MOJOK.CO – Senin, 15 Oktober 2018 menjadi hari penghakiman ketika Bupati Bekasi, Neneng Hassanah Yasin, dicokok KPK. Ibu Neneng tidak kuat “memikul” namanya sendiri?
Hari Minggu dan Senin menjadi hari yang ramai untuk Bekasi. Minggu, 14 Oktober 2018, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Pemkab Bekasi terkait perizinan proyek pembangunan Meikarta. Total, sembilan orang ditetapkan sebagai tersangka. Salah satunya adalah Bupati Bekasi, Neneng Hassanah Yasin.
Penyelidikan yang dilakukan KPK sudah berlangsung selama satu tahun. Seperti yang diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Starif. KPK sendiri baru beraksi melakukan OTT ketika sudah terjadi transaksi suap antara pengembang dan pejabat Pemkab Bekasi.
Aksi OTT tersebut berhasil mengamankan beberapa barang bukti. Mulai dari uang 90.000 dollar Singapura, 513 juta rupiah dalam pecahan 100 ribu, hingga dua mobil yang digunakan ketika terjadi transaksi suap, yaitu Toyota Avanza dan Kijang Innova. Selain barang bukti, KPK juga mengamankan dua sosok penting dalam kasus ini.
Keduaya adalah Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dan Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin. Selain Billy Sindoro dan Bupati Bekasi, KPK juga mengamankan beberapa orang. Mereka adalah sejumlah kepala dinas Kabupaten Bekasi dan dua konsultan Lippo Group, Taryudi dan Fitra Djaja Purnama.
Beberapa fakta menarik terungkap dari kasus OTT Bupati Bekasi. Pertama, Bupati Bekasi, Neneng Hassanah Yasin, adalah kepala daerah nomor 99 yang dijadikan tersangka oleh KPK sejak 2004 dan ke-25 selama tahun 2018. Sebuah angka cantik yang menyertai OTT yang tak kalah cantik dari aparat pemberantas korupsi.
Fakta menarik kedua adalah penggunaan sejumlah kata sandi untuk menyamarkan nama-nama para pejabat. Kata sandi yang digunakan cukup kreatif. Misalnya “Tina Toon”, “Merlin”, “Windu”, dan “Penyanyi”. Sangat kreatif. Untung saja mereka sudah tidak lagi memakai kata sandi “Kijang 1” atau “Kijang 2” lagi.
Nah, fakta menarik ketiga adalah terkait nama Bupati Bekasi itu sendiri. Bupati Bekasi yang sudah menjabat sejak tahun 2012 itu bernama Neneng Hassanah Yasin. Menariknya, pada tahun 2014 yang lalu, seorang kepala daerah juga dicokok KPK. Ia adalah Rahmat Yasin, mantan Bupati Bogor. Rahmat Yasin sendiri tersandung kasus suap Sentul City.
Saat itu, Kwee Cahyadi Kumala, Direktur PT Sentul City, divonis lima tahun penjara setelah menyuap Rahmat Yasin dan mantan Kadin Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, M Zairin senilai 5 miliar rupiah. Rahmat Yasin sendiri divonis penjara berdurasi lima tahun.
Belum juga selesai menjalani masa tahanan, Rahmat Yasin membuat ulah. Pada Februari 2017, Rahmat Yasin ketahuan keluar dari lapas menggunakan mobil Nissan X-Trail B 68 SAY. Diketahui, Rahmat Yasin menyewa sebuah rumah di kawasan Panorama Alam Parahyangan, masih dekat dengan lapas di mana dirinya seharusnya berada.
Tahun 2018, bulan Oktober, pejabat dengan atribut nama sama menjadi tersangka: Neneng Hassanah Yasin. Semakin menarik ketika Bupati Bekasi ini ditangkap karena bermasalah dengan pengembang perumahan: Meikarta. Baik Rahmat maupun Neneng Yasin tersandung kasus perumahan. Kompak. Apakah keduanya janjian? Ciee…
Kebetulan soal nama ini sangat menarik. Menurut kalimat bijak dari zaman Majapahit dan Sriwijaya, nama adalah doa. Nah, pada kasus tertentu, nama bisa menjadi beban bagi si pemakai. Nama tersebut bisa memberatkan si pemakai karena makna yang terkandung atau doa-doa di dalamnya yang kalah oleh nikmat duniawi dan hanya bertahan sesaat itu. Masyaallah…
Baik mantan Bupati Bogor, maupun Bupati Bekasi yang menjadi tersangka baru-baru ini, keduanya menggunakan atribut “Yasin” di dalamnya. Atribut ini merujuk kepada salah saru surat di dalam Alquran. Surat Yasin sendiri adalah surat ke-36 di dalam Alquran.
Empat ayat di dalamnya mengandung penegasan (dan bisa jadi harapan) bahwa, “Sesungguhnya kamu seorang Rosul-rosul (36:3)”, “(yang berada) di atas jalan yang lurus (36:4)”, “(sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha Perkasa lagi Penyayang (36:5), dan “Agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak bapak mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai (35:6).
Membaca ayat-ayat tersebut terasa begitu berat makna yang terkandung di dalam atribut “Yasin”. Tidak main-main, “kamu seorang Rosul-rosul”. Mungkin, saking tidak kuatnya dengan doa dan harapan yang terkandung di dalamnya, Bupati Bekasi lalai dengan “tugas”. Ia justru menjadi bagian dari kasus suap Meikarta.
Perkara nama memang bisa menjadi urusan yang pelik ketika orang tua tidak terlalu paham dengan makna yang terkandung. Masih sering, seorang anak diberi nama karena alasan keren atau kekinian saja. Doa dan harapan itu bisa menjadi beban ketika kualitas diri manusia tidak mencukupi untuk memanggul nama tersebut.
Jadi, soal nama memang hak masing-masing untuk mengenakannya. Toh semuanya kembali ke akhlak masing-masing.