Dibikin Sakit Hati oleh Guru Adalah Hal Biasa dan Kita Mungkin Pernah Merasakannya

Normal Kalau Orang Tua Tak Izinkan Anaknya ke Sekolah meski Ada Protokol New Normal

Normal Kalau Orang Tua Tak Izinkan Anaknya ke Sekolah meski Ada Protokol New Normal

MOJOK.CO Tak semua niat baik bakal menjadi baik saat diutarakan dan ditindaklanjuti. Guru-guru saya membuktikannya.

Murid bikin guru sakit hati, itu banyak. Tapi kalau guru bikin sakit hati murid, tentu itu hal yang langka. Kendati demikian, langka bukan berarti tak ada.

Dalam sejarah belajar-mengajar, pastilah akan selalu ada beberapa fragmen ketika seorang guru, dengan sadar atau tidak, bikin muridnya sakit hati.

Beberapa terjadi karena memang mungkin si guru sudah gedeg setengah mati kepada si murid, beberapa sisanya terjadi karena si guru tak sadar bahwa ia sedang menyakiti hati si murid.

Saya akan menceritakan beberapa, tapi khusus kali ini, semuanya terjadi karena sebab yang kedua.

Dulu saat saya masih SD, di sekolah saya, ada seorang murid yang benar-benar menjadi legenda karena kecerdasannya. Ia kakak kelas satu tingkat di atas saya. Kita sebut saja murid legenda kita ini dengan panggilan Amir.

Di kampung saya, Amir memang-memang seorang anak yang brilian. Nilai matematikanya hampir selalu sempurna. Jarang sekali ia tak dapat 10. Pelajaran bahasa Indonesia apalagi, tak ada yang bisa mengalahkannya. IPA dan IPS rasanya sama saja. Agama pun begitu, ia sudah hafal cukup banyak surat-surat pendek ketika yang lain masih susah menghafal surat An-Falaq. Satu-satunya mata pelajaran yang mungkin Amir tidak unggul hanyalah Penjaskes.

Tak heran jika kemudian Amir menjadi kesayangan guru. Level kesayangan ini bahkan sampai berada di tahap yang cukup mengganggu.

Seringkali, anak-anak satu angkatan di bawah Amir-lah (yang mana itu adalah saya dan kawan-kawan satu kelas) yang kerap makan hati. Setiap kali ada ulangan dan tak ada satu pun siswa yang mendapatkan nilai 10, maka guru kami pasti akan menceritakan tentang Amir.

“Kalian itu mbok belajar kayak kakak kelasmu Amir itu, makanya dia selalu dapat sepuluh,” begitu kata ibu dan bapak guru kami.

Dan sialnya, itu hampir pasti terjadi di setiap angkatan setiap kami naik kelas. Nama Amir menjadi semacam mantra tersendiri.

Bagi bapak atau ibu guru, hal tersebut mungkin dianggap sebagai sebuah motivasi yang bakal bisa memacu kami untuk terus belajar. Namun bagi kami, kalimat yang sangat sering diulang-ulang itu justru menjadi semacam penegasan bahwa kami memang tak sepintar Amir. Dan ya, itu sering bikin sebagian dari kami sakit hati.

Dan itu bertahan sangat lama. Bahkan setelah saya dan kawan-kawan lulus SD, kisah tentang Amir itu konon masih sering diulang-ulang untuk adik-adik kelas kami.

Tentu saja saya masih punya kisah lain tentang sakit hati karena guru, dan kali ini masih tetap melibatkan seorang legenda. Bedanya, jika kisah sebelumnya melibatkan sosok Amir, siswa yang terkenal cerdas sekali, maka kali ini, justru melibatkan Sas, siswa yang juga menjadi legenda tersendiri karena bodoh sekali.

Sas adalah kawan saya. Ia sosok murid yang periang dan lucu. Ia tak pernah segan untuk membagi makanan atau apa pun yang ia punya kepada kawan-kawannya. Ia pemeluk Katolik yang taat sebelum akhirnya menjadi mualaf dan kehilangan ketaatannya di agamanya yang baru. Ia tak pernah menolak jika kami ajak mandi di kali di belakang sekolah.

Sebagai seorang kawan, ia adalah sosok yang sangat menyenangkan. Namun sebagai murid, ia adalah murid yang sangat berpotensi membikin guru-gurunya darah tinggi.

Ia hampir selalu tidak naik kelas. Ia pernah mengenyam bangku kelas 1 selama 4 tahun karena terus menerus tidak naik kelas. Di tahun kelima, ia akhirnya naik dan merasakan kelas 2. Namun pengalamannya naik ke kelas 2 ini hanya bertahan selama setahun, sebab setelah itu, ia turun kelas lagi ke kelas 1 sebelum akhirnya menjalani pendidikan selama beberapa tahun lagi sampai akhirnya keluarganya memutuskannya untuk tidak lagi menyekolahkannya.

Tentu saja saya pernah satu kelas dengan Sas. Saat saya satu kelas dengannya, ia sudah berusia 4-5 tahun lebih tua dari saya.

Salah satu peristiwa yang kelak bakal dikenang oleh Sas, dan juga kawan-kawannya satu kelas adalah peristiwa di awal caturwulan tiga yang seharusnya membahagiakan.

Salah satu guru kami, menawari kami para siswa untuk membeli LKS pendamping. Saya lupa apa nama LKS-nya, yang jelas kata guru kami itu, LKS itu hanya sebagai pendamping LKS pokok kami, Kunti. Karena statusnya hanya pendamping, maka siswa boleh memilih mau membeli atau tidak.

