MOJOK.CO – Menghadapi bapak-bapak yang mengambil nomor kursi di kereta. Mau ngotot kok nggak enak, tapi kalau nggak ditegur kok nyebelin.
Hidup memang asyik kalau nggak selalu taat aturan. Sebab, hidup dengan selalu ikut aturan itu membosankan. Nggak ada greget-gregetnya. Sayangnya, ada saja orang yang nggak bisa lihat sikon kalau sedang kepingin rada-rada nakal.
Hari ini saya menemui orang model kayak gitu.
Pengalaman menyebalkan menghadapi orang yang sudah lah melanggar ketentuan, tapi melampiaskan kekesalannya ke orang lain. Mana sasaran yang disalahkan itu saya lagi. Haduh.
Semua bermula ketika saya punya agenda ke Cirebon. Semacam mengisi kelas di IAIN Cirebon. Saya naik kereta api kelas bisnis yang sudah dipesankan panitia acara. Saya berharap panitia yang mengudang saya mau membelikan nomor kursi yang dekat jendela.
Bukan apa-apa, dalam perjalanan saya memang merencanakan untuk kerja sekalian. Artinya, saya harus siap laptop yang mencolok ke listrik. Tentu bakal merepotkan kalau kabel cas laptop saya menganggu penumpang lain kalau saya tidak duduk di dekat jendela.
Syukurnya, panitia berhasil membelikan saya tiket dengan nomor: gerbong BIS 1 kursi 9A. Jelas, itu artinya saya dapat kursi samping jendela di sebelah kiri, pada gerbong paling depan.
Begitu saya masuk kereta dari Stasiun Tugu Yogyakarta, saya mendapati kursi saya dipakai. Seorang bapak-bapak berusia (mungkin) 50-an tahun. Posisinya bersandar di jendela dan kakinya selonjor ke sisi kursi lainnya.
“Pak, Maaf, (kursi) itu nomor A9?”
“Iya, benar. Duduk sini aja, Mas,” katanya menunjuk kursi 9B sambil menelepon seseorang dengan cas hape yang masih mencolok.
Saya coba mengerti, mungkin bapak-bapak ini emang mau ngecas hape bentar. Tapi lama saya tunggu, bapak ini tak terlihat gelagat mau bergeser. Malah semakin nyender.
“Maaf, Pak, tapi bukannya kursi itu kursi saya ya? Bapak yang sebelah sini?” kata saya, masih dengan senyum dan berusaha sesopan mungkin.
“Halah, Mas. Sama aja. Mau B mau A sama aja,” katanya kesal. Nada suaranya sudah berubah.
Awalnya, saya berniat ingin merelakan saja dapat kursi tengah. Ya sudah, soal pekerjaan nanti saya kerjakan di hotel saja.
Lalu saya santai. Sambil coba untuk tidur. Meski susah sekali. Karena—entah kenapa—bapak-bapak di samping saya ini selalu menantap saya dengan wajah kesal.
Saya coba redakan suasana. Mencoba tetap rileks dan sopan.
“Bapak fans Inter Milan bukan ya?”
….
….
Tentu saja saya tak tanya itu. Ngapain juga saya tanya gitu? Apa korelasinya, Markonah?
“Turun mana ini, Pak?”
Nah, yang ini saya tanya betulan. Saya berharap dengan pertanyaan saya ini, kami bisa cair dan bapak-bapak ini bisa jadi teman ngobrol perjalanan buat saya. Toh, saya juga bukan tipe orang yang mau cari musuh.
“Cirebon. Emang kenapa?”
Tak ada yang salah dengan jawabannya. Tapi pelototan dan nada bicara yang masih dengan nada marah itu justru memancing saya. Saya yang tadinya udah mau tidur dan rela saja nomor kursi saya diambil, tiba-tiba malah jadi sebal juga.
Kalau misalnya bapak yang di sebelah bilang baik-baik urgensinya apa memakai kursi orang, saya kemungkinan besar akan saya kasih gitu aja. Ngapain juga saya ngotot cuma masalah kursi? Cuma 6 jam perjalanan ini. Tetap dapat tempat duduk juga.
Tapi seiring kereta berjalan, sikap si bapak malah makin menyebalkan. Saya tak mengerti masalahnya apa. Seperti si bapak tidak suka saja dengan keberadaan saya. Contoh paling menyebalkan tentu saja, seperti satu dengkulnya naik ke kursi jadi bikin tempat duduk saya makin sempit. Ini belum ditambah suaranya yang keras sekali saat telepon.
Ketika kereta berhenti di salah satu stasiun, saya coba kembali ramah, bertanya basa-basi.
“Sampai mana ini, Pak?” tanya saya, pura-pura bangun tidur. Semoga kali ini emosi bapak-bapak di samping saya ini sudah mereda.
Tak diduga, keramahan yang saya tawarkan ini malah dibalas dengan sesuatu yang saya tak bisa mengerti.
