yang lain. Jatah saya dan beberapa orang mungkin masih akan sangat panjang.

Ketika akhirnya seorang pelayan datang ke meja saya, ia ternyata hanya membawa segelas es jeruk pesanan saya. Tapi tidak dengan nasi dan ayam panggang yang juga saya pesan. Antrean masih lama.

Untuk menghalau kegusaran, saya menyibukkan diri dengan bermain ponsel. Sekrol-sekrol temlen sambil berharap ada isu atau gosip menarik yang bisa mengalihkan rasa lapar saya. Beberapa kali sekrol, saya tak menemukan satu pun isu atau gosip yang menarik.

Ah, bahkan temlen pun tak mau meringankan rasa lapar saya.

Di meja samping kanan, tak jauh dari meja saya, seorang lelaki muda yang makanannya belum datang memanggil pelayan untuk datang ke mejanya.

Ia berkata pelan pada pelayan, “Mas, tolong antrean saya dilewati saja dulu, dahulukan meja yg pojok sana saja,” ujarnya sembari menunjuk meja yang dimaksud. “Kasihan, itu anak-anaknya sudah tampak sangat lapar. Saya belakangan saja.”

Saya melirik sebentar. Kemudian kembali sibuk bermain ponsel. Saya tersenyum. Penantian saya sekarang menjadi jauh lebih ringan. Tiada gusar.

Kesabaran benar-benar menular dan bisa memancing kemunculan kesabaran-kesabaran lainnya.

Exit mobile version