MOJOK.CO – Kenapa sih orang NU sering dimintai tolong untuk urusan ngusir demit? Dikira orang NU itu dukun apa yak?
Chat WhatsApp tiba-tiba masuk. Temen lama, ngontak.
“Daf, kamu bisa ngusir demit kan? Ini rumahku ada demitnya nih. Hambok tulung minta diusirin.”
Buset. Ini temen saya dapat info dari mana kok tahu-tahu minta tolong urusan perdukunan ke saya?
“Nggak bisa aku begitu-begitu. Ngawur kamu,” balas saya.
“Halaah, kamu kan cah NU.”
“Hambok kiro wong NU iso ngurusi bab gaib kabeh!” (Kamu kira semua orang NU bisa ngurusin perkara gaib semua!).
Ini bukan permintaan pertama yang datang ke saya. Dulu, ketika saya masih kerja di salah satu media beken di Jakarta, permintaan absurd begini juga pernah nyasar ke saya. Semakin bikin ruwet, yang minta tolong ini bukan temen sesama redaktur, tapi seorang pemimpin tertinggi di perusahaan tersebut.
“Eh, minta tolong dong, itu kantor di lantai dua kan anak-anak (baca: pegawai) pada digangguin. Tolong diusirin dong jin-nya,” kata Pak Bos ini lempeng aja tanpa perasaan berdosa ke saya yang melongo kaget.
“Gundulmu sempal, Pak. Mbok kiro aku ki dukun po piye?” batin saya, meski yang keluar di mulut saya, “Hah? Pripun, Pak? Gimana?”
“Ngusir demit. Kamu bisa kan?” tanya Pak Bos.
“Wah, ya ndak bisa saya, Pak,” kata saya polos.
“Lho, kamu kan bocah NU, masak nggak bisa?” kata Pak Bos selo.
Inginku berkata kasar tapi yang keluar, “Hehe, saya NU amatir, Pak.”
Tentu saja jawaban itu cuma kelakar saja. Bukan berarti NU “profesional” alias orang-orang yang aktif di kepengurusan NU itu lantas jadi jago urusan ngusir-ngusir demit. Bukan, bukan begitu konsepnya.
Dua “permintaan” ini sebenarnya hanya contoh kecil saja. Di luar itu saya kerap dimintai pendapat perkara gaib, dimintai doa, bahkan sampai disuruh menghadapi tempat-tempat seram. Padahal, saya sama sekali tak punya kemampuan itu (sebenarnya karena takut aja sih).
Meski begitu, saya bisa memahami kenapa tidak sedikit orang yang punya stigma bahwa orang Nahdliyin kayak saya dianggap punya kemampuan mirip-mirip Om Hao. Kayak jadi stereotipe komunal gitu.
Ya gimana, masyarakat Nahdliyin itu paling demen ziarah kubur, tempat yang kerap diasosiasikan sebagai tempat yang seram. Karena dianggap terbiasa “suka” mendatangi tempat seram, masyarakat Nahdliyin tampak lebih familiar dengan urusan-urusan demit.
Padahal kan ya belum tentu begitu, Bambaaang.
Bahkan, meski saya lahir dan besar dari keluarga Nahdliyin, seingat saya, saya tak pernah sekalipun mendapat pengalaman mistik seperti teman-teman saya yang—katanya—pernah lihat hantu, demit, atau pengalaman kesurupan.
Stigma ini juga bisa jadi muncul karena masyarakat Nahdiyin kerap diasosiasikan sebagai kelompok “Islam Tradisional”. Masyarakat yang suka mengisi di surau-surau kecil kampung di pelosok yang jauh dari kultur metropolitan. Ada irisan imajiner bahwa masyarakat Nahdliyin begitu kental sama urusan tradisi.
Lah wong doktrin NU saja, “Wal-muhafazhatu ‘ala qadimis-shalih. Wal akhdzu bil-jadiidil-ashlah”, merawat tradisi yang baik dan berinovasi dalam hal baru yang lebih baik. Pada akhirnya, kultur yang lunak begitu bikin masyarakat NU bisa bersikap cair dengan tradisi yang bukan berasal dari Islam.
Kebetulan, tradisi-tradisi yang bukan berasal dari Islam itu juga termasuk praktik perdukunan, aji-ajian, atau hal-hal gaib lainnya. Mungkin secara wujud sama, tapi cuma mantranya saja yang diganti.
Jika dulu pakai bahasa daerah, begitu Islam masuk ke Jawa, orang-orang Islam yang “dianggap” NU ini mengganti mantranya pakai kutipan-kutipan ayat suci.
Nah, karena stigma urusan demit dianggap sebagai urusan-urusan yang sifatnya tradisional dan tidak modern, maka asosiasi ini pun bersinergi dengan orang-orang Nahdliyin yang juga akrab dengan tradisi tidak modern.
Stigma semacam ini tentu nggak bakal nyantol kalau ke kelompok lainnya, kayak Muhammadiyah misal.
Ormas keagamaan yang cantolan bayangannya adalah “Islam Modern”. Kata “modern” ini boleh jadi muncul karena Muhammadiyah kalau bikin kampus bisa keren-keren, rumah sakit bisa sukses, bahkan bikin TK sampai SMA bisa bersaing dengan sekolah negeri.
Belum ditambah dengan akar Muhammadiyah yang memang sudah anti terhadap TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat) sejak kemunculannya. Ide kelahiran Muhammadiyah saja adalah wujud dari pemurnian Islam. Melepaskan ajaran Islam dari praktik-praktik perdukunan, gaib, sampai urusan kesurupan.
Artinya, sejak awal mereka memang tak bakal percaya dengan urusan takhayul ngusir demit dan tetek bengeknya.
Bagi Muhammadiyah, keluhanmu itu bisa saja dianggap takhayul. Praktik mengusir demitnya, itu bisa saja masuk kategori bid’ah. Cerita-cerita demit yang berhasil diusir itu bisa masuk ke bagian dari khurafat, yang merupakan kepercayaan yang bukan berasal dari Islam.
Oleh sebab itu, meski kesal karena dianggap punya kemampuan supranatural sama orang-orang non-NU, saya tetap maklum kalau orang-orang (yang mengaku modern) di sekitar saya, masih saja percaya dengan kredo, bahwa…
…kalau kamu punya urusan sama demit atau dukun, kalau kamu Islam, ya minta tolong lah ke orang-orang NU. Jangan ke orang Muhammadiyah, apalagi orang PKS.
Soalnya, bisa jadi bukan demitnya yang diusir, tapi malah kamunya yang diusir.
BACA JUGA Merayakan Kembalinya Sikap Kritis NU dan tulisan Ahmad Khadafi lainnya.