Kerja di Mojok dan Dituduh Pro LGBT Sampai Pro PKI

pro pki

Salah satu yang paling lucu (dalam artian lucu yang tidak mengenakkan) bagi sebagian orang yang bekerja di Mojok adalah kami kerap mendapatkan tuduhan yang menganggap kami pro terhadap sesuatu yang kebetulan isunya sedang naik di Mojok.

Saya, misalnya, pernah dituduh sebagai penulis yang pro industri ekstraktif hanya karena pernah menulis review tentang acara pameran kesenian di Jogja yang ndilalah salah satu sponsornya adalah PT Freeport.

Padahal sumpah demi Tuhan, saya bahkan tak tahu kalau Freeport ikut jadi sponsor di acara tersebut kalau tidak karena dimensen oleh beberapa kawan setelah tulisan saya itu naik.

Dulu, sekitar tahun 2016 (atau 2017? Saya agak lupa), Mojok pernah menerbitkan artikel yang konten isinya mendukung secara eksplisit pemenuhan hak kaum LGBT.

Saya yang kebetulan menjadi redaktur sempat beberapa kali ditanya oleh beberapa orang. Intinya mereka menanyakan apakah benar Mojok pro LGBT.

Modiar.

Pernah juga Mojok (tentu saja beserta segenap kru-nya) dianggap pro pelakor saat menerbitkan tulisan yang berisi curhatan seorang perempuan yang menjalani hubungan dengan suami orang.

Nah, yang paling sering menjadi sasaran bagi segenap awak Mojok tentu saja tiada lain dan tiada bukan adalah status pro PKI.

Ini sebuah keniscayaan.

Mojok, seselow apa pun, memang pada masanya pernah banyak mengulas isu-isu seputar dunia kiri yang kemudian kerap dipautkan pada PKI.

Sekali dua, tuduhan itu memang bisa saja diguyonkan. Misal dengan jawaban-jawaban yang terkesan cuek dan ndlogok seperti misalnya “Dituduh pro PKI nggak papa, yang penting nggak dituduh pro PKS.”

Namun, kalau hal itu kemudian berulang-ulang, tentu saja lumayan menyebalkan.

Ketika menjadi pemateri dalam diskusi tentang media, atau sosial media, dengan status saya sebagai redaktur atau pemimpin redaksi Mojok, tak jarang ada peserta yang dengan blak-blakan menanyakan itu.

“Mas, apa benar Mojok itu pro komunis? Soalnya banyak artikelnya yang kekiri-kirian.”

Nah lho. Untuk pertanyaan yang satu ini, sebenarnya sudah ada jawaban yang ciamik dari salah satu penulis Mojok, yakni Windu Jusuf. Dia bilang bahwa untuk menulis di media yang kayak Mojok ini, yang cocok memang orang-orang kiri, sebab orang kiri itu nulisnya biasanya bagus dan lucu, sedangkan orang-orang kanan biasanya jelek dan amburadul.

Jawaban tersebut sebenarnya ampuh dan jitu. Hanya saja, sampai sekarang, masih saja ada yang menuduh saya dan orang-orang yang mungkin dekat dengan Mojok sebagai pro PKI.

Lantas, sebagai awak Mojok, apakah sebenarnya saya benar-benar pro PKI?

Entahlah, tapi yang jelas, saya lahir dan tinggal di kampung yang lokasinya sebelahan persis dengan markas akademi militer. Setiap pagi, saya lebih dulu mendengarkan lagu-lagu nasional dari markas akdemi militer ketimbang adzan subuh.  

Adik saya sekolah di SMP Ahmad Yani (Ya, Ahmad Yani yang pahlawan revolusi itu). Bapak saya pun juga berdagang es kelapa muda di kantin SMP Ahmad Yani. Saya sendiri sekolah di SMA Tidar, sebuah SMA yang dibangun oleh Jenderal Sarwo Edhie Wibowo (Ya, Sarwo Edhie yang memimpin operasi penumpasan PKI itu).

Dari kecil, hidup saya sudah sangat militer dan sangat kontra PKI.

Exit mobile version