MOJOK.CO – Dunia harus bersiap menerima kenyataan bahwa pembelajaran jarak jauh akan terus meningkat kepopulerannya.
Salah seorang kawan saya, sebut saja namanya Prayit, belakangan ini tampak gusar bukan kepalang. Selama ini, dirinya mendapatkan penghasilan dari honor menulis di media serta honor dari mengisi pelatihan-pelatihan menulis atau sebagai pemateri diskusi di berbagai tempat.
Honor menulis di media yang ia dapatkan boleh dibilang lumayan. Namun, honor sebagai pemateri pelatihan atau diskusi, atau sebut saja pembicara publik nilainya jauh lebih besar.
Itulah kenapa dia sebenarnya lebih layak disebut sebagai penjual cocot alih-alih penjual tulisan.
Di masa pandemi corona ini, kepada saya, Prayit mengaku bahwa penghasilannya turun drastis. Alasannya tentu saja karena job manggung sebagai pembicara publik banyak yang dibatalkan. Aturan pemerintah untuk tidak membikin acara yang berpotensi mengundang banyak orang tentu sangat menghantam pekerjaan Prayit.
Maklum, acara di mana Prayit tampil sebagai pembicara biasanya pasti menghadirkan banyak peserta. Namanya juga pembicara publik. Kalau pesertanya cuma satu, itu tukang pijat urut namanya.
Saya tentu saja paham betul dengan kondisi ini. Walau bukan pembicara publik, namun jelek-jelek begini, saya juga lumayan sering diundang sebagai pembicara. Cocot saya ini masih lumayan laku dan ada yang mau beli. Walau tentu saja tidak selaris Prayit yang memang sejak dulu rajin membranding dirinya sebagai seorang pemateri dan pembicara publik.
Beruntung bagi Prayit, ia masih tetap bisa mendapatkan job mengisi kelas atau diskusi walau hanya lewat online dan jumlahnya tak banyak-banyak amat.
“Ya lumayan daripada nggak,” ujarnya, “Kadang via grup WhatsApp, kadang via Instagram live.”
Kendati demikian, ia mengaku nggak sreg-sreg amat menjadi pemateri acara yang diselenggarakan secara online. Menurutnya, ada banyak kekurangan menjadi pemateri via online ketimbang bertemu audience secara langsung.
“Misal kalau aku melemparkan guyonan, itu pesertanya susah untuk ketawa, karena nggak ada feel-nya.”
Pengalamannya melemparkan humor dan tidak ada yang tertawa itu justru membikin saya tertawa, saya bisa membayangkan kegaringan yang ia alami itu.
Komunikasi langsung secara tatap muka memang bukan hanya mengandung aspek informasi yang menjadi obyek komunikasi itu sendiri, lebih lanjut, komunikasi tatap muka juga melahirkan aspek-aspek lain seperti emosi, penekanan suara, spontanitas, dan juga humor.
Selain itu, kata Prayit, ia juga tak leluasa memadukan penyampaian materi lisan dengan materi slide yang biasanya bisa ia lakukan dengan mudah cukup dengan bilang “next” kepada operator.
“Susah, Buooos,” katanya.
Kawan saya yang lain, sebut saja Yanto malah lebih parah lagi.
Sebagai seorang dosen di salah satu universitas swasta, ia merasa sangat kesulitan saat harus mengajar secara jarak jauh. Maklum saja, walau ia masih muda, namun pengetahuannya soal dunia kekinian memang cukup buruk. Ia belum terbiasa menggunakan peranti-peranti telekomunikasi jarak jauh secara online.
“Sumpah, aku jadi kelihatan goblok di depan mahasiswa-mahasiswaku,” katanya dengan tampang yang lempeng. Tampang yang di mata saya justru semakin melegitimasi kegoblokannya itu.
Tak bisa dimungkiri, pandemi corona ini memang membikin masalah tersendiri utamanya bagi banyak aspek, dan aspek belajar-mengajar adalah salah satunya.
Di sosial media, tak terhitung berapa banyak mahasiswa dan juga dosen yang curhat tentang betapa susahnya melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara jarak jauh. Kalau mahasiswanya yang curhat, mungkin itu sudah biasa. Namun kalau sampai dosennya pun sudah ikut curhat, itu artinya, ada masalah yang cukup pelik di sana.
Lha gimana nggak, lha wong sekadar video call dengan kekasih saja rentan salah paham, apalagi kegiatan belajar-mengajar jarak jauh yang notabene materi yang dibicarakan pasti lebih serius ketimbang materi pembicaraan dua orang yang sedang pacaran.
Hal ini merupakan konsekuensi dari sistem pendidikan kita yang memang masih terlalu fokus pada konsep pembelajaran tatap muka secara langsung antara mahasiswa dan dosen, sehingga pembelajaran secara online masih dianggap agak tabu.
