Arti Sindiran dari Video Wayang Jokowi

Sindiran wayang Jokowi MOJOK.CO

MOJOK.COPak Jokowi mengunggah sebuah video yang sangat nJawani di akun Twitter pribadinya. Apa makna video itu? Mojok Institute berhasil mengupasnya.

Orang Jawa punya tutup kepala bernama blangkon. Selain sebagai tutup kepala, blangkon juga punya makna filosofis. Blangkon Ngayogyakarta punya mondholan atau “benjolan” kecil seperti onde-onde di belakang kepala. Mondholan menggambarkan orang Jawa yang pandai menyimpan rahasia dan aib.

Pandai menyembunyikan perasaan itu juga berpengaruh kepada cara penerimaan orang Jawa akan sebuah masalah. Ketika sedih sampai tersinggung pun, mereka bisa tetap tersenyum, meskipun di dalam hatinya misuh-misuh, “Sempak!”

Ketika menasihati atau menegur, orang Jawa pun adem-ayem, menyampaikannya secara santun. Sering terjadi mereka menggunakan perumpamaan, disertai kalimat-kalimat bijak. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Jokowi ketika mengunggah sebuah video di kanal Twitter pribadinya.

Video pendek itu menampilkan sosok Gatotkaca yang sedang menemui rakyat kecil sambil membawa beberapa untai padi. Tim kreatif Pak Jokowi menambahkan kalimat bijak berbunyi, “Lamun sira sekti, aja mateni” disertai aksara Jawa-nya. Diiringi gending Jawa, mantan Walikota Solo itu menarasikan kalimat bijak tersebut dengan suaranya yang medhok nJawani itu.

Lantas, apa sih arti dari video wayang yang diunggah Pak Jokowi itu?

1. Jangan sombat-sambat, tapi kuat seperti Gatotkaca!

Tokoh Gatotkaca di dunia pewayangan digambarkan dengan sebuah kalimat: “Otot kawat, tulang besi.” Tentunya kalimat itu nggak cuma soal fisik saja. Gatotkaca juga sosok yang mentalnya tangguh, nggak nangisan, dan nggak gampang sambat soal hal-hal remeh. Apalagi jadi cah senja di tepi Kawah Candradimuka yang selfie sambil membelakangi matahari tenggelam.

Gatotkaca kalau sedih nggak gampang ngetwit: “Memories can be painful. To forget may be blessing!” padahal cuma perkara chat centang dua warna biru tapi nggak dibales. Apalagi sampai bikin tagar pakai tamplate seperti ini: # (nama hari) sambat. Haesh, ra mashoook.

Meramaikan tagar kayak gitu itu buat apa? Biar kamu mendapatkan pengakuan jadi orang paling sedih sedunia? Kebanyakan sambat, bikin nggak giat. Makanya, Pak Jokowi nggak mau tuh, anak-anak milenial bergaji UMR gaya hidup CEO malah kebanyakan sambat. Bekerja seperti Gatotkaca dan nggak lupa dengan sesama.

2. Pak Jokowi mau bilang kalau jadi cah senja itu ra mashook!

Coba perhatikan video pendek yang diunggah oleh Pak Jokowi. Sebagai gambar latar, dipilih matahari yang sedang menyingsing dari balik gunung. Itulah matahari terbit. Pak Jokowi ingin mengingatkan kita akan ingatan masa kecil ketika suka menggambar pemandangan dengan matahari mengintip manja dari sela-sela dua gunung, lalu ada jalan berkelok-kelok dari gunung, ada sawah pak tani dengan gambar padi seperti tanda centang, awan-awan di langit yang ditemani burung nggak jelas jenisnya itu.

Itulah gambaran pagi, sangat kompatibel dengan gambar pak tani di video pendek Pak Jokowi. Sejak pagi, bahkan sebelum matahari terbangun dari tidurnya, pak tani sudah bekerja dan Pak Gatotkaca sudah melakukan kunjungan ke sawah-sawah untuk membagikan benih padi. Ini bentuk teguran kalau kita harus semangat kerja, sambil nggak lupa sedekah.

Bangun pagi, bekerja keras, dan ingat anjuran agama. Bukan malah bangun siang, bikin kopi, dan menantikan senja untuk menulis secarik puisi yang nggak estetis blas. Ujung-ujungnya sambat. Halah, mending kamu ngarit rumput saja ketimbang sombat-sambat. Malah lebih berguna untuk alam raya dan sapi pak tani.

3. Sindiran Pak Jokowi untuk orang Jawa masa kini.

Ngapain, sih, Pak Jokowi pakai wayang di videonya? Pak Jokowi itu sedang menyindir orang Jawa masa kini. Yang kini terjadi adalah, banyak orang Jawa yang malah nggak bisa membaca dan menulis aksara Jawa. Bahkan banyak yang lebih fasih grammar Bahasa Inggris dan Mandarin ketimbang Bahasa Jawa ngoko alus.

Terjadi juga banyak orang Jawa masa kini yang sulit menyebutkan siapa saja yang tergabung dalam rombongan Punakawan. Siapa itu Gareng? Siapa Petruk? Bagong? Semar? Orang Jawa masa kini lebih pandai membedakan mana Soong Joong Ki dengan Park-Hae Jin. Padahal, aktor dan aktris Korea Selatan itu mirip-mirip wajahnya.

Berapa jumlah orang Jawa masa kini yang betah nonton drama wayang dari pukul 21.00 hingga 04.00 pagi? Yang pasti jumlahnya kalah dari orang Jawa masa kini yang lebih betah menekuni drama Korea berjilid-jilid kayak demo di Monas. Maraton drakor dari pukul 19.00 sampai subuh cuma masalah sepele. Masalah lebih besar kalau ketinggalan satu episode dan nggak bisa masuk ke dalam obrolan circle-mu yang hooligans drakor itu.

Pak Jokowi ingin mengingatkan kita semua. Menjaga budaya itu tugas seumur hidup. Suka nonton drakor ya nggak masalah, tapi setidaknya kita mengenal budaya sendiri. Begitu ya, jangan lupa sama budaya sendiri. Aigoo…

Exit mobile version