Cara Media di Indonesia Melihat Reynhard Sinaga dan 250 Juta ‘Hakim’ di Indonesia

reynhard sinaga

reynhard sinaga

MOJOK.CO Beda media massa Inggris dan Indonesia dalam memberitakan sebuah proses hukum. Dari kasus Reynhard Sinaga, kita diberi gambarannya.

Cara media Inggris dengan media Indonesia melihat kasus hukum ternyata benar-benar beda. Terutama kalau kita memerhatikan media yang memberitakan kasus pelaku pemerkosaan Reynhard Sinaga.

Saya baru sadar setelah beberapa hari ngikutin kasus Reynhard, lalu iseng membandingkannya dengan beberapa kasus hukum yang diberitakan oleh media massa di Indonesia.

Gini.

Di Indonesia, ketika seseorang ditetapkan (baru) tersangka, media massa kita akan gampang saja mem-blow-up habis-habisan. Inisial yang diberikan penegak hukum saja sudah bisa diulik duluan.

Terutama kalau kasusnya melibatkan orang penting, atau kejahatannya luar biasa keji.

Kasus terbaru misalnya, Komisioner KPU yang kena OTT KPK kemarin.

Cuma bermodal inisial WS saja, beberapa media Indonesia sudah habis-habisan mengorek siapa-siapa saja nama Komisoner KPU yang punya inisial itu. Celakanya, komisioner KPU cuma satu yang inisialnya WS.

Mampuslah itu reputasi WS dihajar habis-habisan kiri-kanan. Ibarat begal motor ketangkap warga, babak belur.

Tentu saja saya bukan dalam kapasitas membela WS, saya cuma merasa aneh ketika memperhatikan cara kita (dan media massa) merespons serta memberitakan proses hukum di Indonesia. Saya menyebut “kita”, karena saya ada andil kesalahan juga di sana.

Begini.

Kita sering tanpa sadar suka melabeli seseorang “bersalah” jauh sebelum putusan hukumnya ada. Atau sebelum hakim memutus bersalah.

Kalau mau kasus yang “mirip” dengan kasus Reynhard, kita bisa melihat kasus seorang oknum guru PNS di Sleman yang disangka melakukan pencabulan ke anak didiknya. Berita itu masih anget-anget tai ayam.

Karena baru disangka, tentu saja statusnya “tersangka”. Namun, entah kenapa selalu ada dorongan di masyarakat bahwa si tersangka ini sudah pasti salah. Sudah pasti dia pelakunya. Tak mungkin orang lain.

Lalu dihajar sudah itu tersangka pencabulan. Bahkan sampai status PNS-nya dibawa-bawa segala. Sekali lagi, persis kayak maling ayam ketangkap warga. Ajur.

Padahal, kalau dari istilah hukum yang dipakai saja, tersangka itu kan artinya orang yang “disangka” sebagai pelaku kejahatan. Artinya, masih ada celah kemungkinan lain bahwa bukan ia pelakunya.

Kalau masuk pengadilan, statusnya baru berubah. Jadi terdakwa. Karena didakwa dengan beberapa bukti, bukti petunjuk, sampai saksi-saksi terkait. Baru ketika putusan hakim diketok. Vonis keluar. Jadilah “terpidana”.

Di Indonesia, posisi terpidana pun masih bisa berubah di pengadilan tingkat pertama. Misalnya lalu banding ke tahap berikutnya, lalu kasasi bahkan mengajukan PK ke Mahkamah Agung. Baru dari sana, statusnya jelas. Sudah inkrah, kalau bahasa hukumnya.

Kalau terbukti salah ya jadi narapidana, kalau nggak terbukti ya berarti ia cuma orang yang disangka dan didakwa bersalah saja selama ini. Artinya sangkaannya keliru. Kira-kira gitu.

Nah, balik ke masalah Reynhard Sinaga (sumpah, itu nama susah bener nulisnya), kalau nggak salah ingat, kasus Reynhard itu sudah disidang sejak 2018. Dan itu udah dua tahun yang lalu.

Artinya, pada 2018, status Reynhard ini tersangka. Atau kalau dalam logika kultur hukum-ala-penghakiman-Indonesia “sudah” tersangka melakukan pemerkosaan terhadap 190-an pria di Inggris. Alih-alih, memakai logika “baru” tersangka.

Mungkin jika media Inggris cara cari duitnya kayak kebanyakan media di Indonesia (nggak semua juga sih), nama Reynhard dan Indonesia sudah booming sejak dulu. Kusak-kusuk Pilpres 2019 setahun sebelumnya, bisalah disaingin viralnya bentar sama isu ini. Cuma bentar aja tapi.

Pertanyaannya….

…lalu kenapa pada 2018 silam kita di Indonesia nggak dengar kasus ini sama sekali? Puuaadahal saat itu sidang pertama untuk Reynhard sudah dimulai?

Jawabannya: selain karena dilarang hukum setempat (untuk melindungi korban) media Inggris malah kayak mengamalkan asas hukum Indonesia yang berbunyi “asas praduga tak bersalah” secara paripurna.

Jadi, sebelum ada putusan final dari pengadilan, mereka tak boleh dan tak akan memberitakan kasus kejahatan. Terutama kasus kejahatan keji seheboh kasus Reynhard ini dan berpotensi jadi kasus yang disorot dunia internasional.

