Aksi 22 Mei yang Dipicu Para Elite dan Dieksekusi dengan Sukarela oleh Kita

MOJOK.CO – Rusuh Aksi 22 Mei harus diakui lahir karena dipupuk elite sejak lama. Jangan percaya sama KPU, jangan percaya sama media, sampai jangan percaya sama negara.

“Percuma ke MK, isinya orang 01 semua.”

Ini narasi yang belakangan muncul, baik sesaat setelah coblosan maupun setelah pengumuman suara Pilpres 2019 dikeluarkan. Entah di Twitter, IG, Facebook, muncul aja komen-komen kayak begini di timeline teman-teman saya.

Secara sederhana, kita bisa menduga bahwa ada narasi yang ingin menegasikan kekuatan negara. Caranya? