Jakarta Tidak Toleran? Jangan Khawatir, Ada Perajut Tenun Kebangsaan: Anies Baswedan

Anies Baswedan Jakarta Tidak Toleran MOJOK.CO

MOJOK.CODi tangan Anies Baswedan, Sang Perajut Tenun Kebangsaan, Jakarta pasti naik peringkat, dari tiga terbawa kota tidak toleran, masuk ke papan atas.

Beberapa hari yang lalu, Setara Institute merilis daftar Indeks Kota Toleran (IKT). Dari hasil survei didapat 10 kota di Indonesia yang dinilai paling toleran. Hasil tersebut didapat Setera Institute berdasarkan riset di 94 kota di Indonesia. Tujuan mereka merilis daftar IKT adalah untuk mempromosikan kota-kota yang dinilai mampu membangun toleransi.

Empat kriteria yang harus dimiliki oleh sebuah kota supaya bisa dinilai toleran, antara lain:

Pertama, pemerintah kota punya regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi. Kedua, pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah kota tersebut kondusif. Ketiga, tingkat peristiwa dan pelanggaran kebebasan keberagaman rendah atau tidak ada sama sekali. Keempat, upaya dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya dapat dinilai baik.

Berdasarkan hasil riset Setara Institute di 94 kota, didapat 10 kota yang layak dianggap paling toleran, yaitu Singkawang, Salatiga, Pematang Siantar, Manado, Ambon, Bekasi, Kupang, Tomohon, Binjai, dan Surabaya. Kota disebut pertama adalah yang paling toleran, dan seterusnya.

Nah, selain merilis daftar 10 kota paling toleran, Setara Institute juga merilis daftar 10 kota paling tidak toleran. Mereka adalah: Sabang, Medan, Makassar, Bogor, Depok, Padang, Cilegon, Jakarta, Banda Aceh, dan Tanjung Balai. Kota disebut paling akhir adalah yang paling tidak toleran, alias menempati posisi ke-94.

Dan, di sinilah perdebatan muncul. Menempati posisi ke-94, ada Tanjung Balai. Artinya, nomor 93 ditempati Banda Aceh, dan Jakarta duduk nyaman di peringkat ke-93. Sebagai ibu kota, masuknya Jakarta sebagai kota yang tidak toleran melahirkan banyak perdebatan. Ada yang maklum, ada yang sangsi. Biasa lah ya.

Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri, mengaku sedih setelah membaca hasil riset Setara Institute yang menyatakan Jakarta ada di peringkat 92 dari 94 kota.

“Jakarta itu kan kota majemuk. Seluruh warga punya hak untuk tinggal dan datang di Jakarta. Jangan karena beda pendapat dan gubernur jadi seperti ini. Bayangkan tetangga bisa enggak kompak. Kan sedih sekali. Marilah kita dewasa, jangan pendekatan memecah belah,” ujar Tjahjo menyuarakan kesedihannya.

Mengapa Jakarta duduk di posisi ketiga terbawah? Bisa degradasi nih, kalau pakai bahasa sepak bola.

Halili Hasan, Direktur Setara Institute mengungkapkan bahwa pelanggaran kekerasan antarumat beragama ditemukan cukup tinggi di ibu kota dari November 2017 hingga Oktober 2018. Halili menambahkan bahwa, ruang masyarakat toleran untuk menyampaikan aspirasi pun sangat terbatas.

“Yang sering terjadi di Jakarta adalah ekspresi kelompok intoleran yang merepresentasikan gagasan mayoritarianisme, tetapi tidak dibarengi ketersediaan ruang untuk minoritas,” ungkap Halili kepada Tirto.

Menurut pengamatan Setara Institute, intoleransi di ibu kota tidak terlepas dari Pilkada 2017. Tingkat intoleransi meningkat sejak 2016 hingga 2017 karena permainan politik identitas yang saat ini tidak bisa diredam oleh gubernur.

“Persekusi oleh kelompok pembela Habib Rizieq misalnya, apakah ada pernyataan keras dari gubernur? Kan tidak pernah. Ujaran kebencian di masjid, apakah ada statement tegas dari seorang pemimpin tertinggi di Jakarta?” Kata Halili.

