Bukan Salah Uang Elektronik, Kalau Keuanganmu Carut-Marut

MOJOK.COKeuanganmu jadi nggak karuan karena kehadiran uang elektronik? Ini bukan salah si uang elektroniknya, ini ya salah manajemen keuanganmu sendiri.

Kehadiran uang elektronik memang benar-benar memberikan kemudahan bagi transaksi keuangan kita. Kehadiran uang elektronik yang mendukung Gerakan Non Tunai dari Bank Indonesia ini, memiliki dua jenis. Pertama, uang elektronik yang berbentuk kartu (Chip Based) atau biasa kita kenal e-money. Lalu yang kedua, adalah uang elektronik yang berbasis aplikasi (Server Based) atau yang kita kenal dengan e-wallet.

Bagi masyarakat yang hidup di kota besar semacam Jakarta, yang sering menggunakan transportasi umum seperti KRL, TransJakarta, maupun kendaraan pribadi dan menggunakan tol—biar nggak kena macet, maka mereka wajib memiliki uang elektronik ini.

Dengan adanya dia—apalagi yang berjenis e-wallet, apapun yang kita butuhkan, akan mudah kita jangkau tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga. Tentu saja hal ini adalah sesuatu yang menyenangkan bagi orang mageran macam saya.

Sebetulnya kehadirannya bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan orang yang mageran, namun lebih untuk menjembatani orang-orang yang memerlukan aktivitas padat merayap dan membutuhkan efektivitas dan efisiensi dalam menyelesaikan banyak agendanya, namun nggak punya asisten. Uang elektronik benar-benar memberikan kemudahan itu.

Apalagi untuk uang elektronik yang berwujud e-wallet, hanya dengan modal pencat-pencet smartphone, akses internet, dan saldo rekening yang mencukupi, maka apa yang kita butuhkan atau hanya kita inginkan, dapat terpenuhi.

Nah, untuk si saldo rekening yang mencukupi ini, menurut saya banyak orang yang mengalami masalah. Kehadiran uang elektronik ini, menjadikan uang tidak benar-benar terasa nyata. Belanja memang menjadi lebih mudah, namun habisnya pun tak kalah mudah. Sebuah kemudahan yang berujung kebablasan.

Bagaimana? Apakah kamu sepakat dengan saya?

Adanya Internet Banking, M-Banking, Ovo, Gopay, T-Cash, Brizzi, dan semacamnya itu, benar-benar memudahkan saya membeli apa yang saya inginkan, namun ternyata lebih sering tidak saya butuhkan. Apalagi kalau ada iming-iming macam diskon dan voucher-voucheran itu.

Cek saldo, hmmm, masih cukup. Okelah beli aja, mumpung lagi murah.

Nah ini, pakai pembenaran di balik kata ‘mumpung’!1!!!!11

Sebetulnya, bagi kita jenis manusia yang tidak memiliki iman yang kuat dan mudah tergiur pada nafsu duniawi, kita akan dapat lebih ngerem, jika tetap kaffah bersahabat dengan ATM. Pasalnya, ketika kita memutuskan untuk membayarnya melalui ATM, maka kita masih punya waktu untuk memikirkan ulang, “Apakah barang ini betul-betul kita butuhkan?”

Sedangkan kalau kita cukup membayarnya dengan M-Banking? Hahaha, sudahlah jangan terlalu berharap kamu dapat memiliki kesempatan untuk berpikir ulang tentang barang yang akan kamu beli itu, Esmeralda~

Tidak ada yang salah dengan kehadiran si uang elektronik ini. Namun, sepertinya kita sendiri—kalau kamu nggak, juga nggak apa-apa—yang belum siap dengan kemudahan tersebut, sehingga tidak memiliki manajemen keuangan yang baik.

Nah, sini kami kasih tahu tipis-tipis, supaya kamu siap dengan kemudahan tersebut dan nggak nggumunan.

Pertama, perlakukan si uang elektronik ini seperti uang tunai, Sayang. Penggunaannya yang mudah bikin boros, sebetulnnya dikarenakan uang elektronik belum benar-benar dianggap sebagai uang juga. Kita yang tidak memiliki manajemen keuangan yang baik, dapat dengan mudah mengeluarkan uang hanya untuk urusan yang tidak terlalu penting hanya karena menganggap saldo masih cukup.

Nah, mengeluarkan uang yang ‘tidak kelihatan’ ini, secara psikologis menjadikan kita tidak benar-benar merasa mengeluarkan uang kita. Transaksi itu tidak dilakukan dengan memberikan uang kita yang ‘nyata’. Cukup dengan sekali tap, sekali gesek, atau menuliskan sejumlah angka, maka uang akan berpindah. Lantas tiba-tiba, saldo habis begitu saja.

Kedua, uang elektronik ini sering kita gunakan bukan untuk tujuan yang sebenarnya. Misalnya, kita bikin e-money, sebetulnya untuk pengeluaran transportasi umum, misal KRL. Namun, terkadang ketika kita turun dari KRL dan melihat ada kedai kopi yang menerima transaksi e-money, lantas kita tergiur. Pasalnya, kita menganggap bahwa pengeluaran beli kopi itu nggak banyak-banyak amat. Woy! Kamu kira pengeluaran beli kopi yang kecil itu, kalau dijumlahkan dalam sebulan, totalnya berapa?!!11

Contoh lainnya, misalnya kita memutuskan top up saldo Gopay untuk kebutuhan Go-ride aja. Eh, kok ndilalah dapat voucher Gofood. Terus ngelihat ada menu makanan kesukaan kita, yang jarang kita beli karena mahal harganya. Tapi karena ngelihat saldo Gopay masih cukup banyak apalagi dapat potongan dari voucher, ah, ya udahlah beli aja. Mumpung ada potongan. Toh, juga nggak perlu ngeluarin tenaga untuk beli ke warungnya. Cieee, selamat. Kamu otw punya hobi baru, makan makanan mahal!

Uang yang sebetulnya disimpan hanya untuk saldo transportasi itu, membuat kita mudah tergiur untuk membeli hal lain. Jadi, kalau kamu memang tipe manusia yang mudah terpengaruh—diskon, voucher, dan semacamnya—mending jangan isi saldo banyak-banyak ya, Sayang.  Jangan sampai hanya karena hobi makan mahal, membuatmu terus menunda pernikahan.

Ketiga, jangan lupa bahwa pendapatan kita masih tetap gini-gini aja. Jangan sampai hanya karena kehadiran si uang elektronik ini, membuat ritme konsumsi kita berubah menjadi lebih sok kaya raya. Kan ya, sedih~

Jangan sampai kaget waktu lihat saldo rekening. Njuk mikir, “Hmmm, cari pinjeman ke mana ya enaknya? Kan bisa dibayar pakai gaji bulan depan.” Hahaha, selamat! Kamu sudah masuk lingkaran setan, “gali lubang tutup lubang.”

Jadi, bagi kamu yang memang belum memiliki manajemen keuangan yang kuat, apalagi ternyata juga tidak kuat iman karena kurang ibadah. Nggak boleh mudah teriming-imingi dengan kebahagiaan semu itu. Saya cuma takut, gaji bulananmu itu, habis untuk belanja barang-barang yang tidak kamu butuhkan. Hanya karena iming-iming potongan dan merasa nggak perlu ribet untuk mendapatkannya.

Exit mobile version