Coffee Shop Jogja dan Coffee Shop Malang Makin Menjamur

Nggak perlu rekomendasi-rekomendasi, setiap gang juga ada.

ilustrasi Iklim Coffee Shop Jogja dan Coffee Shop Malang yang Menjamur Nggak Ketolong mojok.co

MOJOK.CO  – Coffee shop Jogja dan coffee shop Malang punya iklim serupa. Menjamur, baristanya kece, dan hampir semuanya ramai. 

Seharusnya orang-orang yang tinggal di Jogja dan Malang memang nggak pernah merasakan bingung saat mau ngopi. Baik itu “ngopi” dalam artian minum kopi, kongkow-kongkow bareng teman, bahkan “ngopi” sambil ngerjain tugas dan menyelesaikan pekerjaanmu yang nggak kelar-kelar itu. Coffee shop di kedua kota ini banyaknya minta ampun. Mau model kayak apa pun, semua ada. Tinggal pilih dan menyesuaikan budget masing-masing.

Sederhana saja kalau mau membuktikannya. Kamu cukup buka Google Maps, dan klik tulisan “coffee” yang ada di bawah kolom pencarian. Terlihat jelas titik-titik warung kopi di sekitarmu yang sudah tak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, saya mencari coffee shop Jogja di sekitar area kantor Mojok. Ternyata banyak banget. Padahal lokasi kantor Mojok ya sesuai namanya, di pojokan Kota Sleman.

Lima tahun yang lalu saat masih tinggal di Malang, saya rasa coffee shop Malang belum sebanyak sekarang. Kawan-kawan saya yang masih di sana kerap sambat perihal tempat ngopi yang makin banyak aja. Katanya, jadi bingung memilih.

Konon, saat ini jumlah destinasi warung kopi jadi semakin banyak dan bikin kota dengan jalanan mbulet ini semakin macet. Saya yakin betul jika kembali mengunjungi Malang sekadar untuk nostalgia, saya akan kebingungan sebab banyak banget rekomendasi coffee shop-nya. Pernyataan saya ini semakin dikuatkan dengan pernyataan akamsi, penulis Mojok Iqbal AR yang sampai mungkin sedang geleng-geleng heran kok banyak banget coffee shop Malang.

“Selain Sudimoro, daerah Omah Kampus juga banyak coffee shop (di Malang) dan rame juga.” kata Iqbal menegaskan bahwa hampir semua coffee shop Malang ramai pengunjung.

Kadang saya juga heran, coffee shop Jogja dan coffee shop Malang menjamurnya nggak ketolong. Tapi, mereka masing-masing punya segmentasi dan tetap ramai pengunjung. Masih jadi misteri kenapa bisa begitu. Kalau semuanya pakai penglaris, pocong dan kuntilanak di kedua kota tersebut bakal sibuk banget. Saya mencoba mempraktikkan metode yang sama dengan buka Google Maps dan menaruh titiknya di Jalan Sudimoro, Malang. Ah, cukup banyak, walau tetap masih lebih banyak warung kopi di Jogja.

Kisaran harga coffee shop Jogja sebenarnya cukup mahal. Jika dibandingkan dengan UMR Jogja yang aduhai bermasalah itu, saya yakin jeglek banget. Satu cangkir kopi bisa dihargai lebih dari Rp30 ribu. Belum lagi camilannya yang kadang-kadang harus dipesan sebagai teman minum. Sehari nongkrong bisa langsung bokek dan terpaksa puasa seminggu dan buka puasa pakai Indomie goreng.

Ngopi murah di Jogja sebenarnya masih bisa. Banyak banget tempat nongkrong yang menawarkan harga murah dengan wifi kencang lengkap dengan colokan. Tapi, namanya juga termakan iklan dan nafsu nongkrong di tempat populer. Terkadang rasanya sulit memilih tempat yang bagus, nyaman, wifi kencang, dan murah sekaligus. Akhirnya orang-orang merasa nggak masalah memilih tempat dengan harga kopi lumayan mahal. Ini kan gaya hidup anak muda, gitu loh. Nggak usah diprotes, sudah, daripada jadi bahan thread di Twitter.

Beda dengan Jogja, harga coffee shop Malang cenderung lebih ramah. Kisaran Rp10-20 ribu masih dapat yang lumayan. Sayangnya, beberapa orang memang menilai kopi artisan di Malang nggak lebih enak dari kopi artisan di Jogja. Lagi-lagi penilaian ini mentok seputar spekulasi dan pengalaman pengunjung. Sebab, mana mungkin satu orang bisa menjelajahi seluruh warung kopi di Jogja dan di Malang lalu menilainya secara objektif. Lha, banyak banget, je!

Selain banyak banget coffee shop, kedua kota ini punya kesamaan lain, yaitu kepopuleran barista. Barista yang punya penampilan menarik, followers medsos banyak, dan kece saat pakai apron sudah tentu jadi salah satu “indikator” penglaris. Entah bagaimana metode rekrutmen mereka, yang jelas barista masih dianggap sebagai wajah warung kopi. Semakin populer si barista di tongkrongan, semakin potensial buat menarik minat pelanggan.

Semakin banyak coffee shop Jogja dan coffee shop Malang, saya yakin ini mengubah kebiasaan bertemu dan bertamu. Dulu, janjian dan kongkow bareng teman nggak harus di warung kopi. Seringnya justru di tempat salah satu kawan biar mainnya bisa gratis dan lama. Ternyata kebiasaan mengunjungi rumah kawan sekarang sudah dianggap old school. Ngapain kopi darat di rumah kawan, ngerepotin, nggak bebas, dan yang jelas nggak bisa berteman dengan barista-barista kece.

BACA JUGA Sisi Gelap Kedai Kopi Jogja: Ganti Barista Tiap 3 Bulan demi Cuan dan artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version