“Tau, noh, lihat sendiri,” kata bapak ini sambil melirik saya dengan tatapan seperti mau berburu celeng.
Oke, sudah cukup. Saya sudah tidak tahan lagi. Saya coba tawari sekali lagi, si bapak mau pindah atau tidak.
“Kayak gini aja dimasalahin. 9A atau 9B juga sama aja,” katanya.
Baiklah. Ini sudah kelewatan. Saya lalu berdiri, mencari petugas. Baru beberapa langkah saya mendapati seorang petugas. Saya beri penjelasan, kalau bapak di samping saya menduduki kursi saya dan sikapnya kurang sopan sepanjang perjalanan.
Si petugas kemudian menuju kursi saya. Tentu saja kami jadi tontonan banyak orang.
Lucunya si petugas awalnya tampak tak berani menegur si bapak ini. Gelagatnya si bapak memang galak. Apalagi model busana yang dipakai mirip dengan gaya-gaya salah satu ormas di negeri ini. Yakin, kesan pertama melihat perawakan si bapak, orang pasti langsung keder.
Melihat itu, saya tahu betul keberanian di wajah si petugas ini surut. Apalagi si petugas kelihatan masih junior di sini. Lha gimana? Ketika tahu nomor kursi saya diambil orang, dia malah bilang:
“Ini bener kan, Mas? Kursinya? Kursinya bener sini kok, Mas,” kata si petugas ke saya.
Ebuset. Gimana sih ini?
“Lho, nomor kursi saya kan 9A, Mas?” tanya saya mencoba memastikan.
“Sama aja, Mas. Yang penting kan tetep 9, Mas,” si bapak mulai ikut memotong nambah-nambahi.
Beberapa orang di gerbong mulai geleng-geleng kepala menyaksikan pemandangan itu. Tentu ini situasi yang tidak nyaman.
Saya lalu jelaskan ke petugas kereta. “Mas kalau sama aja, kenapa di tiket dan di gerbong ada keterangan nomor kursinya segala? Lagian saya emang dapat nomor yang samping jendela,” kata saya ke petugas.
Agak lama petugas yang masih muda itu bergeming. Seperti ngumpulin keberanian. Lalu si petugas mulai bertanya sopan ke bapak-bapak ini. “Maaf, Pak, bisa lihat nomor kursinya?”
Ditanya seperti itu, bapak ini malah ngedumel nggak karuan.
“Apaan sih ini….” sambil marah-marah tak jelas. Saya tak begitu memerhatikan beliau ngomong apa. Sebab, kalau saya memerhatikan kata-katanya—saya tahu, saya bisa terpancing emosi.
Keadaan lalu berubah. Si bapak akhirnya mau pindah. Kami sudah duduk di tempat yang seharusnya. Tak berapa lama setelah petugas sudah tidak ada. Bapak ini melanjutkan lampiasan emosinya ke saya—ya iya dong, siapa lagi? Masa iya ke kotak emergency?
“Kamu itu masih muda kok nggak bisa menghormati yang tua, kayak nggak sekolah aja,” katanya sambil membanting sebotol air mineral di dekat kaki saya. Airnya muncrat lalu mengenai bajunya sendiri. Makin marah dia. Saya awalnya kaget, lalu bingung.
Ini srimulat atau gimana sih, Pak? Lempar-lempar sendiri, kena-kena sendiri, marah-marah sendiri. Hambok ajak-ajak atau gimana gitu lho.
“Kan udah ada nomornya, Pak. Saya udah tanya baik-baik dari Jogja sampai Kebumen, tapi sikap bapak nggak baik,” jawab saya mencoba memberi penjelasan. Meski saya tahu itu percuma.
Dugaan saya sih, bukan itu masalahnya, si Bapak ini sedari awal memang tidak suka selonjoran kakinya dipakai duduk orang. Dari informasi ketika bapak-bapak ini ditanyai petugas, si bapak memang mendapatkan dua kursi sejak dari Jombang. Mungkin dia sebal karena tempat tidurnya diganggu orang.
Jadi ini bukan masalah nomor kursi, ini soal kesadaran memahami hak orang lain. Atau mungkin lebih kecil lagi, ini soal berbagi tempat duduk dan kemampuan berlaku sopan aja sama orang asing. Hal yang tampaknya sedang tak dimiliki bapak-bapak ini.
Mungkin beliau sedang ada masalah di rumah atau bagaimana, mungkin begitu. Mungkin biasanya bapak ini sikapnya nggak kayak gitu. Mungkin saja. Saya tetap mencoba berkhusnudzon saja.
Namun sebenarnya bukan itu masalahnya. Masalah sebenarnya adalah si bapak-bapak yang emosian ini masih duduk di samping saya. Dan berkali-kali melirik saya yang pegang hape karena sedang mengetik tulisan ini.
Waduh, remook, remoook.