MOJOK.CO – Islam yang saya kenal adalah agama yang menyenangkan. Seperti cinta kasih yang ditunjukkan Khabib Nurmagomedov dan Sir Alex Ferguson.
Saya, sebagai pemeluk Katolik, bekerja di tengah komunitas yang mayoritasnya beragama Islam. Yah, kamu bisa mengatakan bahwa Mojok, sebagai media yang hidup di tengah komunitas itu, adalah bentuk mini dari Indonesia. Agama dan berbagai latar belakang bersatu menjadi sesuatu yang asyik.
Kami hidup dan bekerja dalam harmoni. Yah, alhamdulillah, tidak pernah ada gesekan. Meski, bisa saya bilang, bercandaan kami agak ektrem. Misalnya, bercandaan saya dengan Agus Mulyadi suatu kali.
Agus Mulyadi: “Sen, hatimu itu kok seperti batu, lho. Lima kali dengar suara azan ketika di kantor, kok ya nggak hatimu nggak luluh dan tergerak untuk pindah Islam. Dasar.”
Saya menjawab: “Dirimu sama Dafi itu kok nggak bosen, lho. Tiap hari lima kali dengar suara azan. Mbok variatif.”
Sungguh jawaban yang berpotensi membawa saya masuk penjara. Dasar bodoh kamu, Seno.
Namun, untungnya, obrolan ekstrem itu pasti ditimpali dengan tawa lepas semua orang yang mendengarnya. Bagi saya, itulah Islam yang saya kenal. Islam yang friendly, guyon, santai, dan nggak memaksakan. Hati ini menjadi sangat nyaman karena Islam yang saya temui tiap hari ternyata kompatibel dengan inti ajaran Katolik, yaitu cinta kasih.
Diingatkan Khabib Nurmagomedov dan Sir Alex ferguson
Beberapa jam sebelum menulis artikel ini, saya membaca sebuah berita yang bikin tersenyum. Berita tersebut bercerita soal pengalaman Khabib Nurmagomedov ketika bertemu Sir Alex Ferguson.
Inti beritanya begini:
Suatu kali, Sir Alex menawarkan segelas minuman anggur kepada Khabib. Sebagai pemeluk Islam yang taat, tentu Khabib tidak minum alkohol. Khabib tidak marah dengan tawaran Sir Alex. Dia memahami kultur dan kebiasaan Sir Alex ketika bertemu dengan sosok yang dihormati.
“Saya tidak menghakimi dia, tetapi ini soal bagaimana cara menjelaskan kepadanya (tentang Islam). Ada dua cara. Anda bisa bilang bahwa Anda adalah muslim dan tidak menenggak minuman beralkohol. Namun, ada cara lain. Saya katakan kepadanya ini bukan ide bagus karena jika saya meminumnya, saya bisa menghajar kalian semua karena mabuk,” kata Khabib, dikutip Daily Mail.
Sir Alex memahami cara bercanda Khabib dan menjawab, “Baiklah, kalau memang begitu, memang sebaiknya Anda tidak minum anggur.”
Semua tertawa. Suasana jadi cair.
Saya jadi ingat, bulan September 2017, Conor McGregor menyodorkan wiski produksi dirinya sendiri kepada Khabib. McGregor seperti sedikit memaksa dan membuat Khabib tidak nyaman. Awalnya, Khabib masih menolak paksaan itu dengan halus. Namun, McGregor memaksa dan suasana menjadi keos.
Serangan verbal dari McGregor masih berlanjut ketika dia menyebut manajer Khabib sebagai “teroris”. Suasana sudah sangat panas sebelum keduanya berhadap-hadapan di dalam oktagon. Emosi yang dipendam itu meledak ketika mengalahkan McGregor dengan teknik submission.
Ketika wasit memisahkan kedua petarung, Khabib melompati pagar oktagon dan menyerang staf McGregor. Ketika terjadi kericuhan di luar oktagon, dua staf Khabib masuk ke oktagon dan menghajar McGregor sebagai bentuk kekesalan yang sudah dipendam. Ketika ranah yang begitu privat diganggu, manusia bisa menjadi sangat buas.
Sisi buas, sisi galak dari Islam ini tidak pernah saya temukan di komunitas yang menemani Mojok berkarya. Saya memahaminya seperti ini: Bukan soal agama saja, manusia bisa menjadi buas. Sisi buas manusia memang sudah tertanam di dalam dirinya. Menjadi semacam mekanisme untuk melindungi diri dan menegaskan teritori mana yang tidask boleh dilangkahi.
Namun, tentu ada situasi yang membuat garis batas itu menjadi “boleh diterobos”. Situasi yang saya maksud adalah cara saya dan Agus Mulyadi bercanda tadi. Ada pemahaman bahwa agama yang kami sandang dibangun dengan semangat kasih sayang. Bahasa yang dipakai memang keras, tapi kami memahami konteksnya.
Pikiran liar langsung mengembara ketika membaca kisah pertemuan Khabib dan Sir Alex. Coba bayangkan, enaknya dunia ini jika tidak ada permusuhan atas nama agama (dan ras, dan segala latar belakang). Enaknya hidup di dunia ini tanpa teror, yang ada guyon dan saling memahami.
Islam yang menyenangkan
Saya bersyukur hidup dan berkarya di tengah Islam yang senang guyon dan penuh cinta kasih. Di sisi lain, saya prihatin dengan segala kejadian di banyak tempat di dunia ini yang terkurung oleh kebencian karena agama dan kepercayaan.
Tidak hanya Islam yang di dalamnya terdapat cara pandang yang begitu keras. Di Katolik, Buddha, Hindu, dan semua agama juga sama. Jadi, pada akhirnya, semua kembali ke nature-nya manusia. Tidak ada yang enak dari saling membenci. Enaknya ya guyon, sambil nyeruput kopi, dan kebal-kebul merokok. Nikmat sekali.
BACA JUGA Ekspresi Privat Miftahul Jannah dan Khabib Nurmagomedov di Ruang Publik dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.