MOJOK.CO – Asosiasi Sutradara Film Indonesia atau IFDC (Indonesian Film Directors Club) menyatakan sikap atas mudahnya orang-orang melakukan boikot film. Lantas membatasi kebebasan berekspresi di tengah masyarakat (((yang ngakunya))) majemuk.
Tidak sedikit orang yang nggak suka dengan sesuatu, lalu begitu ada “hal lain” yang sedikit ngutik-ngutik “sesuatu” tersebut, langsung dibenci habis-habisan. Tanpa mau memberi kesempatan untuk dirinya sendiri mencari tahu lebih dalam dulu. Seperti yang baru saja terjadi pada film Kucumbu Tubuh Indahku. Begitu tahu kalau dalam film itu terkesan ada unsur “LGBT-nya”. Langsung ditolak dan diboikot begitu saja. Jangankan nonton dan memahami pesan di filmnya, sepertinya baca sinopsis cerita lengkapnya saja nggak.
Ya, mohon maaf nih. Kok minta orang buat baca. Lha wong, sekarang kan, budayanya bukan lagi membaca. Tapi memindai. Iya, memindai, Saudara-saudara. Penginnya sih, dapat informasi-informasi pentingnya buat diobrolkan dan disampaikan di media sosial. Tentu saja, tanpa mengeluarkan waktu lebih lama. Hasilnya apa? Hasilnya adalah, mendapatkan pengetahuan baru yang konteksnya nggak pas. Yang ada, malah ngawur dan ngasal.
Lagian, ya, menilai sebuah film sebelum menontonya itu, cara mikirnya gimana, sih, Malih? Ini itu kayak kita beli es krim (untuk pertama kalinya dan belum pernah sebelumnya), terus langsung difoto dan di-upload di Instastory. Nggak lupa dikasih caption, “Sumpah, ini es krimnya enak dan lembut banget!” Padahal, dicoba sedulit aja belum. Ncen, Srimulat tenan!
Hal semacam ini, nggak hanya baru dialami oleh film Kucumbu Tubuh Indahku saja. Tapi sudah banyak film-film sebelumnya yang juga mengalami hal serupa. Sebut saja film Cin(T)a yang bercerita soal kisah cinta perempuan Jawa dan lelaki keturunan Tionghoa. Film ini dibatasi peredarannya (((hanya karena khawatir))) bisa memunculkan isu sara yang kontroversial di tengah masyarakat. Padahal, kan, fenomena cinta beda agama dan beda budaya ini, betul-betul terjadi di sekitar kita. Ini fenomena yang jamak terjadi, dan masih saja menimbulkan kegalauan dalam hubungan cinta yang tidak terbatas cohort itu.
Ini nggak mau bahas-bahas isu sara—padahal isu sara masih ada di tengah masyarakat, maksudnya apa, sih? Mau nutup-nutupin suatu keadaan seolah-olah biar kelihatan baik-baik saja, gitu? Mau membohongi diri sendiri? Iya?
Hal ini kemudian menggerakkan Asosiasi Sutradara Film Indonesia atau IFDC (Indonesian Film Directors Club) untuk menyatakan sikapnya. Pasalnya, penghakiman massal sepihak yang dilakukan tanpa dialog, justru membatasi kebebasan mereka dalam berekspresi. Tentu saja, ini adalah hal yang merugikan bagi mereka.
Banyak yang nggak setuju dengan pernyataan sikap dari IFDC tersebut. Katanya sih, mereka-mereka ini diminta lebih baik bikin film yang lurus-lurus aja. Nggak perlu sampai memancing kontroversi. Soalnya kan Indonesia majemuk, jadi nanti bakal ada yang sakit hati dan tersinggung. Terus bisa menyebabkan perpecahan, dst, dst.
Oke, katanya sih, Indonesia itu majemuk. Lha terus, kenapa nggak boleh punya pandangan yang berbeda atas suatu hal? Menginginkan informasi yang kita dapatkan dari film itu “lurus-lurus saja.” Sepertinya kita memang masih menganggap film sekadar sebagai media hiburan, deh. Padahal kan, lika-liku kehidupan kita itu, nggak selalu ideal dan tidak sedikit yang menyakitkan.
Bukannya, film itu juga jadi media pembelajaran, ya? Kalau kayak gini terus, kapan kita melek dan berhenti untuk gampang nggumunan setiap ada sesuatu yang “nggak biasa” terjadi? Atau dimunculkan dengan nyata di depan kita? Sampai kapan??1!!1!
Terus, kita kapan pinternya, Ya Tuhan? Disuruh baca, males. Nonton TV, isinya sinetron sama reality show yang settingan melulu. Nonton film-film supaya dapat memperluas perspektif, eh, malah film-film semacam itu diboikot. Hmmm, kasihan saya. Yaudahlah, nonton Youtube aja. Buka akunnya Atta Halilintar. Sambil terus merapal doa supaya kita bisa cepat-cepat jadi kaya kayak dia. Hidup bergelimang subscriber dan play botton. Terus nggak perlu lagi nonton Youtube sambil ngandelin wifi gratisan.
Memangnya, kita ini nggak punya moral yang kuat, ya? Kita nggak punya kemampuan untuk nge-filter informasi, po? Jadi, bakal begitu mudahnya terpengaruhi? Kalau nonton Kucumbu Tubuh Indahku, ujug-ujug bisa langsung jadi LGBT. Kalau nonton Dilan, bisa langsung bergabung dengan geng motor dan suka tawuran. Ya kali, kayak gitu. Kenapa kita justru mendeskreditkan pikiran dan hati kita sendiri dan begitu mudahnya membatasi informasi yang berseliweran—karena takut gampang jadi pengin?
Masak iya, sih, untuk film kita nggak cuma butuh Lembaga Sensor? Dan setiap penayangannya harus dikasih logo halal dari MUI dulu, sih? Atau nggak cukup di situ? Sekalian dibikinin RUU Perfilman? Iya? Iya? Heem?