Pak Pulisi baru saja menangkap pedofil yang mengganggu anak artis Nafa Urbach. Pelaku juga disebut hobi menonton film anime dan melukis kartun Jepang. “Tersangka ini penyuka anime. Juga kartun berkonten pornografi,” kata Kanit V Subdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Kompol James Hutajulu di Gedung Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Selasa, 10 Oktober 2017. Saya sendiri ya nggak tahu apa hubungan antara nonton anime dan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.
Ceritanya begini: pelaku, kata Pak Pulisi, sering mengirim konten anime berbau asusila ke Instagram Nafa. Ia intens melakukan hal itu sejak medio Agustus 2017. Konten asusila yang dimaksud adalah anime dengan tema loli, atau kecenderungan seks kepada anak-anak. Apa ini salah? Ya jelas, orang nggak ngapa-ngapain kok tahu-tahu dikirimi konten porno dengan tema anak-anak. Tema bukan anak-anak pun kalau nggak consent ya salah. Jadi runyam ketika atribusi bahwa pelaku penyebaran konten porno itu ialah penyuka anime, jadi dikait-kaitkan gitu. Lha salahnya suka anime apa?
Ini kayak kamu bilang ada maling yang penggemar tinju, atau perampok yang doyan filateli, atau pelaku chat mesum yang gemar dakwah. Atribusi macam itu sebenarnya tak perlu. Seseorang dipenjara atau diproses secara hukum bukan karena kegemarannya, tapi karena kejahatan yang ia lakukan. Lain soal kalau kegemarannya itu menyiksa orang atau membunuh, ya itu mesti ditangkap.
Bias atribusi itu kerap tak adil dan jadi masalah karena mereduksi persoalan. Misalnya, jika ada guru ngaji atau ustadz yang melakukan pemerkosaan, apa ya berani media dan polisi bilang, pelaku pemerkosaan adalah orang yang gemar mengaji? Lantas kalau gemar mengaji, apakah jadi alasan seseorang untuk memperkosa? Kan tidak. Malah label-label tak penting kayak gitu menjadikan masalah lebih keruh dari yang seharusnya.
Di Jepang, anime dan manga merupakan produk kebudayaan yang paling banyak dinikmati. Dua produk ini merefleksikan masyarakat negara itu, masyarakat yang mengagumi karya seni, juga kreativitas. Tapi, memang ini bukan tanpa masalah. Salah satu produk manga dan anime yang dikecam dunia adalah lolicon, genre yang mengeksploitasi hasrat seksual antara orang dewasa dan anak-anak menjelang puber. Di Jepang, genre ini demikian disukai oleh banyak kalangan, terutama pria paruh baya, baik yang sudah menikah maupun lajang.
Jepang ya bukan tidak berusaha mengatasi ini. Kepolisian Jepang sepanjang 2015—2016 bekerja keras menyelesaikan problem pornografi anak. Selama enam bulan pertama 2016 kepolisian Jepang menyerahkan lebih dari 1.023 kasus pornografi anak kepada jaksa. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding periode sama pada 2015 yang “hanya” 831 kasus.
Tapi, apa kemudian anime dilarang? Ya, tidak. Sederhananya begini: anime, seperti juga film, ada yang isinya romansa cinta-cintaan anak muda, ada juga yang isinya persenggamaan manusia. Maka, tiap kasus jadi unik sehingga nggak bisa digeneralisasi.
Masahiro Morioka, profesor filosofi dan etika dari Universitas Waseda Jepang, melihat bahwa lolita complex yang banyak diderita orang Jepang adalah persoalan rumit. Negara ini, kata Morioka, memiliki obsesi kepada anak perempuan menjelang puber. Banyak film-film porno Jepang menghadirkan kostum anak-anak sekolah untuk memuaskan nafsu birahi orang dewasa. Toleransi terhadap budaya ini yang kemudian melahirkan kejahatan seksual dan segala yang menyertainya, seperti pornografi dan pemerkosaan anak.
Bias atribusi itu berbahaya, emang. Karena bisa memberikan pemahaman yang salah kepada pembaca. Histeria membuat orang jadi tak bisa adil. Setiap anime dianggap sebagai konten pornografi atau, lebih konyol dari itu, dianggap sebagai pornografi anak. Tapi, yang jelas ini tidak membenarkan anime atau manga yang berisi persenggamaann dengan anak-anak ya.
Soal tontonan dan perilaku manusia memang kerap dianggap punya hubungan. Maksudnya begini, di Amerika beberapa orang beranggapan bahwa musik-musik heavy metal dan game punya kontribusi terhadap meningkatnya peristiwa kekerasan. Musik rap dan hiphop dianggap mendorong remaja kulit hitam bergabung dengan gangster. Sementara, game-game perang membuat anak muda jadi benci polisi. Musik-musik pop dianggap representasi dari ajaran setan.
Emang iya, gitu? Tentu semua bisa dibantah. Dalam konteks Amerika Serikat, kekerasan terjadi ya karena kemiskinan, minimnya edukasi, dan mudahnya mendapatkan senjata api.
Kalau setiap tontonan punya pengaruh langsung pada perilaku seseorang, harusnya dunia damai banget dong. Gimana nggak, setiap Jumat dan Minggu umat pergi ke rumah ibadah, bertemu agamawan dan mendengar khotbah tentang kebaikan. Nyatanya, dunia nggak serta-merta jadi lebih baik.
Apa yang kita tonton mungkin punya pengaruh, tapi secara terberi manusia punya kondisi yang membentuk perilakunya. Lingkungan, adat istiadat, pola didik, dan interaksi dengan manusia lain juga punya andil dalam perilaku kita. Tontonan tak punya dampak langsung seperti seruan atau pidato. Seseorang yang menyerukan kebencian, menanamkan hal buruk dalam benak untuk kemudian dimanifestasikan dalam tindakan. Kalau begini, bisa jadi khotbah-khotbah kebencian punya dampak lebih mengerikan daripada anime.
Sekarang aja deh, kalau ada orang pergi jihad ke Suriah dan Irak buat bunuh orang, itu karena nonton apa kira-kira? Apakah karena nonton film perang atau karena khotbah? Terakhir saya dengar malah agamawan bisa teriak-teriak kalau ketemu orang dengan atribut PKI, siram bensin aja, lalu bakar hidup-hidup. Perilaku yang kayak gitu kan yang mestinya dianggap lebih berbahaya?