Nggak Cuma Paskibra, Orang Tua Zaman Dulu Pengin Banget Anaknya Masuk TNI, Nikahnya Pakai Pedang Pora

Nggak Cuma Paskibra, Orang Tua Dulu Pengin Banget Anaknya Masuk TNI, Nikahnya Pakai Pedang Pora MOJOK.CO

Nggak Cuma Paskibra, Orang Tua Dulu Pengin Banget Anaknya Masuk TNI, Nikahnya Pakai Pedang Pora MOJOK.CO

MOJOK.COKenapa masih ada yang pengin jadi anggota Paskibra, daftar TNI, dan nikah dengan pedang pora? Karena rasa bangga dan nikmatnya gengsi akan tetap abadi dan diwariskan.

Akun @pradewitch mengungkapkan keheranannya lantaran masih ada yang pengin jadi Paskibra. Dia juga menambahkan kesimpulan begini:

“Orde Baru senang betul memberi banyak benefit untuk orang yang bersedia melakukan hal-hal simbolis tetapi kurang berfaedah bagi kehidupan massarakjat. Tapi ya, kata salah satu tokoh di La Ciudad y Los Perros, tentara mah mesti percaya simbol-simbol.”

Jujur ya, bisa saya pastikan kalau keheranan dan kesimpulan @pradewitch itu ada benarnya. Kenapa saya berani membenarkan? Tentu karena pengalaman pribadi.

Bapak saya pensiunan polisi. Dulu, selepas pensiun, bapak pernah satu kali kelepasan bicara. Bapak, sambil lalu, bilang kalau sebetulnya dia pengin saya jadi polisi atau TNI. Selain menjaga simbol “keluarga angkatan”, bapak pengin lihat anaknya nikah dengan prosesi pedang pora itu.

Di sini saya perlu bercerita sedikit soal bagian “kelepasan bicara” dan “keluarga angkatan”. Jadi, mohon maaf sebelumnya untuk anggota kepolian dan tentara, saya tidak suka sama kalian sebagai profesi. Ada sedikit trauma masa lalu dan tumpukan kejadian yang bikin saya nggak suka sama profesi “abdi negara” ini. No offense, ya.

Oleh sebab itu, bapak saya yang pensiunan polisi nggak pernah menyarankan apalagi memaksa saya untuk jadi polisi atau daftar TNI. Satu profesi yang pernah dia tegaskan untuk saya coba adalah guru. Ya, saya sudah pernah memenuhi cita-cita bapak saya ini. Meski cuma tiga bulan saja.

Soal “anggota angkatan”. Selain bapak saya yang jadi polisi setelah lulus SMK, almarhum Pakdhe saya adalah anggota TNI. Punya keluarga polisi dan TNI yang sebagian besar masa pengabdiannya di Orde Baru itu sudah cukup bikin saya agak trauma.

Bapak dan almarhum Pakdhe saya ini memandang angkatannya masing-masing sebagai simbol yang perlu dijaga dengan segala tumpah darah. Saya tidak menyalahkan pemikiran ini. Tugas mereka (seharusnya) memang mengayomi dan menjaga keamanan masyarakat, bukan?

Nah, salah satu “jalur cepat” untuk diterima polisi atau TNI adalah dengan jadi anggota Paskibra. Kalau ingatan saya belum berkarat, anggota Paskibra memang bisa mendapat rekomendasi. Persentase diterima menjadi calon taruna atau akmil katanya lebih besar.

Sekali lagi, kalau ingatan saya tidak berkarat, ada tiga syarat yang perlu dipenuhi anggota Paskibra untuk mendapatkan rekomendasi masuk TNI. Ketiga syarat itu adalah sehat di aspek jasmani/rohani, kepribadian, dan intelektual. Masih ada tes psikologis, tapi saya agak lupa.

Dulu, bapak saya jadi polisi juga berkat surat rekomendasi dari kakek saya. Kenapa kakek saya bisa membuat “surat sakti”? Nah, untuk satu ini tidak bisa saya ceritakan. Mohon maaf.

Intinya, bapak saya punya pengalaman dengan yang namanya “rekomendasi”. Punya kesempatan seperti itu membuat dia tidak ingin saya melewatkan kesempatan jadi polisi atau daftar TNI. Tentu awalnya dengan menempa diri dan lolos seleksi Paskibra.

Saya, yang benci baris-berbaris dan lebih suka menghabiskan waktu untuk main bola, tentu langsung menolak dengan tegas. Tidak ada “86” di antara saya dan bapak untuk soal ini.

Ketika menolak cita-citanya ini, saya perhatikan raut wajah bapak yang agak kecewa. Apalagi setelah dia bilang kalau menikah dengan prosesi pedang pora itu sesuatu banget.

Pedang Pora berasal dari istilah Pedang Pura atau Gapura Pedang. Prosesi rangkaian pedang berbentuk gapura ini menjadi tradisi pernikahan bagi para perwira TNI, sebagai simbol melepas masa lajangnya. Selain itu, prosesi ini juga untuk memperkenalkan sang mempelai wanita kepada dunia angkatan bersenjata.

Sekali lagi. Soal simbol ini memang begitu kuat ada di dalam pikiran orang tua zaman dulu. Seperti yang dibilang @pradewitch tadi. Seorang tua ingin melihat anaknya berjalan menggandeng mempelai, melewati barisan pedang pora, kepala agak mendongak, senyum manis mengembang, dan decak kagum terdengar membahana. Banyak orang tua zaman dulu yang ingin melihat anaknya mewujudkan simbol kebanggaan itu.

Bahkan bisa saya katakan bahwa lolos seleksi Paskibra, jadi perwira TNI, dan menikah dengan prosesi pedang pora itu jauh lebih bikin bangga ketimbang jadi PNS. Bangganya itu dobel. Selain statusnya sebagai penjaga keamanan negara, perwira TNI memang dipandang punya status tinggi. Ini fakta, kan?

Nah, satu sisi yang salah dari keheranan @pradewitch adalah keheranan itu sendiri. Menyandang status tinggi dan bisa melahirkan kebanggan itu sifatnya abadi dan diwariskan. Jadi, kalau sekarang masih banyak yang pengin jadi Paskibra, seharusnya kita nggak heran.

Meskipun orang tua zaman sekarang bisa dikatakan lebih terbuka akan ragam profesi, mereka tidak akan menolak rasa bangga yang diciptakan anaknya. Meski orang tua tidak memaksa, tapi kalau lihat anaknya jadi Paskibra, karier di TNI berjalan mulus, lalu nikah dengan proses pedang pora, ya tetap bangga.

Kemudahan yang didapat anggota Paskibra itu sendiri juga daya tarik. Bisa diajak piknik ke luar negeri, mendapat rekomendasi untuk masuk TNI, dan tentunya dianggap sangat nasionalis. Wah, siapa yang nggak mau, terutama poin terakhir, kan hehehe….

Sekali lagi, pola pikir itu bisa berubah. Namun, rasa bangga dan nikmatnya gengsi akan tetap abadi dan diwariskan.

BACA JUGA 5 Alasan Beberapa Cewek Nggak Tertarik sama Cowok Berseragam dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version