Jadi Gini, Hidup Terasa Menyebalkan Bagi Night Owl, Soalnya…

MOJOK.CO Nama saya Kumala dan sering diplesetkan jadi “Kumenanti Malam Larut”. Siapa sangka, sekarang saya jadi night owl beneran.

Semasa saya jauh lebih muda dari hari ini, saya mengikuti serial Lupus karya Hilman Hariwijaya yang kemudian diadaptasi ke layar kaca. Lagu soundtrack-nya yang terkenal kala itu—saya ingat betul—berbunyi: “Bangun, dong, Lupus! Ayo, bangun. Bangun, dong, Lupus! Pagi menjelang~”

Lirik lagu ini, saya rasa, bakal diamini oleh para ibu di seluruh Indonesia yang mengalami ujian kesabaran saat membangunkan anak-anaknya di pagi hari—termasuk ibu saya saat menggoyang-goyangkan badan saya demi kesadaran saya utuh dalam sekejap. Saat itu, saya nggak punya pilihan lain selain bangun dan mandi—tentu saja karena saya harus berangkat sekolah dan jemputan saya akan datang tepat pukul setengah tujuh pagi—tapi kali ini saya menemukan sebuah fakta baru.

Konon, kalau kita merasa malas stadium sejuta lima ratus untuk bangun dari kasur, kita bisa mengomel dan menyalahkan kebiasaan buruk kita tadi pada…

…genetik yang berada di tubuh kita!!!!1!!1!!!

Ada perbedaan antara “malas bangun” dan merasa bahwa pagi hari bukanlah waktu yang tepat untuk beraktivitas. Kalau saya pribadi, jujur saja, tidak begitu bahagia untuk memulai kegiatan di pagi hari sebagaimana orang normal pada umumnya.

Prinsip saya ini mengingatkan pada dua karakter manusia yang dilihat dari preferensi aktifnya sendiri—atau disebut dengan kronotipe—yaitu morning lark dan night owl.

Saya, sayangnya, adalah manusia yang masuk ke golongan night owl.

Nama belakang saya adalah Kumala dan ayah saya sering bercanda sambil menyebut bahwa Kumala merupakan singkatan dari “Kumenanti Malam Larut”. Tadinya saya menanggapi dengan ketawa-ketiwi ala anak SD, tapi belakangan ini, baik saya maupun ayah saya, sama-sama hampir naik pitam kalau mengungkit hal ini.

“Kamu kok begadang terus, ngapain, sih???” tanya ayah saya suatu hari waktu saya sedang menyelesaikan naskah yang harus naik di pagi hari.

Saya hanya memandanginya tak percaya dan berkata, “Lah, katanya namaku ‘Kumenanti Malam Larut’, ya jadi begadang terus, dong. Hehe.”

Saya sengaja pakai “Hehe” agar ayah saya nggak khawatir-khawatir amat dan kembali ke kamarnya untuk tidur. Tapi, yang biasanya terjadi adalah ceramah panjang soal kesehatan dan saya—terpaksa—pura-pura tidur, untuk kemudian bangun lagi pukul 2 dini hari dan menyelesaikan apa yang saya pikir harus diselesaikan.

Terlepas dari plesetan nama “Kumala” tadi, sebuah penelitian telah menemukan bahwa gen ternyata berperan penting dalam menentukan seseorang untuk menjadi morning lark atau night owl. Setidaknya, demikian disebutkan oleh Michael Weedon, seorang profesor di University of Exeter Medical School.

Data ini diambil dari 700 ribu orang dan menyimpulkan bahwa faktor genetik bisa jadi erat kaitannya dengan kebiasaan tidur dan bangun seseorang.

Tunggu sebentar—sebelum kamu bisa dengan kurang ajarnya bilang, “Aku itu susah bangun pagi gara-gara nurunin Ibu atau Ayah, nih!”, pahami satu risiko ini: kita-kita (hah, kita???) yang baru bisa tidur setelah melek berjam-jam sampai pagi cenderung memiliki potensi lebih besar terkena masalah kesehatan.

Sebuah penelitian dengan 38 orang volunteer dengan karakter acak telah dilakukan, baik pada morning lark maupun night owl. Semua peserta dikenai tes untuk mengukur level hormon tertentu dan diberi perlakuan scan otak saat sedang tidak mengerjakan tes apa pun. Hal ini ditujukan untuk mencari tahu kerja fungsi otak, termasuk perihal kesadaran, refleks tubuh, perhatian, dan memori.

Penelitian dan tes dilakukan dalam waktu berbeda dalam sehari, mulai dari pukul 8 pagi hingga 8 malam. Hasilnya?

Para morning lark mendapatkan hasil terbaik saat mengerjakan tes pagi hari jika dibandingkan dengan para night owl. Sebaliknya, tes yang dilaksanakan malam hari menunjukkan bahwa night owl memiliki hasil terbaik mereka, tapi hasil tersebut sama baiknya dengan apa yang dimiliki morning lark.

Nah, loh, dari sini sudah kelihatan betapa beratnya hidup pejuang tukang-melek-sampai-pagi, kan??? Udah mah mereka kalah di tes pagi hari, eh tes malamnya juga nggak lebih unggul—malah setara!!!!1!!!11!!!

Kalau dijelaskan secara ilmiah, konektivitas otak kita, para night owl, memang lebih rendah dan menghasilkan performa yang tidak lebih baik, reaksi yang lebih lambat, bahkan tingkat ngantuk yang kian bertumbuh.

Tu-tunggu sebentar—ini kenapa jelek-jelek semua, ya???

Tapi, yah, pada akhirnya, menjadi night owl bakal sedikit memusingkan kita kalau berada dalam jadwal kegiatan umum di pagi hari, misalnya pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore. Waktu-waktu aktivitas ini jelas tidak sesuai dengan jam internal di tubuh kita yang merupakan pejuang night owl, Saudara-saudara.

Jadwal umum dari pagi hingga sore untuk bekerja memang wajar dan diterima di banyak lembaga. Namun, bagi manusia-manusia malam, hal ini justru bisa berdampak pada performa yang menurun di pagi hari dan kerja otak yang lebih rendah.

Beberapa ahli menyarankan betapa sebaiknya kita mulai bersikap fleksibel dalam mengatur waktu demi produktivitas yang maksimal dan risiko kesehatan minimal karena mereka curiga bahwa para night owl bakal mengalami banyak masalah kalau dituntut kerja secara optimal di waktu-waktu yang bukan “dia banget”.

Ah, tapi perlu diingat, tulisan ini bukan dibuat untuk mengirim ujaran kebencian pada peraturan yang kurang night-owl-friendly, kok. Soalnya—ingat—menjadi night owl ataupun morning lark adalah masalah yang muncul dari genetik kita sendiri, bukan urusan perusahaan, organisasi, atau lembaga manapun.

Mamam~

Exit mobile version