ILC Perlu Undang Goenawan Muhamad Agar Filsafat Tak Terganggu dan Jadi Receh

MOJOK.COGoenawan Mohamad sebut jangan nonton Indonesia Lawyers Club (ILC) karena isinya keributan. Jadi banyak yang berfilsafat deh gara-gara itu. Ganggu filsafat aja.

Udah deh akui aja, kita sebagai orang Indonesia ini paling demen sama keributan. Udah kayak oksigen yang mengalir di paru-paru gitu. Nggak ribut seminggu aja rasanya kayak sakaw berat. Ribut Pilpres, ribut Pilkada, sampai ribut UU KPK.

Semua contoh yang barusan saya sebutkan itu tak lebih dari pledoi aja untuk melampiaskan hasrat keributan kita.

Emang tanpa itu semua kita nggak bisa ribut? Tetap bisaaa dong. Lah wong sekelas ucapan requiescat in pace (RIP) untuk almarhum Ashraf Sinclair aja bisa jadi bahan keributan og.

Nggak perlu sampai mantengin ramainya akun @lambe_turah deh untuk membuktikan itu, program televisi Rumah Uya sampai Indonesia Lawyers Club (ILC) selalu ramai karena memunculkan benih-benih kenikmatan bernama keributan.

Ingat, keributan itu adalah naluri dasar survival dalam sejarah evolusi manusia sebagai makhluk paling sempurna dalam keributan. Itu.

Kerja seharian di kantor, ngantuk kuliah dengerin dosen, atau wara-wiri jadi driver ojol memang membosankan. Hidup dalam rutinitas yang itu-itu saja bisa bikin gila. Itulah kenapa Tuhan menciptakan keributan sebagai sebuah alternatif hiburan yang menaikkan adrenalin dan bikin kita semua ketagihan. Jadi candu yang nikmat paripurna.

Dan itu barangkali yang bikin banyak orang kecanduan dengan program macam Indonesia Lawyers Club (ILC).

Sayangnya, candu di dalam acara seperti ini lah yang kemudian dikritik oleh Goenawan Mohamad, sastrawan kondyang tanah aer. Menurut Goenawan Mohamad, acara seperti ILC itu bisa merusak. Wabilkhusus merusak filsafat.

Apa? Filsafat? Pfft.

“Jangan nonton Indonesia Lawyers Club,” kata Goenawan Mohamad tanpa tedeng aling-aling dalam acara ‘Menolak Pembusukan Filsafat’ di Cikini Jakarta, Rabu (13/2) silam.

Menurut Goenawan Mohamad, acara kayak ILC ini bukan acara tukar pikiran, melainkan ngotot-ngototan.

“Contoh yang paling baik di Indonesia Lawyers Club, bukan tukar pikiran, tetapi ngotot-ngototan. Akhirnya, yang penting bukan kebenaran, tetapi suara yang paling ramai. Karena itu, saya tidak pernah nonton ILC. Tetapi tidak fair kalau saya mengatakan acara itu tidak bagus,” kata Goenawan.

Lalu si sastawan kondyang ini melanjutkan…

“Mungkin maksudnya pemikiran filsafat ada kerusakan karena tidak ada daya kritis, tidak ada diskusi, tidak ada penulisan sehingga dunia pemikiran mengalami gangguan. Saya pikir itu (istilah pembusukan) didramatisir saja, sekarang banyak yang berminat filsafat. Jadi, (filsafat) nggak membusuk, cuma dalam keadaan terganggu,” kata Goenawan.

Sebagai golongan kaum elite/kanon-nya sastrawan, pandangan Goenawan Mohamad ini jelas tak ada salahnya sama sekali.

Apa sih yang bisa rakyat dapatkan dari acara kayak ILC gitu? Cuma tempik sorak mendengarkan jagoannya mendebat lawan politik.

Kalau kebetulan ada Rocky Gerung sebagai tamu ILC lalu pemirsa diajak berwahana di dunia filsafat, lalu karena itu pula filsafat jadi terkesan receh karena diomongin tiap episode. Lalu gara-gara siaran ILC kek gitu, jadi banyak masyarakat yang berminat sama filsafat.

Pantas saja lah kalau Goenawan Mohamad jadi menganggap keadaan filsafat jadi terganggu.

Lagian apa pentingnya rakyat belajar filsafat? Nggak guna juga.

Buat bayar beras nggak bisa, buat bayar kuota nggak bisa, bahkan buat bayar tukang sulap yang narikin duit parkir di loket ATM juga nggak bisa. Makanya itu, Pak Karni Ilyas, dengerin dong kritik dari Goenawan Mohamad ini. Jangan situ recehin filsafat di ILC. Itu menganggu eksistensi pakar-pakar yang jarang diundang.

Lagipula, ILC ini dibandingkan acara yang dianggap bisa memicu dialog, malah kerap memunculkan persoalan anyar—alias memunculkan benih keributan baru. Masih ingat dong dengan “Kitab Suci itu Fiksi”-nya Rocky Gerung? Atau pengakuan Jonru soal ujaran kebenciannya di program ILC sampai beneran bikin dirinya dipenjara?

Artinya, program ini memang—entah sengaja atau tak sengaja—jadi kayak Colosseum untuk para Gladiator elite politik, sambil mengumbar teori-teori hukum maupun teori filsafat. Demi apa? Haya demi memicu perdebatan aka keributan.

Yang diperlukan pemirsa cuma cukup pilih jagoannya di acara itu, lalu bersorak ketika jagoannya menang debat, dan bakal menyiapkan klarifikasi panjang di akun medsos kalau jagoannya kena skak mat.

Gugatan dilawan klarifikasi, klarifikasi dilawan pakai kontroversi, lalu viral lagi, akhirnya diliput sendiri, jadi konten sendiri, dibahas sendiri, masuk ke acara-acara tipi lagi. Nah, NGO peduli lingkungan harusnya belajar nih, gimana caranya medaur ulang sampah agar punya nilai ekonomi kek gini.

Meski begitu, kalau memang Goenawan Mohamad menyarankan ke publik agar tidak mau nonton ILC lagi (karena ILC dianggap memopulerkan filsafat dan itu “menganggu” filsafat), harusnya hal ini jadi peluang yang bisa dilihat oleh Karni Ilyas. Saran nggak nonton ILC itu kan nggak sama dengan komitmen nggak mau datang kalau diundang.

Jadi, ketimbang mengkritik dari luar ada baiknya Goenawan Mohamad dihadirkan langsung di dalam. Sekaligus menjadi contoh bagaimana program ILC seharusnya dibawakan. Apakah harusnya dibikin jadi kayak program dakwah atau sekalian dibikin reality-show-canggih-paripurna kayak Rumah Uya.

Jangan khawatir kalau ketika Goenawan mengkritik ILC di dalam acara ILC lalu malah meminculkan keributan baru.

Seperti yang udah saya utarakan di awal tadi, program kayak ILC itu bukan sumber keributan kita. Mau ditempatkan di wadah apapun, pada dasarnya kita emang demen aja meributkan hal-hal receh. Kalaupun entitasnya nggak receh, ya udah direcehin aja dulu. Biar apa? Haya biar laku lah, masak biar pinter.

Contoh konkretnya? Bikin statemen receh nan elitis untuk menyerang pihak receh nan elitis lain misalnya. Lalu publik pada ribut, terus muncul deh tulisan receh yang tanpa sadar kamu baca sampai sini.

Gimana?

BACA JUGA Untung Ada Rocky Gerung atau tulisan rubrik Pojokan lainnya.

Exit mobile version