MOJOK.CO – Mbah Amien Rais, kalau memang terjadi Perang Baratayuda, siapa yang cocok memerankan tokoh Sengkuni? Ada referensi?
Mungkin beliau lelah. Untuk ke sekian kalinya, Amien Rais membuat publik terkekeh. Betul, bagi saya, yang mana juga bagian dari publik, komentar-komentar Amien Rais tak lagi menakutkan. Malahan, semakin hari, semakin lucu menggemaskan saja. Apalagi ketika komentarnya diserang balik oleh orang yang lebih kompeten. Kontradiksi. Mungkin panjenengan sudah lelah, Mbah Amien.
Jujur saja, dulu, saya sengit betul dengan Mbah Amien. Apalagi ketika beliau tidak jadi jalan kaki dari Yogyakarta menuju Jakarta. Padahal, kan, kalau jadi, mbok yakin bakal banyak yang ikutan. Ikutan keplok dan menyoraki. Begini lho, Mbah, saya rasa panjenengan makin lama makin insecure, makin merasa tidak aman saja.
Mau bukti. Kita mundur ke Juli 2018, ketika Mbah Amien merasa gusar karena dirinya banyak diserang oleh netizen. Memang, netizen ini maha benar, Mbah. Sabar ya. Masalahnya adalah, tak mungkin netizen menyerang jika tidak diberi bahan. Siapa yang memberi bahan? Ya panjenengan sendiri, Mbah. Masalahnya di situ.
Mbah Amien sendiri kan yang menciptakan dikotomi Partai Setan dan Partai Allah. Mbah Amien juga yang “menuntut” kalau pengajian itu harus disisipi dengan pesan-pesan politik. Komentar-komentar seperti ini enak betul dijadikan bahan bercandaan netizen. Ya jangan salahkan netizen kalau ada yang nggak hanya bercanda, tapi menyerang panjenengan.
Sampai-sampai Mbah Amien Rais menyebut ada semacam pasukan siber yang khusus dibikin untuk menyerang panjenengan. Saya, kalau bisa bikin pasukan siber, mending buat nge-buzz jualan di IG atau Tokopedia. Lebih menguntungkan dan berfaedah saja. Mbah, merasa insecure itu berbahaya. Nanti jatuhnya bisa fitnah. Fitnah kan dilarang agama.
Panjenengan kan seseorang yang bisa dikatakan sebagai “ulama”. Maka hendaknya jangan gegabah menuduh yang bukan-bukan. Yang saya tulis ini sederhana banget, lho. Seharusnya sangat mudah untuk dipahami. Tapi kok ya dasarnya panjenengan keras kepala. Ngapunten sebelumnya saya sebut panjenengan begitu. Bukannya mau nranyak sama yang lebih tua.
Begini, Mbah Amien Rais yang saya naksir sama baju-baju batiknya. Masa kampanye Pilpres 2019 ini kan sebetulnya sudah tidak sehat lagi. Kalau bahasa ahli politik: sudah tidak produktif. Lha wong isinya malah saling menghina. Dan celakanya, jatuhnya ke fitnah lagi. Apalagi sampai bikin hoaks pemukulan, tapi ternyata kena oplas saja.
Sekarang sudah Desember 2018. Coblosan tinggal empat setengah bulan lagi. Setidaknya kita masih punya waktu untuk menyajikan kampanye-kampanye yang cerdas dan enak diikuti. Kalau bahasa ndakik-ndakiknya ya begitu. Tapi saya mengerti kalau harapan itu susah terjadi. Apalagi ketika Mbah Amien kembali bikin publik terkekeh.
Tanggal 30 November 2018 yang lalu, panjenengan kembali menciptakan istilah yang bikin perut ini sampai mulas ketawa. Acaranya adalah Muktamar Pemuda Muhammadiyah XVII di Yogyakarta ketika Mbah Amien Rais meramalkan akan terjadi Baratayuda dan Armageddon di 17 April 2019 atau ketika coblosan.
