Kenapa Taro Harus Tetap Ada Meski Produsen Taro Bangkrut

MOJOK.CO Kabar produsen Taro bangkrut cukup menyita perhatian sekaligus kekhawatiran tersendiri. Setidaknya, ada beberapa alasan untuk kita berharap agar hal ini tidak terjadi.

Sejak beberapa hari lalu, kabar pailitnya produsen Taro hingga memunculkan isu bangkrut cukup mengejutkan banyak pihak. Sebagai anak-anak generasi 90-an, kita (hah, kita???) yang telah mengikuti sepak terjang jajanan Taro pun patut untuk ikut-ikutan kaget mendengar kabar memilukan ini. Maksud saya, di balik keterkenalannya yang sedemikian rupa, siapa sangka produsen Taro ternyata sama seperti kita: terlilit utang???

Eh tunggu sebentar—kita???

Ya, Saudara-saudara, PT Tiga Pilar Sejahtera Food (TPS Food), sang produsen Taro, disebut tengah menjalani tagihan utang yang angkanya mencapai 498 miliar. Tapi, tapi, tapiiiii, sebenarnya, benarkah perusahan Taro bangkrut dan tak bisa bangkit lagi?

Ternyata, kabar kebangkrutan ini langsung dibantah oleh TPS alias Tempat Pemungutan Suara Food. Pihak manajemen, melalui keterangan dalam laman BEI (Bursa Efek Indonesia), mengklaim bahwa pihaknya masih berada dalam masa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) hingga beberapa waktu ke depan. Penundaan pembayaran utang inilah yang kemudian disebut sebagai bentuk ketidakmampuan perusahaan melunasi tanggungan sehingga menimbulkan kabar produsen Taro bangkrut.

Yaaah, secara sederhana, PKPU mungkin sama seperti kalimat, “Eh, maaf ya, aku belum bisa bayar utang bulan ini. Tunggu aku gajian bulan depan, boleh?” yang kita ucapkan (hah, kita???) waktu ditagih untuk melunasi utang kepada seorang teman. Hehe~

Meski begitu, Saudara-saudara, kabar mengenai produsen Taro bangkrut ini cukup menyita perhatian sekaligus kekhawatiran tersendiri. Gimana nggak khawatir—lah wong Taro yang rasa rumput laut itu kan enak banget!!! Kalau sampai mereka beneran bangkrut, kita harus ambil jajan apa lagi, dong, di Indomaret???

Setidaknya, ada beberapa alasan kuat untuk kita tak putus-putus mendoakan yang terbaik bagi TPS Food agar dapat melewati cobaan PKPU dan menghindar dari jurang kebangkrutan. Pasanya, kenangan bersama Taro sudah kita lewati bersama-sama sampai mereka punya tempat yang spesial di diri kita. Hah, kit—iya, iya, kita semua.

Pertama, Taro membantu kita dalam banyak hal, mulai dari kelaparan hingga ke pelajaran Bahasa Indonesia.

Jadi begini, Saudara-saudara: manfaat Taro ternyata tak hanya sebatas cemilan semata. Dalam bidang akademik, siapa sangka Taro pun memiliki kebaikannya tersendiri. Nggak percaya?

Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, tentu guru kita pernah bicara soal majas metonimia dalam tulisan. Jika diartikan, majas metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan merek suatu barang untuk menyebut barang sejenis. Buktinya, makanan ringan dengan micin—khususnya yang berbentuk jaring-jaring, meski dijual di warung jajan kiloan—sering kali disebut dengan nama Taro, padahal jajan tadi bukanlah produk Taro!

See? Betapa mendarah dagingnya budaya Tayo dalam hidup kita, Gaes-gaesku~

Kedua, Taro membuat kita semua memaklumi Dora dalam Dora the Explorer.

Dalam serial Dora the Explorer, Dora selalu pergi dengan seekor monyet ke mana-mana. Dalam kehidupan nyata, tentu agak sulit bagi kita membayangkan seorang anak bersahabat dengan monyet. Sekian tahun lamanya, kita men-judge Dora sebagai anak aneh yang tak punya teman dan terpaksa berteman dengan Boots.

Tapi untungnya, Taro Boy—maskot jajanan Taro—hadir dengan seekor monyet. Mula-mula, di awal kemunculannya, Taro Boy digambarkan sebagai maskot tunggal Taro dan berbentuk 2 Dimensi. Namun, seiring berjalannya waktu, seekor monyet bernama Pota digambarkan sebagai sahabat Taro Boy, dan keduanya ditampilkan dalam bentuk animasi 3 Dimensi—seperti Dora.

Yah, dengan hadirnya Pota, kita (hah, kita banget, nih???) jadi lebih memaklumi Dora yang sudah lebih dulu bersahabat dengan monyet, walaupun kita masih bertanya-tanya monyet jenis apakah Boots itu. Ya gimana, loh; udah mah warnanya biru, bisa ngomong, pula!

Ketiga, jajanan Taro adalah pembeda dari taro kekinian yang berasal dari talas.

Sebagian dari kita (hah, kita maning!) mungkin memiliki bayangan visual yang berbeda saat mendengar nama “Taro”. Alih-alih makanan ringan bertabur micin dan bumbu rumput laut, “Taro” zaman kini lebih akrab digambarkan sebagai makanan berupa talas dengan rasa manis dan sedikit rasa kacang. Taro yang berupa talas ini, selain dikonsumsi dengan cara digoreng, kerap pula dijadikan pewarna makanan alami dan varian rasa dalam bubble tea.

Naaaah, populernya taro-si-talas ini justru membuat kecintaan kita pada Taro yang merupakan makanan ringan sebagai suatu keunikan tersendiri. Di tengah-tengah gempuran perkembangan zaman, Taro-si-makanan-ringan menjadi hal yang bisa kita banggakan karena mampu bertahan cukup lama dalam industri kehidupan.

Jadi, kebayang, kan kalau sampai produsen Taro bangkrut kita bakal sesedih apa??? :(((

Keempat, kemungkinan produsen Taro bangkrut hanya akan menambah luka dan kesedihan.

Sebagai anak-anak tukang jajan, saya dan kamu mungkin harus sekali lagi mengelap air mata kalau memang benar produsen Taro harus gulung tikar. Selama bertahun-tahun, Taro telah setia menggoda kita (dan dompet bapak-ibu kita) melalui deretan produknya di rak warung-warung terdekat. Sejak kita masih kecil dan belum mengenal sakit akibat kisah cinta yang pilu hingga hari ini, Taro mungkin menjadi pilihan utama saat kita ingin mengunyah sesuatu yang kriuk-kriuk dan bermicin. Jika kelak Taro harus pergi dari kehidupan kita, bakal sepilu apa hati ini coba???

Maksud saya, apakah kita sudah siap kehilangan Taro, setelah kita harus merelakan Anak Mas, Kenji, Mie Remez, Anak Mamee, hingga Gulai Ayam yang kian langka dan mungkin telah menghilang dari pasaran? :(((

Exit mobile version