Kenapa Kita Hobi Fall in Love with People We Can’t Have?

MOJOK.CO Mau Valentine itu budaya kita atau bukan, Jokowi dan Prabowo blunder atau tidak, yang penting cuma satu: fall in love with people we can’t have itu nyata adanya!

Saya pernah jatuh cinta diam-diam pada laki-laki yang suka membaca komik Detektif Conan. Dia baik sekali dan kami selalu berdiskusi tentang kasus-kasus yang kami anggap keren. Tapi, ya sudah—sampai di situ saja. Dia berpacaran dengan perempuan lain dan akhirnya menikah.

Belakangan, jokes yang beredar di Twitter sejak berminggu-minggu lalu mengusik ingatan saya pada laki-laki pembaca Conan tadi. Tulisan-tulisan ini berbunyi “Fall in love with people we can’t have”, dan seolah tak habis-habis mengundang perhatian, reply, retweet, hingga quote. Apa pun isunya, ujung-ujungnya renungan menyedihkan itu datang: mau Valentine itu budaya kita atau bukan, Jokowi dan Prabowo blunder atau tidak, yang penting cuma satu—fall in love with people we can’t have itu nyata adanya!

Mencintai seseorang tapi tak bisa memilikinya mungkin terdengar menyedihkan, tapi ia memang relate af ke banyak orang di permukaan Bumi. Saking putus asanya, orang-orang ini—alias kita-kita semua—memilih berlindung di balik kalimat klise “Cinta tak harus memiliki”. Halah, Mbel!

Eh, memangnya, pada titik apa seseorang bisa kita tasbihkan sebagai orang yang we can’t have?

O, banyak, Saudara-saudara. Bisa saja ia adalah sahabat kita sendiri, atau kekasih sahabat, atau rekan kerja, atau mantan kekasih yang sudah tak punya kemungkinan untuk kembali, atau bahkan pasangan sah orang lain. Sialnya, sudah tahu kita tak bisa memiliki, perasaan cinta itu kian mendera tak tahu diri.

Iya, iya, silakan mengumpat sepuasnya. Kalau butuh curhat, langsung kirim aja ke rubrik Curhat. Sekalian.

Tapi, tapi, tapiii, fenomena ini memang mengundang tanya. Kenapa, sih, kita bisa fall in love with people we can’t have? Kenapa ada orang yang secara ajaib membuat kita berdebar-debar, padahal ia tak pernah membalas perasaan kita? Pada sisi yang berbeda, kenapa ada seseorang yang rela mengejar-ngejar kita, padahal kita mati-matian menjauhinya?

Secara psikologi, mencintai seseorang yang kita tahu tak akan mungkin kita miliki ternyata ada penjelasannya. Demi memenuhi tangunggan kerja menulis hari ini tulisan ini, saya sudah mengumpulkan data-data agar kita (hah, kita???) bisa sama-sama meratapi kebodohan perjuangan kita saat mencintai seseorang yang mungkin tak akan pernah bisa kita miliki.

*insert a sad song here*

Pertama, manusia jauh lebih suka berandai-andai “Gimana kalau…” daripada menjaga apa yang sebenarnya mereka miliki. Secara sederhana: manusia itu suka penasaran. Titik.

Jika diibaratkan, seseorang yang sudah memiliki kekasih jelas bisa melihat kekasihnya sendiri; ia tahu kekasihnya orang seperti apa, dan ia tahu bahwa kekasihnya mencintainya sepenuh hati.

Tapi—dasar manusia—sesuatu yang “pasti” ini masih saja selalu kalah dengan apa yang sifatnya hanya “mungkin”. Alih-alih semangat menjaga kekasih yang jelas-jelas wujudnya di depan mata, kita (hah, kita??? Kamu aja kali yang tega~) justru tak jarang membayangkan orang lain yang kita kagumi diam-diam.

Alhasil, pengandaian-pengandaian itu pun datang: “Gimana kalau kita bisa sama dia?”, “Gimana kalau dia juga punya perasaan sama kita?”, dan lain sebagainya.

Padahal, yang tidak kita ketahui, kita tuh sedang membuang-buang energi yang tak berarti, mylov~

Kedua, kita hanyalah makhluk biasa yang penuh dengan kesombongan, dan ini serius.

Istilah “sombong” di sini bukan merujuk pada sikap narsis di diri seseorang. Sebaliknya, sikap ini merupakan reaksi logis atas kegagalan mencapai apa yang paling diinginkan oleh diri sendiri.

Jadi gini, Saudara-saudara: pada dasarnya, kita-kita semua (hah, kita???) adalah makhluk yang haus pengakuan. Secara natural, kita ingin menjadi istimewa dan penting, khususnya bagi seseorang. Naaaah, perasaan ini tak luput muncul saat kita jatuh cinta, bahkan jika target kita adalah orang yang “tidak terjangkau”.

Saking sedihnya, kita pun jadi bertanya-tanya: “Apa yang salah dariku?”, “Kenapa aku nggak pantas untuknya?”, atau “Kenapa dia nggak bisa menjalankan hubungan ini denganku?”. Meski pertanyaan-pertanyaan memilukan ini hadir, kita pun justru makin terdorong untuk “menyombongkan diri” dan menunjukkan harga diri kita yang sebenarnya.

Yah, walaupun ujung-ujungnya kita tahu bahwa jatuh cinta kali ini tetap saja berakhir pilu karena ia, bagaimanapun, adalah orang yang tak mungkin kita miliki. Mamam~

Ketiga, kita semua punya insecurities yang—akui saja—menyebalkan setengah mati.

Insecurities ini berjalan dengan prinsip yang hampir sama dengan kesombongan diri, tapi dengan cara yang jauh lebih “jahat”.

Perasaan cinta memang bisa datang kapan saja, kepada siapa saja. Namun kadang, ketakutan dan kekhawatiran diri sendiri atas nilai-nilai pribadi justru memperkuat kemungkinan kita bertahan pada keadaan fall in love with people we can’t have.

Saking merasa tak percaya diri dan lupa bahwa dirinya layak dicintai dengan baik dan benar, seseorang bisa saja berusaha meningkatkan value-nya dengan cara mati-matian mengejar sesuatu yang ia tahu tak bisa dicapai. Dalam hal ini, maksudnya hanya satu: seseorang yang dicintai tapi tak bisa dimiliki.

Hhhh. Tenang. Mari kita tarik napas dulu bersama-sama.

Mencintai seseorang tidaklah salah. Mencintai seseorang yang tak bisa kita miliki, juga, bisa jadi, bukanlah kesalahan.

Tapi, ayolah, mau sampai kapan menghabiskan energi dan waktu dan air mata hanya demi seseorang yang kita tahu tak akan melihat perasaan kita yang sebenarnya?

Kadang-kadang, toh, kita harus sedikit egois dan berpikir: it’s not our loss—it’s his, or hers.

Exit mobile version