“Ini permainan memang tinggal empat setengah bulan lagi. 17 April itu adalah pertaruhan yang terakhir apakah unsur-unsur PKI akan menang ataukan sebaliknya. Ini pertarungan Baratayuda, Armageddon, sudah kurang dari empat setengah bulan. Jadi kita harus betul-betul konsolidasi,” kata Mbah Amien ketika Muktamar.
Sebentar, ini mau Baratayuda atau Armageddon duluan? Jangan sampai kebalik. Mbah Amin tahu, kan artinya Baratayuda dan Armageddon. Kan enggak lucu kalau Armageddon duluan. Mau perang di mana kalau dunia udah kiamat? Cebong dan kampret mau tweet war di pintu neraka? Dear dik Hanum Rais, yang sabar ya.
Membaca pernyataan Mbah Amien Rais, luruh sengit saya. Hilang rasa jengkel saya setiap membaca komentar-komentar beliau sebelumnya. Semuanya berubah menjadi rasa kasihan. Saya kasih tahu ya. Merasa selalu tidak aman, insecure, itu melelahkan lho. Bikin kepala saya senut-senut karena tensi naik.
Saya masih muda. Bagaimana dengan Mbah Amien yang yuswa-nya sudah 74 tahun. Saya cuma takut terjadi yang nggak-nggak. Kalau Mbah sakit, kami juga sedih. Oleh sebab itu, saya cuma bisa menyarankan Mbah Amien lebih banyak ngobrol sama Buya Syafii, misalnya. Ngbrol dengan teman sejawat di Muhammadiyah kan bisa lebih terbuka. Atau mau curhat ke orang NU biar ketularan lucu? Curhat, Mbah. Rasa tidak aman itu jangan disimpan sendiri.
Contoh Buya Syafii yang berusaha memadamkan api yang coba Mbah sulut. Ketika ketemu dengan Sandiaga Uno, cawapres yang Mbah dukung, Buya Syafii menegaskan bahwa Indonesia ini jangan sampai tercabik-cabik. Pilpres 2019 dan Pileg 2019 harus lebih damai.
“Sebagai orang tua, siapa yang berkunjung ke sini saya terima dengan baik. Tadi saya sampaikan kepada cawapres (Sandi), jika nanti terpilih jadilah wapres rakyat Indonesia, bukan wapres hanya partai pendukung. Jadi dari posisi politisi menjadi negarawan. Itu yang sering saya sampaikan, itu kuncinya agar Indonesia tidak tercabik-cabik. Pilpres Pileg juga lebih damai lah, tergantung kepada elitenya, kalau elitenya ngompor-ngompori itu menurut saya ndak sehat lah, itu melelahkan,” kata Buya Syafii.
Itu lho, Mbah Amien. Ngompor-ngompori itu melelahkan. Buat usia tua, bisa jadi penyakit. Ini saya sayang sama Mbah Amien. Makanya saya berani mengingatkan tanpa maksud menggurui.
Apalagi kemudian, Buya Syafii mengungkapkan bahwa ketika bertemu dengan dirinya, Sandiaga Uno ingin kampanye yang damai dan jujur membela bangsa ini.
“Dan Sandi nampaknya sudah mau berusaha ke arah itu supaya semua damai dan semua betul-betul secara jujur membela bangsa ini, merajut kembali persatuan keutuhan bangsa jangan sampai terkoyak-koyak.”
Nah kan, kontradiksi lagi. Mbah Amien Rais menggambarkan Pilpres 2019 sebagai sebuah babagan perang, sementara Sandiaga Uno ingin kampanye yang damai. Mbok kalau satu kubu itu setidaknya seiya sekata.
Lagian, kalau memang terjadi Perang Baratayuda, siapa yang cocok jadi Sengkuni, Mbah Amien Rais?