Di Indonesia sendiri, masih banyak perguruan tinggi yang belum siap dengan sistem pembelajaran jarak jauh atau online. Hasilnya ya itu tadi, di masa pandemi seperti sekarang ini, muncul kegagapan teknologi yang membuat komunikasi antara dosen dan mahasiswa terganggu. Banyak kuliah yang kemudian tidak bisa selesai dengan optimal di masa pandemi.
Padahal, di era digital seperti sekarang ini, dengan atau tanpa adanya pandemi, sistem kuliah jarak mutlak diperlukan.
Jika dulu dosen ada keperluan mendadak sehingga tidak bisa masuk ke kampus, atau dosen sedang ada acara di luar daerah dan tidak ada dosen pengganti, maka solusi satu-satunya adalah kelas diliburkan. Namun sekarang, solusi tersebut tak lagi relevan. Ada alternatif baru sebagai solusi lain, salah satunya ya dengan kelas online.
Di Indonesia, baru segelintir perguruan tinggi yang sudah mengadopsi dan menerapkan perkuliahan sistem daring. Padahal dengan adanya sistem ini, kegiatan belajar-mengajar bisa menjadi lebih variatif dan berwarna.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bisa menjadi contoh yang bagus atas penerapan sistem perkuliahan daring ini.
Sejak tahun 2016, UMY telah memulai mengkombinasikan pembelajaran tatap muka dengan pembelajaran daring. Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan sudah mengembangkan platform khusus yang mereka beri nama MyKlass. Platform ini memungkinkan proses pembelajaran meskipun tidak lagi ada tatap muka antara dosen dan mahasiswa.
MyKlass bukan sekadar platform ngobrol kolektif secara daring layaknya zoom, lebih dari itu, platform ini dilengkapi dengan fitur yang cukup lengkap untuk mengadakan pembelajaran seperti membagi materi, forum diskusi, serta pengadaan kuis/latihan dan games. Kualitas pembelajarannya pun dimonitor dan dievaluasi oleh tim khusus di UMY.
Ketika banyak orang berdebat tentang “Tugas online vs kuliah online”, UMY dengan platform bikinannya tersebut justru kemaruk dengan memilih dua-duanya. Why not both?
Dengan MyKlass, tidak ada lagi opsi tugas online atau kuliah online, sebab keduanya bisa dilakukan melalui satu kanal.
Sejauh ini, UMY boleh dibilang cukup berhasil mengimplementasikan sistem perkuliahan daring. Sampai sekarang, tercatat ada sekitar 85% mata kuliah yang sudah menggunakan MyKlass.
Di masa depan, sistem perkuliahan daring ini tentu saja akan semakin krusial keberadaannya seiring dengan makin dinamisnya kehidupan digital dan makin majunya teknologi komunikasi.
Kampus-kampus bisa dengan mudah menghadirkan pengajar-pengajar atau pemateri dari berbagai daerah baik dalam maupun luar negeri tanpa terikat ruang.
Bukan mustahil di masa depan kampus bisa dengan mudah menghadirkan tokoh-tokoh dunia sebagai dosen tamu tanpa harus hadir langsung di kampus.
Bukan mustahil jika mahasiswa-mahasiswa fakultas olahraga bisa mendapatkan kuliah umum langsung dari Eric Cantona, Rafael Nadal, atau Usain Bolt, misalnya.
“Aku udahan dulu ya, habis ini ada kelas soalnya.”
“Buru-buru amat, emangnya siapa sih dosennya?”
“Pak Erik.”
“Erik? Erik siapa?”
“Erik Kantona.”
Dengan atau tanpa pandemi, seluruh manusia memang harus bersiap dengan berbagai konsekuensi teknologi yang muncul.
Kawan saya Prayit mau tak mau harus mulai membiasakan diri untuk mengisi kelas atau menjadi pemateri melalui kanal online. Ia harus sadar bahwa di masa depan, kelas online bakal menjadi tren baru dan ia tak bisa terus mengandalkan undangan mengisi acara tatap muka.
Begitu pula dengan Yanto yang harus mulai belajar untuk menggunakan perangkat telekomunikasi jarak jauh, sebab setelah masa pandemi, bukan tak mungkin kampusnya akan banyak meyelenggarakan kelas online seiring dengan main naiknya tren perkuliahan jarak jauh.
Berbagai lembaga pendidikan utamanya perguruan tinggi pun harus responsif untuk mulai mengadopsi sistem dan kurikulum perkuliahan daring sebab di masa depan, akan banyak bidang pekerjaan yang beririsan dengan konsep kerja arak jauh secara online, sehingga mahasiswa yang baru saja lulus sudah lebih siap untuk memasuki iklim kerja jarak jauh.
Zaman memang selalu menuntut sesuatu yang lebih dari yang sudah-sudah.
Dan kita semua paham, hanya mereka yang adaptif yang bisa bertahan. (agm)