Pak Kapolri Tito Karnavian dikritik karena dianggap melanggengkan rape culture. Dalam wawancara pada BBC Indonesia ia menyebut bahwa pihak kepolisian harus mengikuti prosedur yang berlaku saat menangani korban perkosaan. Korban yang diperkosa harus melalui rangkaian prosedur wawancara sebagaimana korban kejahatan lainnya.
“Misalnya dalam kasus pemerkosaan, terkadang polisi harus bertanya kepada korban, apakah Anda merasa baik-baik saja setelah diperkosa? Pertanyaan semacam itu sangat penting. Jika saya diperkosa, bagaimana perasaan saya selama pemerkosaan terjadi, apakah nyaman? Jika nyaman, itu bukan pemerkosaan.”
Ada yang salah dari pernyataan Tito? Nggak ada. Bagi mereka yang menjadi pendamping kasus perkosaan atau caregiver korban kekerasan seksual, pernyataan itu biasa. Nggak bikin kaget. Dalam kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan, korban yang biasanya perempuan secara terberi dianggap sebagai pihak yang bersalah.
Diperkosa kok malah disalahkan?
Begini, saat kamu menjadi korban kekerasan seksual, kamu perlu bukti visum untuk bisa melapor ke polisi, tapi untuk mendapatkan visum kamu perlu surat pengantar dari polisi. Jika pihak kepolisian menganggapmu tidak cukup meyakinkan untuk jadi korban kekerasan seksual, ya tidak akan diberi surat pengantar visum. Ini lingkaran setan, nggak ada ujungnya. Penyebabnya, karena secara umum ada anggapan perempuan diperkosa karena salahnya sendiri. Bajunya terlalu terbuka, kata-katanya terlalu menggoda, dan sebagainya ….
Pihak kepolisian, seperti yang diucapkan oleh Kapolri, harus bertindak sesuai prosedur yang berlaku. Sayangnya prosedur penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia mewajibkan korban untuk meyakinkan pihak kepolisian bahwa ia memang diperkosa. Alasannya supaya tidak salah tangkap, supaya tidak terjadi kasus di mana “sebenarnya perempuan itu doyan, tapi karena kesal atau nggak suka sama cowoknya, kemudian mengaku diperkosa”.
Logika semacam ini menganggap bahwa perempuan itu binal dan jalang, sementara laki-laki selalu suci dan mawas diri.
Setahun yang lalu seorang teman menelepon. Dengan terbata-bata, nyaris menangis, dan suara sangat pelan ia bertanya, bagaimana cara meyakinkan polisi bahwa ia diperkosa pacarnya? Teman saya ini berada dalam hubungan yang abusive. Ia kerap dipukul, dilecehkan, dan dipaksa melakukan hubungan seksual. Saat pacarnya kembali memukulnya, ia memutuskan untuk melapor pada polisi. Tapi, alih-alih dibantu, si polisi malah bertanya, mana bagian yang dipukul? Kok nggak ada bekas lukanya? Kok tidak memar? Yang mengerikan, ia malah disuruh pulang karena dianggap pertengkaran biasa dalam pacaran.
Di lain kesempatan saya mewawancarai perempuan yang menjadi korban catcalling. Ia sudah melapor kepada polisi bahwa selama beberapa bulan terakhir, saat menuju kantor, ia selalu diganggu oleh laki-laki yang sama. Ia merasa tak nyaman karena disapa dengan tendensi yang merendahkan. Saat melapor polisi, lagi-lagi ia dikecewakan.
“Cuma disapa doang,” kata si polisi.
Tidak hanya dari polisi, orang-orang di sekitarnya juga menganggap perempuan tadi berlebihan.
“Cuma dipanggil doang kayak udah diperkosa aja,” kata orang-orang yang tak mengenalnya.
Korban kekerasan seksual mungkin butuh mengumpulkan seluruh nyali yang ia punya untuk membuka diri. Mereka butuh dukungan dan juga perlindungan. Saat lembaga yang mereka harapkan bisa memberikan keadilan malah jadi bagian yang ikut menyalahkan, hasilnya runyam. Beberapa kawan yang aktif mendampingi kasus perkosaan menyebut bahwa korban diminta menceritakan ulang momen ia diperkosa. Tidak sampai di situ, ia kemudian mesti menjawab rangkaian pertanyaan yang sama mengerikannya.
“Apakah saat diperkosa Anda mabuk?” Lah, kalau mabuk, memang perkosaan itu jadi benar?
