MOJOK.CO – Yang bilang gaji Jakarta atau UMR Jakarta tumpah-tumpah dan yang bilang hidup di Jogja itu nyaman mungkin kebanyakan melamun.
Sebagai perantau yang hidup di Jogja, saya jelas tidak mungkin sekali dua kali kepikiran untuk turut berkompetisi di Jakarta dan berjubel mengadu nasib di ibu kota. Ide itu berseliweran berjuta kali di kepala saya. Tanpa perlu diperdebatkan lagi, UMR Jogja memang ngenes, nggak kayak gaji Jakarta yang bisa dibilang lumayan. Walau sebenarnya UMR Jakarta bukan yang tertinggi di Indonesia, setidaknya banyak lowongan kerja yang mashook buat milenial nanggung kayak saya.
Gaji Jakarta tinggal di Jogja adalah frasa baru, lucu tur wagu yang belakangan ini sering disematkan bocah-bocah di medsos. Sekilas memang tampak menyenangkan, tapi semakin nggak masuk akal jika dipikir-pikir. Jika gaji Jakarta yang kamu dapatkan itu nominalnya sekitar Rp5 juta, ini benar-benar nggak ada bedanya. Pada akhir bulan mungkin kamu terpaksa makan di burjo juga. Nggak bisa lah makan Yoshinoya dua hari sekali, apalagi setiap bulan ke Sushi Tei, duh, apa nggak nyisihin buat nabung?
Masalahnya begini, meski kamu punya gaji Jakarta dan tinggal di Jogja, harga kebutuhan pokok banyak yang sama. Harga berasnya sama, harga telur juga sebelas dua belas, harga pulsa sama, paketan data juga sama, kamu pikir TDL juga nggak sama? Bahkan sampo, sabun, dan produk kecantikanmu juga harganya sama woy! Kalau beneran mau ditelusuri, beberapa mi instan malah dijual dengan harga yang lebih murah di Jakarta. Kami yang mau beli mi instan murah itu perlu mikirin lagi ongkir dan lama pengirimannya hanya untuk beberapa bungkus mi. Ini baru produk mi, belum yang lain.
Ide gaji Jakarta tinggal di Jogja memang awalnya terdengar begitu utopis. Kalau ditawari, saya sih juga mau, tapi tentu lihat-lihat dulu lah. Berapa gaji Jakarta yang saya dapatkan dan apa pekerjaan yang saya lakukan. Beberapa perusahaan swasta di Jogja memang sudah menggaji karyawan di bawah Rp5 juta, kecuali kalau kamu udah naik pangkat dan kerja penuh loyalitas bertahun-tahun, baru bisa lah jadi Rp8 juta. Sedangkan di Jakarta, tentu ada cara main yang beda lagi. Kalau pangkatnya langsung bagus, bisa sih dikasih gaji dua digit, tapi kadang tanggung jawabnya minta ampun beratnya. Beberapa kawan saya yang memutuskan jadi budak korporat Jakarta mengaku nggak pernah bisa tidur 8 jam sehari karena dihantui pekerjaan yang tak kunjung selesai dengan mobilitas yang luar biasa. Ini sih sama saja menjual kehidupan. Ya mending saya hidup namaste di Jogja lah. Jiwa yang sehat itu lebih mahal. Terkadang berada di lingkungan pekerja ambisius terasa lebih mengerikan daripada nggak punya uang.
Orang-orang mengira bahwa harga makanan di Jogja serbamurah, nyatanya “murah” itu jadi kata sifat yang relatif kalau sudah tinggal di Kota Istimewa. Sebenarnya di Jakarta pun banyak tempat murah lho andai kamu jeli. Sayangnya Jakarta telanjur dicap serbamahal duluan.
Jadi Jogja yang dibilang murah bagian mananya ya?
Jika sampai ada orang yang bilang tinggal di Jogja itu murah, sini ketemu sama saya, biar tak sentil ginjalnya. Harga properti di Jogja sudah jadi polemik sejak bertahun-tahun. Banyak pasangan baru menikah di sini yang ketar-ketir dengan biaya kontrak rumah. Mau beli tanah juga harganya bikin jiper. Sebagian orang pun memilih untuk menelan ide tentang apakah bisa jika kita seumur hidup harus mengontrak rumah? Mahalnya properti di Jogja ini otomatis juga berdampak sama harga kos-kosan. Kamu pikir kenapa banyak banget mahasiswa yang betah di Jogja, tapi setelah lulus mereka lari ke Jakarta? Ya karena sadar romantisasi Jogja itu indah hanya jika ia tidak dikaitkan dengan uang.
Ketimbang punya ide gaji Jakarta tinggal di Jogja, ide menaikkan UMR Jogja itu jauh lebih masuk akal. Ya biar seimbang lah antara kebutuhan hidup dan pemasukan pekerja di sini. Lagian kalau gaji Jakarta yang kamu terima itu sebesar dua digit, lalu kamu memutuskan tinggal di Jogja demi irit, ini lebih ngaco lagi. Lha gaya hidupmu nggak kamu pikirin? Gaji Jakarta, tinggal di Jogja, gaya hidup masih Jakarta, sama saja tekor akhir bulan. Gaji Jogja, tinggal di Jogja, gaya hidup Jogja, yang begini saja masih megap-megap. Apalagi orang-orang yang berani terima gaji Jogja, tinggal di Jogja, gaya hidup Jakarta. Woalah, otaknya kebawa ombak Parangtritis kali ya.
BACA JUGA Nggak Usah Terbeli oleh Romantisasi Jogja. Asline Biasa Wae, Lur dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.