Tak ada angin tak ada hujan (eh, tapi kalau yang ini kelihatannya ada sih), “Bapak” persepakbolaan kita, Edy Rahmayadi mendadak mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua umum PSSI.
“Demi PSSI berjalan dan maju, maka dari itu saya menyatakan hari ini saya mundur dari Ketua PSSI,” begitu kata Edy dalam Kongres PSSI di Hotel Safitri, Bali, beberapa hari yang lalu.
Jabatan Ketua PSSI tersebut kemudian diisi oleh Wakil Ketua Umum PSSI Joko Driyono dengan status sebagai pelaksana tugas.
Kabar tentang mundurnya Edy Rahmayadi ini tentu saja disambut dengan penuh suka cita oleh banyak insan pecinta sepakbola Indonesia yang memang sudah sejak lama menghendaki ia mundur dengan mengkampanyekan gerakan #EdyOut.
Nah, tak ada angin tak ada hujan (lagi-lagi, kali ini kelihatannya juga ada, sih), Ketua Umum PKB sekaligus Wakil Ketua MPR RI Muhaimin Iskandar atau yang akrab dipanggil Cak Imin mendadak menyatakan siap menjadi Ketua Umum PSSI.
Melalui akun Twitternya, ia menuliskan twit: “Saya siap memimpin PSSI, biar beres, biar berprestasi, masuk gelanggang dunia.”
Pernyataannya di Twitter tersebut langsung memicu perdebatan. Banyak yang mendukung, namun tak sedikit pula yang mengejek dan menentang.
Nah, Saya bersama Mojok Institute menutuskan untuk mendukung Cak Imin sebagai Ketua Umum PSSI. Tentu saja dukungan kami bukan tanpa alasan. Kami sempat mengadakan sebuah penelitian kualitatif singkat yang memberikan alasan-alasan kenapa Cak Imin layak menjabat sebagai Ketum PSSI.
Nah, inilah alasan-alasan yang kami kemukakan.
Modal Santri NU
Santri, utamanya NU adalah kaum yang begitu akrab dengan sepakbola. Banyak tokoh-tokoh besar NU yang di kala mudanya begitu akrab dengan dunia sepakbola. Gus Dur dulu sewaktu muda, ia gemar sekali bermain bola. Ia bahkan menjadi salah satu esais bola terbaik yang pernah ada di negeri ini. Kompatriot sejatinya, Gus Mus juga dulu seorang pesepakbola handal. Saat masih menjadi santri, ia sering bertanding sepakbola, baik melawan kawan-kawannya satu pesantren maupun dari yang beda pesantren.
Nah, kultur sepakbola dalam NU ini tentu saja punya kekuatan tersendiri. Bukan sekadar kekuatan taktikal, namun juga kekuatan spiritual. Bayangkan, apa jadinya kalau PSSI berada di bawah asuhan Cak Imin. Ketika timnas bermain, akan ada jutaan santri dan kiai yang mendoakan timnas.
Mosok dari sekian banyak santri dan kiai nggak ada yang makbul doanya.
Etapi ini masih bisa diperdebatkan juga ding. Soalnya, Arab Saudi yang punya banyak syech, habib, dan mufti nyatanya juga pernah dibantai 0-8 sama Jerman yang notabene adalah negara kafir.
Filosofi PKB
Bukan kebetulan jika PKB, partai yang dipimpin oleh Cak Imin adalah semiotika akan kejayaan sepakbola. Coba saja lihat logo PKB. Bola dunia bergambar kepulauan Indonesia yang dikelilingi oleh sembilan bintang.
Bola dunia bergambar kepulauan Indonesia ini melambangkan perjuangan sepakbola Indonesia. Sedangkan bintang, dalam dunia sepakbola adalah simbol juara. Di Italia, satu bintang disematkan pada logo klub yang sudah menjuarai liga 10 kali. Sedangkan di tingkat dunia, bintang berarti gelar juara piala dunia satu kali. Italia, misalnya menyematkan empat bintang di atas logo timnas sepakbolanya karena sudah juara dunia empat kali. Sedangkan Brazil menyematan lima bintang karena sudah juara lima kali.
Bayangkan jika bintangnya 9 seperti di logo PKB. Apa nggak hebat?
Sosok yang paling tepat untuk memasyaratkan sepakbola
Dulu saat berkampanye memperkenalkan dirinya untuk menjadi cawapres pendamping Jokowi, Cak Imin memasang banyak sekali baliho bergambar dirinya dengan tulisan “Cawapres Jaman Now”. Jumlah balihonya sangat banyak, bahkan disinyalir melebihi jumlah plang rumah makan Pring Sewu.
Bayangkan Jika Cak Imin menjadi ketua PSSI, ia pasti akan memasang banyak sekali baliho bergambar dirinya dan gambar bertema sepakbola, bisa bola, gawang, atau stadion.
Ini adalah cara yang sangat dahsyat untuk memasyarakatkan sepakbola. Lha gimana, naik motor berhenti di perempatan Kaliurang, ketemunya baliho Cak Imin, inget sepakbola. Maju dikit, sampai perempatan Condong Catur, ketemu sama baliho Cak Imin, ingat sepak bola. Sampai jalan depan Hartono mall, lihat baliho Cak Imin lagi, inget sepakbola lagi.
Apa nggak dahsyat itu. Motoran satu kilo, inget sepakbolanya tiga kali.