Buat Apa Ingin Menjadi Dewasa, Padahal Itu Menyebalkan?

MOJOK.CO Nyatanya, menjadi dewasa tidak semulus kulit wajah yang harus dikenai skincare berlapis-lapis. Percaya, deh, proses ini sungguh menyebalkan!

Konon, di masa SMA, perempuan yang sedang jatuh cinta akan lebih mudah berbahagia (setidaknya, sih, waktu dulu). Pisang hijau di depan sekolah, warung makan lima ribuan, film terbaru di bioskop, pasang foto berdua di medsos—hal-hal kecil inilah yang kemudian membuat hati berbunga-bunga.

Dibandingkan umur saya yang kini berkepala dua, love life memang terasa sekali bedanya. Apalagi, perempuan itu memang aneh. Waktu SMA, waktu pacar belum kerja, waktu pacar belum kepikiran nikah, waktu pacar belum ngelamar, nggak ada masalah, tuh. Katanya, “Aku tetep sayang kamu.”

Hahaha. Saya ketawa dulu, ya. Dari bidang percintaan saja, kisah asmara masa muda terbukti jauh lebih menyenangkan (meski kadang sedikit naif) dibanding masa-masa menjadi dewasa.

Nyatanya, menjadi dewasa tidak semulus kulit wajah yang harus dikenai skincare berlapis-lapis. Lagi-lagi soal cinta, ketika sudah menjadi dewasa, segalanya ikut-ikutan berubah, termasuk orientasi dan pikiran soal masa depan. Beberapa temanmu sudah menikah dan momong anak, kariermu cemerlang, orang tua semakin menua, hati sudah mantap dengan si pacar, eh tapi nggak ada kemajuan apa-apa… lalu ngambek. Katamu, “Kamu nggak bisa komitmen.”

Saya pribadi mengalami proses “menjadi dewasa” pada saat berusia 24 tahun dan, sejak saat itu, saya sadari hidup saya—perihal asmara—langsung jungkir balik nggak ketulungan.

Dari naik-turunnya percintaan ini, saya—dan mungkin kamu atau perempuan-perempuan lainnya—lalu mengukir sifatnya sendiri. Kita-kita yang kesepian lalu mencari pelampiasan yang beragam: jalan-jalan, beli lipstik, nonton oppa, nyanyi, cari gebetan baru, bahkan belajar. Yang jelas, perempuan itu bisa segera memaafkan luka, tapi selamanya ia akan ingat bagaimana sakit hati yang dirasakan dulu. Jadi, kalau kita bertemu mantan kekasih bertahun-tahun kemudian, mungkin saja kita akan mengenalinya sebagai “oh-ini-cowok-yang-dulu-nyelingkuhin-saya-sama-sahabat-saya-sendiri” walaupun hubungannya sudah berubah cukup baik.

Iya, saya ulang sekali lagi: walaupun hubungannya sudah berubah cukup baik. Ingat, kita sedang bicara soal “menjadi dewasa”.

Menjadi orang dewasa adalah proses memaafkan yang berkali-kali lipat, baik memaafkan diri sendiri maupun orang lain. Seperti yang saya singgung di atas, sangat mungkin bagi kita (hah kita???) buat ketemu mantan dan bisa haha-hehe sampai berjam-jam lamanya, meski saat itu kita masih sedikit merasa nyeri di hati, baik karena masih sayang maupun masih sakit hati.

Itu, Sayangku, adalah bagaimana kamu bisa mengajak dirimu sendiri untuk bersikap dewasa dan tidak kekanak-kanakan. Pada masa ini, kamu mengerti bahwa mantanmu adalah manusia yang sama seperti kamu dan kamu tak punya kuasa apa pun untuk memaksanya meminta maaf sampai akhir hidupnya ataupun untuk memperbaiki hubungan kalian yang sudah luluh lantak.

Padahal, kalau itu terjadi saat kamu masih SMA, bisa saja kamu langsung kabur dari mantanmu dan menggelar forum curhat bersama cewek-cewek kelas sebelah selepas istirahat. Lah sekarang, boro-boro menggelar forum—WhatsApp dibalas “Ada apa?” sama temanmu saja sudah alhamdulillah, saking sibuknya dia dengan pekerjaan atau kekasihnya sendiri!

Ya, ya, ya, saat menjadi dewasa, masalah-masalah yang dulu kita hadapi saat masih remaja mendadak berubah menjadi badai yang lima puluh kali lebih besar, meski kadang-kadang terasa jauh lebih remeh dibanding kelihatannya. Waktu dulu, kita sering berandai-andai “Kayaknya enak jadi orang dewasa, usianya sudah 25, punya pekerjaan sendiri, bisa beli baju apa pun, bisa dandan seperti apa saja, berkencan dengan pria yang jelas, dan tidak perlu repot memikirkan tes masuk universitas,” sementara kenyataannya jauh lebih menyebalkan daripada itu.

Teman kita masih banyak, tapi hanya sedikit sekali yang benar-benar meluangkan waktu untuk bertemu. Pekerjaan di kantor tiba-tiba menjadi porsi pikiran yang lebih besar, bersamaan dengan tagihan uang kos dari ibu kosan setiap awal bulan.

Bukankah ini berbeda dengan masa-masa SMA, di mana masalah hidup kita yang terbesar hanyalah perihal remidi ulangan Biologi dan tunjuk-tunjukkan menjawab pertanyaan saat selesai mempresentasikan tugas kelompok Sejarah??? Utang teman pun paling besar hanya tujuh ribu lima ratus untuk membayar semangkuk bakso di kantin, bukan nominal sampai berjuta-juta yang pengembaliannya saja belum bisa dipastikan kapan!

Percaya, deh, menjadi dewasa itu menyebalkan. Kamu nggak bisa bangun pagi dan merasa gembira bakal ketemu sahabatmu di kelas hari ini, soalnya sahabatmu sekarang sudah menikah dan punya tiga orang anak yang membuatnya bakal kerepotan kalau kamu tiba-tiba meneleponnya hari ini. Kamu juga nggak bisa berharap dijemput pacarmu ke sekolah, karena kamu baru saja putus beberapa bulan lalu dan harus menghadapi kenyataan bahwa kepalamu terus memutar anxiety yang sama gara-gara pertanyaan “Kapan nikah?” yang semakin sering kamu dapat.

Kesedihan menjadi orang dewasa tentu berbeda-beda untuk masing-masing orang. Mungkin, sekarang kamu sedang pusing memikirkan utang, tekanan pekerjaan dari atasan, mantan yang meneror, krisis kepercayaan gara-gara diselingkuhi, orang tua yang pensiun dan berubah jadi suka merengek, adik-adik yang tengah mengalami masa pubertas dan merepotkan—tapi yang jelas, ada satu hal yang harus kamu tahu, yaitu…

…hal-hal ini terjadi pastilah karena Tuhan merasa kamu sudah cukup dewasa untuk menghadapinya.

Jadi, jangan menyerah, ya!

Exit mobile version