MOJOK.CO – Kak Seto bilang kalau dulu nilai matematikanya jelek. Paling tinggi cuma dapat nilai 4. “Alhamdulillah masih hidup,” katanya. Waw.
Teman saya yang tak lulus kuliah cukup banyak. Bahkan salah satunya bukan lagi tak lulus kuliah, tapi memang tak pernah kuliah. Ya siapa lagi kalau bukan Agus Mulyadi. Mantan Pemred Mojok.
Anehnya, meskipun tak pernah kuliah, Agus ini pernah memimpin saya di Mojok. Saya yang tak cuma pernah kuliah sampai tingkat lanjut, tapi sampai ngajar orang kuliah juga, sering dikecengin Agus kalau ngisi kelas penulisan bareng.
“Saya ini memang tak pernah kuliah. Cuma lulusan SMA. SMA Tidar, Magelang. Tapi saya pernah memimpin Dafi, yang lulusan S2 dan sekarang jadi dosen. Jadi untuk mahasiswanya Dafi, dosen kalian itu dulu anak buah saya,” kata Agus yang selalu bangga dengan status “lulusan SMA”-nya itu sambil cengengesan.
Bgzt mmng.
Pada satu sisi, pesan ini memang bagus. Agak ke-Mario-Teguh-an malah. Bahwa kamu tak perlu minder kalau kebetulan kamu sial nggak bisa kuliah. Barangkali karena faktor ekonomi atau bisa jadi karena passion-mu bukan di bangku kuliah.
Artinya, masa depan kamu memang ada banyak versinya. Kamu bisa memilih jadi apapun yang kamu mau dan tak ditentukan dari apakah kamu pernah kuliah atau tidak.
Masalahnya kalimat ini juga bisa disalahpahami dalam maksud yang sebaliknya. Terutama untuk mereka, mahasiswa semester tua bangka yang tak kunjung dapat judul skripsi.
“Ah, Agus Mulyadi nggak pernah kuliah saja bisa jadi Pemred Mojok. Kayaknya aku nggak lulus kuliah juga nggak apa-apa deh.”
Walaah, ambyaar.
Masalah, pernyataan yang bisa berbahaya dipahami kayak gini juga muncul dari Kak Seto Mulyadi.
Baru-baru ini Kak Seto memberi pernyataan soal dukungan perubahan kurikulum di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Nadiem Makarim.
Dalam pernyataannya, Kak Seto menyampaikan kalau kurikulum yang baru harus bisa menghargai setiap potensi yang dimiliki anak. Maksudnya, anak jangan cuma dianggap berprestasi kalau bagus secara nilai akademik saja.
Lalu dimulailah pernyataan yang—sebenarnya—memotivasi tapi bisa disalahpahami itu…
“Saya dulu matematika paling tinggi dapat 4. Alhamdulillah, masih hidup. Karena disalurkan matematika itu jadi nyanyi, olahraga, bela diri, dan sebagainya,” kata Kak Seto Mulyadi.
Tentu saja, niat dan maksud dari Kak Seto Mulyadi atau Agus Mulyadi tadi sama-sama bagus.
Maksudnya, kamu tak perlu merasa minder kalau kebetulan goblok banget di pelajaran matematika. Barangkali memang kamu tidak berbakat jadi pilot atau dokter, tapi berbakat jadi programer kompiyuter, pelukis, penulis, atau atlet polo aer.
Hanya saja, bukan tidak mungkin orang bisa punya pemahaman berbeda kalau membaca pernyataan tersebut.
“Halah, Kak Seto aja nilai matematikanya cuma 4. Lagian rumus matematika serumit itu buat apaan sih? Nggak guna juga waktu beli cilok itu teori cos sin tan.” Misalnya.
Memang, iya betul, Kak Seto memang bilang nilanya hanya 4 dan—Alhamdulillah—beliau masih hidup, tapi kan Kak Seto nggak pernah bilang itu nilai waktu di jenjang pendidikan apa kan?
Lah kalau ternyata waktu dapat nilai segitu beliau kuliah gimana?
Jebul nilai 4 di sini maksudnya adalah nilai berdasar Indeks Prestasi (IP) mata kuliah matematika misalnya. Hayaa kan berarti itu Kak Seto expert banget di bidang matematika. Dapat nilai A+ berarti? Dyaar.
Atau, oke deh, mungkin nilai itu didapat beliau waktu SMA atau SMP, tapi di mata pelajar lain Kak Seto sebenarnya nilai bagus-bagus. Cuma di mata pelajaran matematikanya aja yang jeblok. Lalu nilai yang paling jelek itu yang diumbar.
Maksud saya begini.
Jangan sampai gara-gara seorang Kak Seto Mulyadi bilang nilai matematikanya dapat 4, lalu kita jadi meremehkan mata pelajaran matematika. Seolah-olah pelajaran itu nggak berguna gitu. Bukan apa-apa sih, takutnya ada orang yang malah jadi mencontoh kegagalannya doang.
Mentang-mentang Kak Seto sekarang terkenal dan sukses, meski nilai matematikanya cuma 4, lalu tiba-tiba ada anak SMA yang ikut-ikutan dapat nilai 4. Yakin kalau dengan nilai segitu saja, ia juga hidup, dan bakal beprestasi di bidang lain pada masa depan.
Lah, iya kalau berprestasi, lha kalau kagak?
Satu rahasia yang bisa saya bocorkan. Di antara teman-teman saya yang tak lulus kuliah seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini, beberapa memang ada yang sukses besar. Bahkan ada yang sudah jadi penulis dan jurnalis terkenal di ibukota. Ada juga yang jadi pengusaha kaos di Jogja.
Tapi kalau mau dihitung secara persentase, mereka yang sukses dengan mereka yang beneran nggak jadi apa-apa sebenarnya cukup njomplang. Mereka yang berhasil sih rata-rata memang sudah dibekali suka kerja keras sejak dulu.
Kayak Agus Mulyadi tadi misalnya. Soal kuliah nggak kuliah atau nilai matematika jelek atau tidak, itu mah sama sekali nggak ngaruh buat dia. Sedangkan mereka yang nggak jadi apa-apa hanya karena jeblok nilainya atau tidak lulus kuliah? Jauh lebih banyak lagi jumlahnya.
Artinya, mending jangan landaskan kegagalanmu pada contoh kegagalan orang yang sudah sukses lebih dulu. Karena tak semua orang belum tentu garis hidupnya kayak Kak Seto Mulyadi atau Agus Mulyadi.
BACA JUGA Karena Tidak Semua Anak Bisa Seperti Susi Pudjiastuti atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.