Dengan ketaatan hukum seperti itu, media Inggris yang kredibel (yang nggak kredibel kayak koran kuning sih ada juga) seolah tak ingin membuat warganya menghakimi Reynhard dulu sebelum dipastikan secara hukum bahwa Reynhard memang bersalah.

Makanya, ketika akhirnya vonis seumur hidup dijatuhkan, dan segala kejahatannya terbukti, segala macam data dari media-media di Inggris ini langsung bisa keluar dengan komprehensif dan kayak udah riset bertahun-tahun.

Lah ya bisa jadi mereka emang ngeliput itu sejak dulu, tapi baru dikeluarin begitu ada kepastian hukum.

Sekarang coba bayangin kalau kasus Reynhard ini terjadi di Peradilan Indonesia. Hm, saya kok yakin. Belum juga jadi sidang pertama, rumah Reynhard sudah dipersekusi banyak ormas. Bisa didemo sampai 7 hari 7 malam itu.

Padahal statusnya masih tersangka. Masih orang yang disangka.

Ingat kan dengan kasus video asusila Ariel Peterpan, eh, Noah? Yang baru juga tersangka sudah didemo habis-habisan oleh salah satu ormas Islam?

Pertanyaannya fundamental berikutnya: Kenapa sih kita punya kebiasaan kayak gitu? Kenapa kita selalu merasa layak menjadi hakim pada setiap kasus hukum di Indonesia?

Dan jawabannya…

…karena sebetulnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia itu rendah.

Lah kok gitu?

Begini dugaan saya.

Masyarakat kita melahirkan budaya “menghakimi” bukan tanpa sebab. Hal itu muncul dari endapan bertahun-tahun. Dipupuk sampai jadi kebiasaan yang tak disadari. Hal yang bisa dipantau dari masyarakat yang tak jarang mendengar hakim terjerat kasus suap atau kasus hukum lainnya.

Atau, jika ada hakim yang dirasa berani memutus dengan baik tapi berisiko, bisa dengan gampang dibunuh begitu saja. Si pembunuh cuma dihukum beberapa tahun penjara, lalu masih bisa untuk mencalonkan diri jadi Wakil Rakyat tanpa perlu malu-malu—meski harus jauh-jauh cari Dapil sampai ke Tanah Papua.

Hm, barangkali politisi-politisi kita mengira masyarakat mudah lupa. Mudah dialihkan perhatiannya.

Sayangnya kok ya tidak, Lur. Masyarakat cuma pura-pura lupa. Mereka mungkin nggak memperhatikan, tapi kalau lupa? Hm, kayaknya nggak.

Saking ingatnya, bahkan sampai kebawa ke anak-cucu. Segala memori selama puluhan tahun itu terus diingat. Dari senior kampus, ke adik kelasnya. Dari si adik kelas ke adik kelasnya lagi. Dari bapak ke anaknya, dari anaknya ke anaknya lagi. Begitu terus.

Belum dengan berbagai persoalan undang-undang bisa direvisi sesuai selera penguasa. Bisa dibikin yang baru pula. Pasal-pasal pedas yang banyak karetnya. Lalu menjerat warga negara sendiri. Mengeluhkan pelayanan publik bisa kena penjara, mengkritik kebijakan bisa jadi tersangka, ngasih data bisa dibully semena-mena.

Akhirnya kriminalisasi warga dan aktivis bejibun. Kasus-kasus HAM di masa lalu tak juga diungkap. Lalu negara selalu sembunyi dalam alasan klasik: demi “stabilitas” negara.

Pada akhirnya kasus aktivis Munir cuma jadi legenda, kasus wartawan Udin cuma jadi cerita, kasus penyair Wiji Tukul cuma jadi sekuel puisi-puisi getir semata. Dan yang begini belum memasukkan kasus-kasus lain yang melibatkan orang-orang biasa.

Sampai akhirnya kekecewaan ini memunculkan sikap curiga. Sikap tak percaya.

Kalau mereka-mereka saja tak pernah beres kasus hukumnya, bagaimana kalau kita yang kena? Kalau udah begitu, lantas sama siapa lagi kita bisa percaya dengan hukum di Indonesia?

Dari anggapan-anggapan itu, sakit hati demi sakit hati itu, kekecewaan demi kekecewaan itu, lalu muncul kesadaran di masyarakat kita untuk sama-sama menjadi hakim. Ketimbang kecewa, ya udah deh diangkuti sendiri saja.

Masyarakat lalu berubah menjadi representasi hukum yang sudah berpuluh-puluh tahun diidam-idamkan. Karena tak kunjung berubah menjadi lebih baik—malah cenderung makin parah, masyarakat ini lalu beralih rupa jadi hakim-hakim dadakan tanpa sekolah hukum.

Beroperasi di media sosial, di pasar, di jalanan.

Lalu muncul cerita-cerita itu…

Orang yang dikira mencuri TOA masjid dibakar. Orang yang diteriakin copet dihajar sampai mampus. Orang baru disangka melakukan kejahatan medsosnya diserang bejibun akun.

Bahkan pada zaman dulu, orang yang bawa palu dan arit dari sawah pun bisa dibantai karena dikira tak punya agama.

Tak salah kemudian memang kalau Indonesia disebut sebagai negara hukum.

Karena harus diakui, saking “negara hukum”-nya negeri kita, “hakim” Indonesia saja sampai 250 juta jiwa. Sambil demen kasih vonis dengan galang kekuatan massa.

BACA JUGA Reynhard Sinaga Sedunia Jadi Korban Kemarahan Salah Sasaran atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.

Exit mobile version