[MOJOK.CO] “Dalam wawancara bersama Najwa Shihab, Fredrich Yunadi mengaku menyukai kemewahan. Saya juga.”
Sastrawan dan juga juru masak tampan Yusi Avianto Pareanom pernah bertitah, “Terlahir miskin itu nasib, mati miskin itu kebangetan.” Kata-kata bijak itu saya pegang teguh hingga saat ini. Ini juga jadi alasan mengapa saya berhenti mengidolakan Mahatma Gandhi. Bukan, bukan karena dia memiliki dugaan skandal dalam hidupnya, tapi karena saya telah menemukan jalan baru, idola baru yang akan membawa saya pada jalan kemuliaan. Beliau adalah Yang Terhormat Bapak Fredrich Yunadi.
Saat pengacara-pengara di LBH Jakarta sibuk belain rakyat miskin, bahkan Aldo advokat di LBH Jakarta pernah gempor dipukul oknum aparat, beliau malah hidup nyaman. Dalam wawancara bersama Mbak Najwa Shihab ia berkata, “Saya suka mewah. Saya kalau ke luar negeri, sekali pergi itu minimum saya spend 3 miliar, 5 miliar. Sekarang tas Hermès yang harganya 1 Miliar juga saya beli,” katanya. Jatmika betul. Tiada lawan.
Sejak wawancara itu, beliau menjadi panutan baru saya. Kejujuran akan kecintaannya pada kemewahan dan sikapnya yang mudah haru merupakan padanan indah. Toh, dalam ajaran agama tidak ada larangan hidup mewah. Beliau pun kerap bersedekah.
Masih dalam wawancara bersama Mbak Nana, Pak Fredrich Yunadi kerap memberikan bantuan hukum gratis bagi orang-orang terkenal. Jika pengacara seperti Yap Thiam Hien dan Adnan Buyung Nasution membantu perkara orang miskin dengan gratis, beliau malah membantu orang-orang mampu seperti Pak Budi Gunawan dengan gratis.
Sungguh murah hati. Saya yakin beliau juga banyak membantu orang miskin dengan gratis, tapi itu tak ditunjuk-tunjukkan. Beliau tidak riya, pamer, dan sombong. Ini juga menjadi salah satu sifat rendah hati yang membuat saya ngefans dengan Pak Fredrich.
Saya malah kecewa dengan kawan-kawan yang tak bisa melihat cahaya kebaikan dari Pak Fredrich Yunadi. Mungkin ada yang curiga, kok bisa pengacara punya penghasilan banyak, sampai bisa liburan dengan menghabiskan uang miliaran rupiah?
Pak Fredrich Yunadi kan pekerja keras, beliau bilang punya usaha dan warisan, juga ada banyak perusahaan yang mempercayakan masalah hukumnya kepada beliau. Kalau satu perusahaan membayar ongkos 100 juta, 20 perusahaan jadi berapa? Itu mah cukup buat bantu Pemda Jakarta memenuhi janji memberi daging gratis bagi penerima KJP. Tapi, itu bukan urusan beliau sih.
Untuk itu, saya mengajak kawan-kawan semua untuk berhenti nyinyir dan jahat kepada beliau. Sudahilah membuat meme jahat. Kalau memang yang bermasalah, itu Pak Setnov. Jangan Pak Fredrich dibikin kena getahnya.
Kemudian pula, beliau itu kan pekerja jujur, orang yang menerima penghasilan halal. Kalau emang terbukti nanti Setnov korupsi e-KTP, kan belum tentu uang yang dibayarkan kepada Pak Fredrich Yunadi itu hasil korupsi. Lagian mau tahu banget sih sama honor orang. Berbaik sangkalah sesama manusia, jangan menyakiti.
Sekarang ini bukan zaman saat Ferdinand I (1503–1564) hidup; saat ketika prinsip fiat justitia pereat mundus atau “hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa” adalah pedoman hidup pelaku hukum. Sekarang? Ya beda lagilah. Lagian kurang adil apa sih hukum dan pengacara di Indonesia? Misalnya nih ya, seperti kata Pak Mahfud MD, jika maling ampli bisa dibakar massa, maling duit rakyat masih dilindungi hukum tuh. Nggak percaya? Emang pernah ada tersangka korupsi yang dibakar hidup-hidup di KPK? Nggak ada khaaan.
Itulah mengapa saya mengajak kalian jadi sobat Pak Fredrich Yunadi, menjadikan ia bias atau oshimen. Lha malah ketawa, dikira saya bercanda apa ya? Ada banyak alasan mengapa kita perlu menjadi sobat Pak Fredrich Yunadi.
Pertama, kita bisa secara langsung mengikuti segala yang terjadi di kehidupan mewah beliau. Tidak hanya itu, kita bisa numpang tenar. Seperti dalam wawancara bersama Mbak Nana, beliau bilang, apabila membela orang besar, ia justru tidak mengharapkan bayaran. Sungguh dermawan~
Nah, kita bisa numpang terkenal, naik pamor, dengan cara menjadi vvota-nya Pak Fredrich.
Kedua, kita bisa belajar tentang perkembangan hukum terbaru. Kemarin Pak Fredrich Yunadi menyebut akan melaporkan kasus Setya Novanto ke pengadilan HAM internasional. Ini ide yang sangat brilian, artinya ada pendekatan hukum terbaru. Jika pengadilan HAM biasanya mengurusi kejahatan kemanusiaan atau genosida, kini bisa juga mengadili masalah sengketa uang rakyat. Pak Setya Novanto kelak akan diingat sebagai orang yang setara dengan Adolf Eichmann, Stanislav Galić, dan Ratko Mladić. Akhirnya, ada orang Indonesia yang berprestasi di pengadilan HAM internasional.
Ketiga, kita bisa belajar langsung bagaimana sukses dalam hidup bersama Pak Fredrich Yunadi. Sebagai orang yang bosan hidup pas-pasan, saya juga ingin kecipratan kemewahan dari beliau. Kita kan tahu, Pak Setnov bisa sukses kaya hari ini karena dulu pernah dekat dan belajar dari politisi lain, bahkan sampai menjadi sopir mereka. Siapa tahu dengan menjadi penggemar Pak Fredrich, kita bisa ketularan sakti, kaya, bijak, baik hati, dan memiliki semangat tarung yang kuat.
Untuk itu saya berharap kalian semua yang hari ini tidak suka pada beliau, bertobat. Mari kita sama-sama belajar dari Pak Fredrich Yunadi soal bagaimana cara sukses di dunia.