Tingkat intoleran di Jakarta dan Indonesia sendiri memang meningkat pascagerakan 212 pada tahun 2016. Hal ini diungkapkan oleh Burhanuddin Muhtadi, peneliti Indikator Politik Indonesia. Sesuai survei yang dilakukan oleh Burhan lima bulan sebelum gerakan 212 tahun 2016, rata-rata tingkat intoleran mencapai 13,7 persen. Dua tahun kemudian, pada 2018, meningkat menjadi 31 persen.

Melihat data dan fakta tersebut, apakah warga DKI Jakarta, baik asli maupun KW perlu khawatir? Jawabannya: sans, tidak perlu khawatir. No worries, lur. Mengapa? Karena DKI Jakarta sekarang sudah dipimpin oleh Anies Baswedan, Sang Perajut Tenun Kebangsaan. Gubernur santun, Gubernur kite semua.

Sebagai pencetus istilah “Tenun Kebangsaan”, tentu tidak mungkin Anies Baswedan intoleran. Seorang pencetus gerakan yang sungguh indah dan jernih tidak mungkin mengizinkan persekusi terhadap warga minoritas. Anies Baswedan tidak mungkin membiarkan hate speech berkembang di masjid-masjid dan tempat ibadah lainnya.

Menurut Anies Baswedan, para pendiri bangsa ini sudah merajut tenun kebangsaan dengan keberagaman. Oleh sebab itu, tugas masyarakat Indonesia sekarang adalah merawat tenun kebangsaan tersebut. Ikhtiar itu berupa mempersatukan kebhinekaan.

Tahun 2017 yang lalu, Anies Baswedan bilang bahwa, “Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa.”

Bagi Anies Baswedan, tenun kebangsaan dirajut dari sebuah kebhinekaan suku, adat, agama keyakinan, bahasa, serta geografis. Beliau tidak ingin tenun itu koyak karena beragamnya pemikiran. Setiap orang berhak memiliki pikiran yang berbeda dan negara tidak bisa mengatur ranah pemikiran setiap warganya.

Sungguh luar biasa pemikiran Anies Baswedan. Kita semua juga tahu bahwa beliau adalah orang yang konsisten dan pasti menjaga tenun kebangsaan di Jakarta selama menjabat sebagai gubernur. Kita tidak perlu khawatir. Dalam waktu sekejap, dengan iman dan ketakwaan yang penuh, Jakarta pasti bisa merangkak naik di daftar yang disusun oleh Setara Institute.

Kalau pakai bahasa sepak bola, Jakarta bakal merangsek ke zona Liga Champions. Atau bahkan menjadi juara seperti Persija Jakarta tempo hari.

Oleh sebab itu, Anies Baswedan pastinya juga bakal mewujudkan saran dari Andreas Harsono, peneliti Human Right Watch. Bagi Andreas, saat ini, yang perlu dibahas bukan cuma soal menurunnya tingkat toleransi di Jakarta, melainkan menemukan solusi karena belum ada upaya memulihkan secara serius.

Bagi Andreas, yang perlu dimiliki Anies Baswedan adalah keberanian moral, yaitu meminta maaf kepada Ahok. “Dengan meminta maaf kepada Ahok maupun orang-orang yang mendukung Ahok dan mengatakan bahwa itu (kampanye Pilkada 2017) sesuatu yang salah. Kalau dia berani melakukannya saya kira itu langkah yang besar sekali untuk memulihkan toleransi di Jakarta.”

Bagi Sang Perajut Tenun Kebangsaan, saran Andreas Harsono ini sangat mudah dilakukan. Januari 2019 nanti, Ahok bebas dari penjara jika mendapat remisi Natal 2018. Saat itu, saya yakin Anies Baswedan akan menjemput Ahok sendirian. Saya membayangkan keduanya akan berpelukan, cipika cipiki, lalu ngopi bersama.

Jangan-jangan, tidak ada kejelasan perihal siapa Cawagub Jakarta adalah karena Anies menunggu Ahok bebas. Ahh, betapa indahnya jika hal itu terjadi. Maka, no worries Jakarta, kalian sudah punya sosok Anies Baswedan. Intoleransi pasti dilibas!

Exit mobile version