Perdebatan tentang keberanian seorang lelaki adalah perdebatan yang selalu saja tiada berujung. Maklum saja, keberanian adalah sesuatu yang relatif. Ia tak punya tolok ukur tertentu.
Di Facebook, saya pernah menemukan komentar tentang keberanian lelaki. Saya menemukannya di postingan tentang sebuah insiden KDRT. Dalam postingan tersebut, muncul sebuah komentar dari seorang lelaki yang mengatakan bahwa lelaki yang paling pemberani adalah lelaki yang paling takut menyakiti pasangannya.
Sungguh sebuah komentar yang sangat subtil dan falsafi.
Pada kesempatan yang lain, saya menemukan lagi apa arti sebuah keberanian pada seorang lelaki.
“Lelaki pemberani adalah lelaki yang saat membangunkan hati seorang perempuan, ia tak lantas meninggalkannya,” begitu tulis sebuah akun Twitter yang ndilalah saya lupa apa nama akunnya.
Lain lagi dengan arti keberanian lelaki versi akun-akun hijrah remaja atau akun-akun yang doyan mengkampanyekan nikah muda dan menolak pacaran itu.
Menurut mereka, lelaki pemberani adalah mereka yang saat mencintai seorang perempuan, ia tak akan datang pada perempuan tersebut, melainkan langsung datang pada orangtuanya.
Ah, ada bermacam-macam versi tentang keberanian lelaki. Semua boleh punya pengartian sendiri tentang apa itu makna sejati lelaki pemberani.
Dari segala versi yang pernah ada, saya punya versinya sendiri. Ini bukan versi yang main-main, sebab saya pernah bertemu langsung dengan lelaki tersebut.
Saya tak tahu siapa namanya. Yang jelas, saya bertemu awal tahun ini saat menonton kembang api tahun baru di halaman sebuah mall tak jauh dari tempat tinggal saya.
Ia seorang lelaki muda. Ia sengaja datang bersama anak dan istrinya untuk menonton pesta kembang api yang diselenggarakan oleh pihak pengelola mall.
Motor kami parkir sebelahan, dan kami berbincang cukup banyak.
Saya tak ingat ia bekerja di mana, tapi yang jelas, ia bercerita bahwa dirinya nyambi sebagai tukang ojek online.
Kami mengobrol panjang lebar, dari mulai soal kemacetan di Jogja dan Semarang, sampai soal pekerjaan.
Dalam salah satu sesi perbincangan, ia dengan mantap berkata begini sama saya, “Enaknya jadi tukang ojek online itu kalau ndilalah dapat penumpang cantik, Mas. Lumayan, bisa mbathi-mbathi sithik.”
Saya kaget, bukan karena konteks pendapatnya, tapi lebih karena ia mengatakan itu di posisi yang hanya berjarak 15 senti dari istrinya.
Perbincangan dengan lelaki muda ini memberikan saya pandangan baru tentang apa arti keberanian seorang lelaki, utamanya dalam menyampaikan pendapat.
Bagi saya, dia adalah lelaki pemberani yang sesungguhnya. Lebih dari itu, ia juga lelaki yang merdeka, berdaulat, dan tak takut menantang maut.