Di bulan ramadan, rasanya tak ada azan yang jauh lebih menyenangkan ketimbang azan maghrib. Azan yang menjadi penanda garis finish pertahanan lapar dan dahaga bagi para umat Islam yang berpuasa.
Saat azan maghrib, orang-orang yang berpuasa bersuka-cita menyambutnya. Penantian untuk menjamah es dawet, kolak pisang, astor, jenang mutiara, rendang, ayam goreng, dan makanan-makanan lainnya akhirnya tunai sudah.
Namun, tentu saja tak semua orang yang berpuasa bersuka-cita dengan penuh saat menyambut azan maghrib. Kadang ada yang justru mengalami semacam kemangkelan saat momen berbuka karena sesuatu yang tak terduga.
Saya bisa menceritakan dua di antaranya. Dan saya sendiri yang menjadi tokoh utamanya.
Momen menunggu berbuka tentu sangat dirindukan. Termasuk oleh saya saat itu. Saya sudah berencana akan makan ayam panggang di salah satu warung makan langganan saya. Ayam panggang di sana rasanya benar-benar maknyus. Rasanya ajib. Bumbunya kolosal. Saya selalu bisa makan dengan penuh… ehm, meminjam istilah Umar Kayam, gusto. Pokoknya sangat bergairah.
Jam lima lebih seperempat, saya meluncur ke sana. Saya mampir sebentar ke penjual gorengan untuk beli beberapa tempe glepung (yang tentu saja ukurannya tidak setipis ATM) sebagai cemilan yang saya niatkan untuk saya makan nanti setelah salat tarawih sambil yutuban.
Sampai di warung makan, sudah ada beberapa orang yang bersiap menyambut buka. Saya memesan menu andalan saya: ayam panggang satu, nasi putih dua, es jeruk satu, dan sambel bawang dua.
Saya kemudian langsung duduk di tempat biasa saya makan.
Dasar nasib, ternyata antrean masaknya lama. Ada beberapa orang yang memesan makanan cukup banyak untuk kawan-kawanya yang memang rencana akan berbuka puasa di warung kebanggaan saya itu.
Hasilnya bisa ditebak. Sampai waktunya “dul” bedug azan maghrib, ayam panggang saya belum juga datang. Hanya es jeruk saja yang sudah jadi dan diantarkan ke meja saya sebagai minuman berbuka.
Lima menit, sepuluh menit, limabelas menit. Ayam panggang saya belum juga datang.
Dalam keadaan yang begitu lapar, tempe glepung yang tadinya saya niatkan sebagai cemilan itu akhirnya saya lahap juga. Satu tempe, dua tempe, tiga tempe, sampai tanpa sadar, sudah delapan tempe saya lahap.
Tak berselang lama, ayam panggang saya akhirnya datang.
Saya tak bersemangat menyambut ayam panggang saya. Nafsu saya sudah tak sebesar tadi saat meluncur ke warung makan. Bahkan cenderung tak bernafsu. Maklum, perut saya sudah terisi penuh dengan delapan tempe glepung.
Ayam panggang itu akhirnya hanya saya titili dan saya makan sekadarnya. Benar-benar saya makan dengan tanpa gusto. Tanpa nafsu. Benar-benar menyebalkan. Padahal harganya lumayan.
Ah, buka puasa ternyata bisa semenyebalkan ini.
Kejadian yang hampir serupa terjadi beberapa hari yang lalu, saat puasa hari kedua.
Jam setengah enam kurang sedikit. Saya meluncur ke kios jus buah sebelah rumah padang Buyung Upik dan pesan jus mangga yang akan saya niatkan sebagai kawan makan nasi padang pergedel yang sudah saya beli sebelumnya. Pas pulang, sepanjang perjalanan, pikiran saya terus terbayang betapa segarnya jus mangga yang sebentar lagi bakal saya sruput sesaat setelah azan maghrib.
Pas hampir sampai, kurang dua ratus meter sebelum tujuan. Saya lengah. Ada jalan bopeng dan nggronjal di depan. Saya tidak sempat menghindar. Jus mangga yang saya gantungkan di gantungan motor terlepas. Jatuh. Tumpah berceceran.
Hati saya mencelos. Koyak. Ingin rasanya saya mengadu pada Dinas Pekerjaan Umum. Mengadu pada Jokowi. Tapi rasanya tak adil. Ia sudah terlalu banyak mendapatkan aduan.
Pada akhirnya. Dengan berat hati, saya mencoba ikhlas. Rasanya sangat berat.
“Dua ratus meter lagi, Ya Allah. Dua ratus meter lagi.”
Jus mangga itu mau tak mau kemudian harus saya gantikan dengan air putih saja. Air putih yang tawar. Tanpa rasa. Polos.
Sekali lagi, buka puasa ternyata bisa semenyebalkan ini.