Ibu guru kami kemudian menanyai kami, siapa saja yang ingin membeli LKS pendamping ini.

“Yang mau beli silakan tunjuk jari, biar ibu data dan besok ibu ambilkan bukunya,” kata ibu guru kami itu.

Dari sekitar 30 siswa, ada sekitar setengahnya yang mengacungkan tangan. Sas salah satunya.

Demi melihat Sas ikut mengangkat tangan, ibu guru kami mendadak langsung mengatakan hal sungguh tidak kami duga

“Sas nggak perlu, sebab besok belum tentu naik.”

Blaaaaaar. Saya dan kawan-kawan spontan tertawa. Saya tak tahu bagaimana perasaan Sas saat itu. Namun sebagai manusia yang waras, kelak saya menduga, Sas pastilah sakit hati.

Benar bahwa Sas, dengan segenap kebodohannya, mungkin memang belum tentu naik kelas. Namun mengatakan hal tersebut, terang-terangan, dengan konteks yang demikian, tentu saja itu menyakitkan.

Niat ibu guru kami mungkin memang untuk membantu Sas agar ia bisa hemat, namun, ah… Sudahlah.

Nah, peristiwa berikutnya, kali ini, melibatkan saya sendiri sebagai korban tunggalnya.

Saat kelas 6, saya pernah terkena penyakit gondongan. Pipi bagian bawah saya membesar. Rasanya agak ngilu. Wajah saya yang dengan tata letak terbaik saja sudah tidak impresif langsung menjadi semakin kacau.

Saya seharusnya tidak perlu masuk sekolah, sebab kalau memang ingin sembuh, saya harus istirahat di rumah selama beberapa hari.

Namun karena saya adalah tipikal anak muda yang sangat haus akan ilmu dan uang saku, saya tak bisa membiarkan diri saya untuk tidak masuk sekolah hanya karena penyakit yang saya anggap receh ini. Maka, jadilah saya tetap berangkat ke sekolah.

Demi melihat pipi bagian bawah saya yang kembung, kawan-kawan saya banyak yang menertawakan saya. Ini cobaan pertama saya. Beberapa kawan yang keterlaluan bahkan sampai mencolek pipi saya, untuk mengetes kepadatannya. “Cuma pengin ngetes, isinya air apa angin,” ujarnya. Bangsat.

Tapi tak apa. Wong saya sendiri sebelum berangkat sekolah, pas ngaca di depan cermin, saya juga merasa geli sama wajah saya sendiri, apalagi kawan-kawan saya. Mereka tentulah punya hak yang lebih besar untuk geli.

Saat jam pelajaran dimulai, guru saya langsung ngeh dengan tampang saya yang agak berbeda.

“Agus, pipimu melendung begitu, kenapa?”

“Saya kena gondongan, Bu,” jawab saya.

Mendengar jawaban tersebut, tampak jelas bahwa raut muka ibu guru saya itu berubah. Adegan berikutnya, adalah adegan yang bagi saya serupa palu godam yang menghantam dada saya.

Guru saya yang posisi sebelumnya sedang menulis di papan tulis, kemudian kembali ke mejanya, sejurus kemudian, ia berkata dengan entengnya, “Gondongan itu menular, yang lain, hati-hati kalau dekat Agus ya.”

Mendengar apa kata Ibu guru, seluruh kawan yang duduknya berada di sebelah, depan, belakang, dan samping saya langsung menyingkirkan kursinya menjauhi saya. Mereka langsung menjauh secara sistematis.

Kawan-kawan saya takut tertular. Saya yang tadinya tak paham bahwa gondongan ini menular langsung merasa syok. Tapi jauh lebih syok karena pengucilan dari kawan-kawan saya.

Posisi kursi saya yang memang berada di tengah membuat upaya pengucilan saya semakin sempurna saja. Saya bagaikan magnet dan kawan-kawan saya bagaikan magnet lain dengan kutub yang menolak. Saya bagaikan kakbah yang berada di tengah dengan kawan-kawan saya sebagai jamaah haji yang mengelilingi saya. Bedanya, mereka tak mau berebut menciumi dan menyentuh saya.

Saya menghabiskan sisa waktu belajar di kelas dengan kondisi yang paling menyakitkan. Ingin rasanya menangis, tapi itu akan semakin membuat saya semakin nelangsa.

Waktu istirahat adalah siksaan lain yang tak kalah menghancurkan diri saya. Bayangkan, saat berjalan ke kantin, kawan-kawan saya yang sedang berdiri di lorong secara otomatis langsung membuka jalan dan menjaga jarak dari saya. Mereka laksana air laut merah yang dibelah oleh tongkat Nabi Musa.

Ada sejumput amarah yang timbul dalam diri saya kepada ibu guru, kenapa harus mengatakan hal yang demikian tadi. Walau belakangan, apa yang ia katakan memang benar adanya, tapi tetap saja itu adalah siksaan yang berat bagi saya.

Menghabiskan enam jam dalam pengasingan yang sama sekali tidak heroik dan cenderung menyebalkan. Saya akan terus mengingat hari itu sebagai salah satu hari terburuk dalam sejarah pendidikan dasar saya.

Kelak, pengalaman-pengalaman saya dan kawan-kawan saya ini membawa satu kesimpulan penting bagi saya. Bahwa tak semua niat baik bakal menjadi baik saat diutarakan dan ditindaklanjuti.

Niat baik itu satu hal. Sedangkan eksekusi yang baik adalah hal yang lain.

Exit mobile version