Bagi Orang yang Terbiasa Tidur dengan Lampu Menyala, Tidur dalam Kondisi Lampu Mati Adalah Cobaan yang Berat

lampu mati

MOJOK.COTidur dalam kondisi lampu mati memang lebih sehat ketimbang tidur dengan lampu menyala, tapi tak sedikit orang yang justru tak bisa tidur kalau lampu dimatikan.

Sejak kecil, saya terbiasa tidur dengan lampu menyala. Tentu saja ini kebiasaan yang buruk, utamanya bagi orang yang hidup dalam keluarga yang tak makmur-makmur amat, setidaknya untuk tidak menyebutnya sangat melarat.

Memang lampu yang saya nyalakan saat saya tidur itu bukan lampu yang terang, melainkan hanya lampu pijar temaram yang mungkin hanya 5 atau 10 watt. Namun tetap saja lampu itu menyala dan menyumbang biaya untuk tagihan listrik setiap bulannya.

Beruntung bagi saya, bapak atau ibu saya tak pernah mempermasalahkan kebiasaan tidur saya tersebut. Bagi mereka, kepulasan tidur saya adalah yang utama. Perkara mereka mungkin bakal agak terganggu dengan cahaya dari lampu yang menyala atau dari tagihan listrik yang lebih tinggi walau tidak signifikan, itu biarlah menjadi urusan belakangan.

Kelak saat saya sudah dewasa, ada satu momen yang kemudian mengubah kebiasaan buruk saya itu.

Saya agak bulan apa persisnya persisnya, namun yang jelas antara tahun 2010-2011. Saat itu, saya ngekos di sebuah rumah di bilangan Godean. Pemilik kos adalah seorang ibu yang sangat baik hati. Ibu Mulyani, namanya. Nama yang membuat saya langsung punya kemistri dengan kos tersebut hanya karena nama saya mirip dengan namanya.

Kos tersebut jadi satu dengan rumah Bu Mulyani. Ia tinggal di lantai bawah, sedangkan lantai atas yang terdiri dari 3 kamar ia sewakan untuk kos. Ada satu tangga khusus yang membuat penghuni kos bisa langsung menuju kamar kos tanpa harus melewati pintu rumah utama.

Tarif kos di rumah Bu Mulyani saat itu amat murah. Hanya 150 ribu rupiah per bulan. Untuk ukuran kos yang posisinya strategis karena dekat dengan masjid, jalan raya, dan warung makan, itu adalah harga yang amat menguntungkan. Apalagi di dalam kamar, sudah tersedia meja, ranjang, lemari, dan juga karpet lantai.

Lebih lagi, penghuni kamar sebelah ternyata adalah sekumpulan perempuan muda yang bekerja sebagai SPG di swalayan tak jauh dari tempat kos. Hal yang membuat harga 150 ribu per bulan itu menjadi terasa semakin murah.

Di kos ini, tentu saja saya tidur dengan tetap mempertahankan kebiasaan lama saya, yakni tidur dengan lampu menyala. Tidak boleh ada lampu mati.

Awalnya tak ada masalah. Hingga pada akhirnya, seminggu setelah saya tinggal di kos tersebut, Bu Mulyani mulai menegur saya. Ia meminta saya mematikan lampu jika saya mau tidur.

“Biar tagihan listriknya nggak banyak, Mas Agus,” terangnya.

Kalau ibu atau bapak saya sendiri, saya mungkin masih bisa agak berdebat atau berargumen. Namun kali ini, yang saya hadapi adalah Bu Mulyani. Orang yang tentu saja tidak peduli dengan kepulasan tidur saya.

Namun, mau dikata apa, saya memang harus bisa menerima alasan Bu Mulyani. Uang kos saya hanya 150 ribu, maka memang sudah seharusnya saya tahu diri.

Saya sebenarnya bisa saja menawar untuk tetap menyalakan lampu, sebagai gantinya, saya bersedia membayar tambahan uang kos, namun setelah saya pikir-pikir, hanya mulut saya yang bisa menawar, sedangkan keuangan saya tidak. Maka, mau tak mau, saya harus mulai membiasakan diri untuk tidur dengan lampu yang dimatikan.

Hari pertama tidur dengan lampu mati benar-benar amat menyiksa. Entah kenapa, ada sedikit rasa takut. Ini cukup memalukan, seorang lelaki yang sudah berjembut ternyata takut saat tidur dengan kondisi gelap karena lampu dimatikan.

Lebih dari itu, kondisi yang gelap gulita itu ternyata membuat saya malah terlalu banyak berpikir. Saya tidak bisa langsung tertidur walaupun saya sudah berusaha menidur-nidurkan diri.

Hari pertama terlewati dengan tidur yang amat sangat tidak bermutu. Saya baru bisa benar-benar tertidur selepas tengah malam. Hari kedua berlalu tak jauh berbeda dengan hari pertama. Hari ketiga pun demikian.

Hari keempat, saya mencoba tidur dengan sambil menyetel radio di hape sebgai rungon-rungon atau teman bunyi. Hal yang saya pikir cukup membantu karena saya jadi bisa mengurangi ketakutan-ketakutan tak beralasan saya.

Hingga pada akhirnya, setelah dua minggu mencoba, ehm, lebih tepatnya, terpaksa mencoba tidur dengan lampu mati, saya akhirnya mulai benar-benar terbiasa, dengan atau tanpa menyetel radio.

Belakangan baru saya ketahui bahwa tidur dengan lampu mati ternyata lebih menyehatkan ketimbang tidur dengan lampu menyala. Saat tidur dalam keadaan lampu menyala, produksi hormon melatonin berkurang, hal itu berpengaruh terhadap kualitas tidur yang jadi tidak maksimal.

Namun pada kenyataannya, tak sedikit orang yang seperti saya, yang tidur harus dengan lampu menyala. Alasannya beragam, dari mulai soal ketakutan, sampai soal kenyamanan.

Bahkan, tak sedikit orang yang hanya bisa tidur dalam kondisi lampu menyala disertai dengan sedikit keributan.

Media kesehatan Healthline menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh mereka yang terbiasa tidur dengan lampu menyala agar mulai terbiasa tidur dengan cahaya yang minim, antara lain dengan mencoba menggunakan tirai kamar gelap, memaksimalkan olahraga pada pagi dan sore hari, serta menghindari penggunaan ponsel sebelum tidur.

Kalau saya pribadi, berdasarkan pengakuan beberapa kawan yang punya masalah tidur dalam keadaan gelap, salah satu cara paling ampuh dan tokcer yang layak dicoba adalah tidur dengan mematikan lampu namun sambil menyalakan televisi dengan volume yang dikecilkan agar tetap ada cahaya dan sedikit suara.

Lho, tapi kalau begitu, nanti pengeluaran listrik jadi boros, dong?

Nah, dalam kondisi seperti itulah, kita layak berterima kasih kepada siapa pun yang menemukan teknologi timer pada televisi. Sungguh, penemuan mereka bukan hanya berguna untuk para pengusaha rental PS, namun juga untuk orang-orang yang kalau tidur harus ada cahaya dan suara.


BACA JUGA Menjadi Melarat yang Sempurna dengan Skill Mudah Tidur di Mana Saja dan artikel AGUS MULYADI lainnya. 

Exit mobile version