Film SORE: Istri dari Masa Depan Lebih Cocok Disebut Film Horor daripada Drama Romantis

Film Sore: Istri dari Masa Depan Membuat Saya Makin Yakin, Bukan Tugas Perempuan Mengubah Laki-laki, Sekalipun Itu Suami Mojok.co

Film Sore: Istri dari Masa Depan Membuat Saya Makin Yakin, Bukan Tugas Perempuan Mengubah Laki-laki, Sekalipun Itu Suami (unsplash.com

Tulisan mengandung spoiler film SORE: Istri dari Masa Depan. Kalian yang belum menonton lebih baik skip tulisan ini. Kalian yang berharap ulasan berbobot yang tajam, lebih baik juga lewatkan tulisan ini. Saya cuma mau cuap-cuap setelah nonton film viral

***

“Lebih tepat disebut genre horror,” kata seorang teman yang baru saja menonton film SORE: Istri dari Masa Depan yang kini sedang diputar di bioskop. Jelas ini pendapat menarik. Apalagi, beberapa hari terakhir, di media sosial bertebaran konten terkait film Sore. Mulai dari konten yang membahas produksi filmnya, soundtrack, hingga meme.

Banyak juga teman yang membagikan testimoni setelah menonton. Ada yang bilang nyesek, menangis, hingga termotivasi pengin hidup sehat. 

Melihat respon di medsos, saya yakin film ini akan bertahan lama di bioskop. Itu mengapa saya selalu menunda  menontonnya. Saya malas dengan keramaian.

Akan tetapi, rasa malas itu berubah jadi penasaran karena komentasr salah satu teman. Setelah menonton, dia justru merasa film ini lebih cocok menyandang genre horor. Bukan drama romantis berbalut fantasi seperti yang tercatat di banyak laman ulasan film. 

Mati berkali-kali demi orang yang ngeyel, kurang horor apa?

Sekali lagi saya ingatkan, tulisan ini penuh spoiler. 

Diceritakan Sore (Sheila Dara) adalah istri dari masa depan Jonathan/Jo (Dion Wiyoko). Dia kembali ke masa lalu ketika Jonathan masih bujang. Dia membawa satu misi. Jonathan jadi pribadi yang lebih baik, lebih sehat.

Setiap kali gagal mengubah kebiasaan buruk suaminya, Sore akan kembali ke titik awal. Artinya, dia akan kembali membuka mata tepat pada pukul 08.25 di samping Jonathan versi bujang.

Di awal film, semuanya terasa gemas dan romantis. Namun, ketika penonton tahu bahwa Sore telah kembali ke titik awal itu berkali-kali. Jujur saja, rasanya sesak. Terlebih, Sore tidak pernah lupa semua upaya yang sudah dia lakukan tiap kali kembali ke titik awal. Sementara Jonathan adalah manusia yang baru tiap kali istrinya datang dari masa depan. 

Jonathan selalu kaget ketika melihat Sore bangun di sampingnya dan berkata, “Who are You?” penuh curiga. Sementara Sore membalas, “Saya Sore, istri Kamu dari masa depan,” dengan nada dan senyum yang manis. 

Akan tetapi, di bagian tengah-tengah hingga ujung film, Sore tidak lagi membalas dengan hangat. Terlihat jelas ekspresi capek, putus asa, dan frustrasi. Bayangkan saja, betapa melelahkan jadi Sore. Berkali-kali dia kembali ke titik awal demi mengubah hidup seseorang yang ngeyelnya bukan main. 

Benar juga kata teman saya, filmnya horor sekali. Apalagi setiap gagal di suatu periode kehidupan, Sore akan mimisan dan mati. Dengan kata lain, dia sudah mati berkali-kali.  

Di dalam hati ini saya rasanya ingin bilang, “Ya wis Mbak Sore, jalan-jalan dan happy-happy aja di Kroasia.” Tapi, film garapan Yandy Laurens itu akan kelar seketika kalau karakter Sore dibuat seperti yang saya inginkan. 

Meromantisasi Sore saja tidak cukup

Sang Sutradara menggambarkan karakter istri dari masa depan begitu sabar dan tabah mengubah kebiasaan buruk calon suaminya. Sifat inilah yang dipuja-puja penonton. Tidak sedikit yang kemudian meromantisasi dengan menginginkan pasangan, khususnya istri, yang seperti itu kelak. 

Tidak ada yang salah memang dengan pasangan yang sabar, setia, hingga rela berkorban. Tapi, semua hal terkait relasi itu tidak bisa hanya dari satu pihak. Mau Sore jungkir balik bagaimanapun, kalau Jonathan ngeyel, ya tetap bubar. “Horor” juga kalau semu-semua bergantung pada salah satu pihak saja, pada Sore saja. 

Itu mengapa, terlalu sempit rasanya kalau film ini berakhir pada meromantisasi Sore. Penonton juga perlu menggarisbawahi momen Jonathan yang pada akhirnya sadar untuk hidup lebih baik tanpa keberadaan Sore

Bukan tugas perempuan mengubah hidup laki-laki

Memang bebas saja memaknai sebuah karya, termasuk film. Sebagian penonton ingin menjadi atau mendapat sosok seperti Sore yang memilih Jonathan walau hidup 1000 kalilagi. Penonton lainnya ingin hidup lebih sehat. Sementara saya, setuju dengan teman saya: bukan tugas perempuan untuk mengubah hidup laki-laki. 

Mungkin pemaknaan ini terdengar kekanak-kanakan. Seperti status remaja patah hati yang bertebaran di media sosial. Namun, justru poin itulah yang ngena setelah keluar dari gedung bioskop. Mau Sore jungkir balik bagaimanapun, tetap saja Jonathan berubah karena ada kemauan dari dalam dirinya. 

Di akhir film diceritakan, setelah Sore mati berkali-kali hingga tidak bisa kembali ke titik awal lagi, Jonathan akhirnya berubah. Dia mengubah kebiasaan yang tidak sehat dan mulai berolahraga. “Telaaat,” kalau kata teman saya. Walau mungkin terlambat juga bukan kata yang tepat karena waktu dalam film Sore tidak linear. 

Di ujung film, Sore juga akhirnya menyadari, keputusan hidup orang lain bukanlah tanggung jawabnya. Keputusan itu ada di tangan yang menjalani kehidupan alias Jonathan. Sore hanya bisa hadir dan memberikan dukungan.

Untung saja Sore menyadarai hal itu. Kalau tidak, di sisa hidupnya, dia hanya akan dihantui rasa bersalah. Dan, apa yang lebih ngeri selain hidup diselimuti rasa bersalah? Saya harap poin ini juga ditangkap penonton di luar sana. Jangan melulu meromantisasi sosok Sore tanpa menyadari bahwa bukan tugas manusia untuk mengubah manusia lain. Perubahan tetap perlu ada niat dari dalam diri sendiri.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Film Jumbo Adalah Anomali, Akankah Jadi Tren Baru Dunia Perfilman Indonesia? dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN.

 

Exit mobile version