Beginilah Fase Awardee LPDP yang Mirip Masa-Masa Pacaran

MOJOK.CO Serangan kritik dan motivasi bagi para awardee LPDP yang berkuliah di luar negeri pun bermunculan!

Tagar #ShitLPDPAwardeesSay mendadak viral di media massa. Aksi ini dimulai dari akun @pervertauditor di Twitter yang menyuarakan cuitan-cuitan terkait hal-hal yang sering diucapkan para awardee LPDP yang berkuliah di luar negeri. Meski menohok dan mak jleb jleb, beberapa netizen justru menunjukkan kesetujuannya terhadap cuitan tersebut.

Bagi sebagian orang, bio Instagram awardee LPDP yang berbunyi “Part-time student, fulltime traveller” ternyata menjadi hal yang cukup mengganggu dan layak diklasifikasikan sebagai “shit”. Ibarat keran air yang dibuka lebar-lebar, kalimat-kalimat sindiran lain pun bermunculan.

@profatitties: “Dulu gue pas di manchester punya tray khusus buat bikin teh. Tiap pagi nyeduh english breakfast sambil chill” #ShitLPDPAwardeesSay

@yanimbrung: “Disini tuh tertib banget, apa-apa ngantri, bersiiiih banget kotanya.” #ShitLPDPAwardeesSay

@efanferd: “Masa baru segini aja kedinginan. Dulu gw 18°c cuma kaosan.” #ShitLPDPAwardeesSay

@dimas_satyo: Pulang-pulang kosakata campuran “which is”, “basically”, “lebih prefer” #ShitLPDPAwardeesSay

Orang-orang ini menyoroti ragam unggahan awardee LPDP, lengkap dengan caption-nya, yang sering kali mengundang kerutan dahi: situ mau cerita atau pamer? Hal ini tak lepas pula dari fakta lapangan bahwa banyak awardee yang diam-diam ogah kembali ke Indonesia dan lebih memilih bekerja di negeri orang.

Hmmm agar lebih mudah memahami perasaan para awardee yang sedang dikritik habis-habisan, marilah kita mencoba menganggap LPDP sebagai…

…seorang kekasih!!!

Masa-Masa Baru Jadian

Beberapa orang meyakini bahwa setidaknya ada 3,4372% niat untuk pamer dari awardee LPDP yang mengunggah foto, vlog, maupun kisah-kisahnya berkuliah di luar negeri. Padahal, fase “pamer” yang mengundang tagar #ShitLPDPAwardeesSay ini sesungguhnya tidaklah mutlak dimiliki peraih LPDP saja. FYI, ini adalah fase alami dari manusia ketika memiliki sesuatu yang baru.

Coba ingat masa-masa kamu baru jadian. Uh, rasanya tiap detik hanya ingin bertemu dirinya, lihat senyumnya, dengar suaranya, lalu pasang kata-kata manis di media sosial. Bio di Instagram dan Twitter pun langsung diubah dengan menyisipkan nama kekasih, tidak lupa beserta simbol hati kecil dan imut-imut.

Fase ini disebut fase honeymoon, di mana seseorang cenderung ingin menunjukkan apa yang berhasil ia dapatkan. Fase ini bisa terjadi di masa-masa pertama kali awardee LPDP mendaratkan kaki di luar negeri atau bahkan di awal-awal masa kembalinya ia ke Indonesia dan masih kangen setengah mati dengan suasana kota rantaunya.

Singkatnya, mereka-mereka yang cenderung “pamer” itu persis berada di fase di mana seseorang dengan giat mengucapkan “I love you” pada pacarnya yang baru sebulan jadian.

Masa-Masa Membanding-bandingkan Mantan

Lalu, bagaimana dengan yang suka membanding-bandingkan Indonesia dengan negara lain? Hal ini kurang lebih mirip-miriplah dengan kegiatanmu membanding-bandingkan pacar dengan mantan-mantan terdahulu.

Nyatanya, beberapa awardee memang cenderung mematok nilai-nilai yang ia lihat di negara tempatnya studi sebagai dasar kebenaran untuk diukur pada Indonesia.

Indonesia macet, disalah-salahin karena nggak kayak di UK. Orang Indonesia buang sampah daur ulang ke keranjang sampah yang tidak daur ulang, langsung diprotes karena dianggap tidak teratur seperti di Jepang. Sistem pendidikan Indonesia masih gini-gini aja pun dikomplain karena tidak sekeren Finlandia dan Korea Selatan. Pokoknya, Indonesia itu kayak Jokowi, lah: apa-apa salah!

FYI, perilaku membanding-bandingkan sebenarnya adalah watak yang sering kali ditemui, bukan cuma pada  manusia-manusia LPDP. Ha gimana, ibu-ibu aja ada yang hobinya membanding-bandingkan, kok. Dikit-dikit nanya, “Anakmu udah bisa ngapain aja? Kemarin anakku salto sambil nge-rap, loh,” lantas pasang muka prihatin tak percaya waktu tahu anak kawannya baru bisa merangkak. Hmm.

Ingat peribahasa Alah bisa karena biasa? Seseorang menjadi terbiasa dengan apa yang ia lihat dan rasakan karena itulah yang selalu ia alami setiap waktu. Karena terbiasa, hal-hal yang berada di luar kebiasaan pun akan dianggap aneh dan tak masuk akal. Ujung-ujungnya? Banding-bandingin, deh.

Nih, jangankan awardee LPDP, wong kamu sendiri aja mungkin sering kelepasan membandingkan diri sendiri sama orang lain. Sama mantannya pacarmu, misalnya. Eaaaa~

Pacaran adalah Risiko, Begitu Pula dengan LPDP

Yes, LPDP awardees say some shits—so do we.

Rileks dulu; para awardee LPDP toh sama manusianya dengan kita. Nggak ada gunanya juga, man, untuk menggeneralisasi sebuah anggapan ke seluruh bagian dalam kelompok.

Meski ada yang dengan bangganya memamerkan vlog hidup berpesta-pora dan kabur dari tanggung jawabnya untuk berkontribusi pada Indonesia, mereka tidak lantas berhak jadi satu-satunya pihak yang disalahkan. Justru, ini menjadi PR besar bagi panitia LPDP menimbang lebih matang setiap kandidat penerima LPDP.

Lagi-lagi, fase kabur dari tanggung jawab ini adalah implementasi dari perwujudan pengibaratan LPDP sebagai pasangan kekasih. Kalau sudah komitmen, kamu jelas akan berusaha keras menikahi si dia. Tapi kalau dasarnya kamu belum siap, keinginan untuk selingkuh dan putus itu lantas mencuri jalannya akal sehatmu. Pun begitu dengan LPDP—yang dibayar dari uang pajak masyarakat Indonesia.

Tapi yaaaaah, emang super kebangetan, sih, kalau ada yang justru kabur dari komitmen setelah kuliah dibayarin sampai ke luar negeri!

Exit mobile version