“Apakah saat diperkosa Anda memakai obat-obatan terlarang?” Lah, kalau pakai obat-obatan terlarang, memang perkosaan itu jadi benar?
“Apakah saat diperkosa Anda memakai pakaian yang mengundang?” Kawinan kali, mengundang.
Pertanyaan-pertanyaan itu secara mendasar menganggap bahwa perempuan yang diperkosa memang sudah tidak dalam keadaan baik. Mereka diperkosa karena mabuk, diperkosa karena teler, diperkosa karena seksi. Bukan karena ada laki-laki brengsek (yang mungkin mabuk, teler, dan sangean) yang memperkosa mereka.
Bagaimana menjelaskan konteks kekerasan seksual di Indonesia dengan dunia? Begini. Swedia, negara Eropa yang maju dan makmur itu, pada 2012 memiliki angka perkosaan tertinggi di Eropa dengan rata-rata 63 orang yang melapor per 100 ribu penduduk. Angka ini dua kali lebih banyak daripada pelaporan perkosaan di Amerika Serikat dan 30 kali lebih tinggi daripada di India yang hanya dua laporan per 100 kasus.
Lho kok bisa? Bukannya perkosaan di India tinggi?
Benar, di India tingkat perkosaan tinggi, tapi pelaporannya sangat rendah karena sistem hukum di India tidak berpihak pada korban. Di negara seperti India dan Pakistan laki-laki sangat diberi keistimewaan, mereka bisa melakukan honor killing, membunuh perempuan yang dianggap membawa nama buruk pada keluarga. Korban perkosaan adalah yang paling banyak dibunuh dalam praktik ini, sementara laki-laki pelakunya dibebaskan. Enak betul jadi laki-laki di negara itu.
Di Indonesia juga sama, jadi laki-laki itu enak. Kalau kamu memperkosa, paling pihak keluarga minta kamu menikahi korbanmu supaya tidak malu. Jarang sekali keluarga korban yang turut mendampingi kerabat mereka untuk melapor pada pihak kepolisian dan menuntut keadilan. Banyak orang merasa bahwa jika perempuan diperkosa, ia tidak lagi berharga, tidak suci, tidak ada yang mau, salah si korban, sehingga jika pelaku bersedia menikahi itu sudah bagus. Belum lagi kalau sudah laki-laki, berkuasa pula, tambah enak.
Klara Selin, sosiolog di the National Council for Crime Prevention di Stockholm, wedia menjelaskan bahwa kasus kekerasan seksual di Swedia sangat unik karena pihak kepolisian memiliki prosedur dan definisi legal yang luas. Negara itu juga berambisi untuk melindungi warga negara mereka sebaik-baiknya sehingga setiap pelaporan ditangani secara serius. Misalnya, jika ada satu korban melapor bahwa pacarnya memperkosanya setiap hari selama dua bulan terakhir, kasus perkosaan itu akan diperlaukan per peristiwa, artinya akan ada 60 berkas pelaporan yang berbeda, tidak menjadi satu dokumen.
Repot banget ya? Ya repot jika Anda merasa yang namanya perkosaan itu hanya sekali, dan kalau berkali-kali itu artinya doyan. Sebagai ilustrasi, begini: jika Anda dirampok oleh satu orang di empat tempat berbeda, seharusnya si pelaku dihukum dan diproses dengan empat berkas berbeda, tapi mengapa perkosaan hanya satu?
Swedia menjadi contoh penanganan kasus kekerasan seksual yang ideal. Tentu ada kritik karena membuat negara jadi seperti sarang pemerkosa, namun Swedia kini menjadi negara yang memiliki kesadaran publik tinggi tentang kekerasan seksual. Perempuan tak lagi takut melapor, polisi tahu bagaimana harus bertindak, dan masyarakat tahu kepada siapa mereka mesti berpihak. Ini serupa kampanye seperti #MeToo yang berusaha menunjukkan kesadaran bahwa ada banyak perempuan yang mengalami kekerasan seksual, tetapi diam karena masyarakat mengondisikan mereka untuk diam.
Tito bisa belajar cara penanganan kasus kekerasan seksual dari Swedia. Perkosaan kerap kali bukan soal nyaman atau tidak, tapi tidak hadirnya consent. Kalau misalnya rasa nyaman saat diperkosa dianggap ukuran bukan perkosaan, apakah tetap hidup saat ditabrak bukan usaha pembunuhan hanya karena korbannya masih bernyawa?