Jadi Anak Orang Kaya Kayak Rafathar Itu Salah Banget Ya di Matamu?

anak orang kaya atau miskin - MOJOK.CO

MOJOK.CO Orang bilang, kita nggak bisa memilih jadi anak orang kaya kayak Rafathar ataupun jadi anak orang miskin. Masalahnya, lidah tetangga tajem banget, Lur.

Saya kesal banget dengan narasi miskin dan kaya di lini masa yang muncul belakangan ini. Mula-mula, ini soal karakter cewek idaman menurut standar beberapa orang. Kata mereka, cewek idaman itu yang sederhana dan mau hidup susah bersama.

Pertanyaannya, situ sebagai laki-laki kira-kira bisa nggak bersikap “cukup laki-laki”? Orang perempuan ini sudah dibesarkan dengan berkecukupan oleh orang tuanya, plus sudah bekerja keras demi dirinya sendiri, kok enak banget mau diajak susah?

Narasi hampir mirip bisa ditemui setelah pemadaman listrik di Jakarta tempo hari. Terbaru, channel Raffi Ahmad, Nagita Slavina, dan Rafathar di YouTube menimbulkan kehebohan.

Anak orang kaya harus siap “diserang” dari banyak sudut

Video terbaru Nagita dan Rafathar berjudul Jakarta Mati Lampu, Janjian Sekeluarga ke Singapore!!! diunggah tanggal 5 Agustus lalu. Judul yang dipakai jelas langsung membuat “jiwa misqueen memberontak”. Komentar-komentar serupa bisa kamu temukan cukup banyak all over the internet, lengkap dengan kritikan khas soal cara mendidik Rafathar.

Iya, judul yang dipakai tadi langsung dianggap mencerminkan sikap tidak bijaksana sebuah keluarga kaya memperlakukan anaknya sendiri.

“Mati lampu sebentar doang, kok langsung ke luar negeri?”

“Kalau bapaknya bangkrut, apa Rafathar bisa survive kalau udah jadi anak manja kayak gitu?!”

Pertanyaan saya cuma satu: INI ORANG-ORANG UDAH PADA NONTON VIDEONYA BELUM, SIH?

Masalahnya, video di atas diambil sebelum pemadaman listrik terjadi. Bahkan, di awal video, Nagita telah menyebutkan alasan dirinya pergi ke Singapura—tidak ada hubungannya dengan mati lampu.

Perkara judul? Sudahlah, jangan pura-pura tidak pernah dengar apa yang disebut dengan clickbait.

Lagi pula, gara-gara video Nagita dan Rafathar ini, saya jadi bisa melihat pola yang membosankan di masyarakat kita. Kalau ada orang kaya menunjukkan kekayaannya, komentar orang bisa berubah setajam silet.

Ada orang yang dianggap berada, tasnya bolong dan dia tetap menggunakannya setiap hari, respons orang-orang di sekitarnya pun bertanya: “Kok tas jelek dipakai terus? Minta beli baru, dong, sama bapakmu!”

Tapi kalau dia pakai tas baru, saya yakin, pasti ada juga yang berkomentar, “Wah, tasnya baru. Pasti mahal, nih. Aku mah nggak akan sanggup beli semahal ini.”

Ada cewek yang merupakan anak orang kaya yang dipacari seorang pria biasa saja yang memintanya siap hidup susah maupun senang bersama-sama. Si cewek ini setuju atas nama cinta, dan dia tak mengeluh sama sekali setiap diajak makan di burjo dan mulai berlatih hidup sederhana.

Tapi coba tebak apa yang terjadi? Mereka putus karena kelakuan si pria, tapi gosip yang beredar cuma satu: Keluarga cewek yang kaya raya nggak rela menerima pria tadi karena berasal dari kasta ekonomi yang lebih rendah.

Memangnya cuma Rafathar dan anak orang kaya lainnya yang dimanja orang tua?

Saya pernah membaca status kawan yang cukup menohok:

“Saya telah berusaha keras sendiri dari nol, tidak seperti anak-anak dari keluarga berada yang selalu dibantu orang tuanya yang berduit.”

Sampai hari ini, saya masih belum terlalu paham apa maksud tulisan tadi. Apakah kesuksesan anak-anak yang berasal dari keluarga berada jadi nggak berarti karena mereka dibantu orang tuanya? Apakah “usaha keras sendiri” akan selalu menjadi nilai plus yang jauh lebih baik daripada bantuan orang tua?

Lebih jauh lagi, memangnya “bantuan orang tua” cuma soal uang melulu?

Ayolah, jadi anak orang kaya seperti Rafathar ataupun anak orang miskin itu nggak perlu dibandingkan dengan romantisisasi. Jadi anak orang kaya juga bukan hal memalukan, apalagi menjijikkan.

Lagian, tahu dari mana kita soal anak orang kaya yang bakal manja seumur hidup dan nggak tahu rasanya berjuang? Tahu dari mana kita soal Rafathar dan anak orang kaya lain yang cuma diajarin senang-senang, buang-buang uang, atau membeli barang apa pun dengan sangat mudah, seakan-akan membayar pakai daun?

Sungguh, saya kesal sekali dengan narasi miskin dan kaya ini. Asal tahu saja, kita semua ini hidup dari topangan orang tua, kok—mau miskin ataupun kaya.

Dan, sekali lagi, topangan orang tua nggak melulu soal uang untuk beli ini-itu. Kamu pikir bapak ibumu berdoa buat apa kalau bukan buatmu?

Exit mobile version