MOJOK.CO – Sebagaimana orang tidak akan berhenti memutar The Beatles, lagu-lagu Didi Kempot akan terus berkumandang di seluruh sudut Indonesia.
Secara pribadi, saya nggak setuju sama Fiersa Besari yang bilang kalau “Didi Kempot pernah padam”. Bagi saya, beliau ada di tatanan lain dalam tier kesuksesan musikus. Beliau tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan musik Indonesia. Pernyataan yang lebih tepat bagi saya adalah, Indonesia baru “mengenal” Didi Kempot.
Kalau pernyataan itu susah diterima, saya beri penjelasan lebih mudah. “Naiknya” Didi Kempot, tak ubahnya seperti The Beatles. Sebagaimana orang tidak akan berhenti memutar The Beatles, lagu-lagu Lord Didi akan terus berkumandang di seluruh sudut Indonesia. Tidak ada istilah “meredup”, tetapi “diremajakan” lagi.
Pernyataan itu berasal dari diskusi dengan teman saya, Farindo “Kidjing” Reska Jenar, musikus kontemporer di Yogyakarta.
Didi Kempot dan musik cover
Perkembangan musik dalam dua dekade ini bisa dibilang begitu gila. Indikator ketenaran dan kesuksesan musikus berubah drastis. Kaset pita dan keping tergantikan kanal streaming, membuat angka penjualan tidak lagi menjadi tolok ukur kesuksesan. Mengisi panggung televisi bukan lagi contoh ketenaran. Untuk apa berusaha manggung di TV sebulan sekali kalau orang bisa memutar video klip lagumu di YouTube setiap waktu?
Membaca paragraf di atas akan membimbing kita ke satu pertanyaan, sebenarnya apakah yang dimaksud “musikus lagi naik” di masa kini? Apakah karyanya jadi pembicaraan? Apakah jumlah panggungnya meningkat drastis? Apakah lagunya didengarkan berjuta-juta kali? Dan apa yang membuat Didi Kempot dianggap musikus yang “lagi naik”?
Naiknya Didi Kempot dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah musikus cover. Musikus cover, secara tidak langsung, mengantarkan nama Didi tepat ke kuping pendengarnya. Entah para musikus tersebut minta izin atau tidak, pada akhirnya musik beliau tersampaikan ke pendengar baru.
Meski lagu yang di-cover bentuknya jadi berbeda, namun Didi Kempot tetap memberi ruang untuk para penggemar mengekspresikan lagu miliknya sesuai bagaimana lagu itu sampai ke telinga mereka. Jarak antara kreator dan pendengar jadi hilang, dan itulah yang membuat orang dengan mudah mencintai beliau.
Contoh kasus adalah lagu Pamer Bojo. Senggakan “cendol dawet” dipopulerkan oleh Abah Lala. Ketika Lord Didi membawakan lagu tersebut dan penonton menambah senggakan ala Abah Lala, beliau memberi ruang untuk penggemarnya mengekspresikan lagu tersebut.
Distribusi musik yang dipotong membantu Lord Didi makin terangkat. Belasan tahun lalu, kita mengakses lagu Lord Didi dari kaset-kaset orisinal dan bajakan. Untuk menikmati lagunya, kita harus melalui proses panjang.
Sekarang, kita bisa mengakses lagu beliau lewat banyak platform. Proses panjang yang terpotong itu membuka jalan bagi calon pendengar yang lebih luas.
Mudahnya seperti ini. Didi Kempot dikenal banyak orang, masih aktif berkarya, dan media penyaluran karya begitu banyak. Kesuksesan jadi lebih mudah terjadi.
Singkatnya, kenapa Lord Didi sesukses ini? Jawabannya adalah karena banyaknya cover yang meremajakan musim beliau. Selain itu, Didi Kempot sendiri mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.
Tak terhitung jumlah cover lagu-lagu The Beatles di kanal streaming. Kita nggak akan bilang, “The Beatles nggak terkenal lagi atau sudah meredup,” kan. Pendengar baru, anak-anak sekarang, menemukan The Bealtes lewat cover dan adaptasi. Oleh sebab itu, nama The Beatles dan Didi Kempot akan abadi. Namanya saja sudah legenda.
Rasanya susah menemukan musikus yang konsisten berkarya setara Didi Kempot. Seakan-akan memang dia ditugaskan oleh Tuhan untuk menghabiskan hidup dengan mencipta lagu. Zaman berganti, ombak perubahan menghantam musikus hingga pijar karyanya redup, tapi itu tidak berlaku kepada Beliau.
Beliau mendarah daging, beliau terhirup bersama udara.
Selamat jalan, Il Maestro.
BACA JUGA One Piece Mungkin Ceritanya Bermasalah, tapi Naruto Jelas-jelas Sampah dan artikel menarik lainnya dari Rizky Prasetya.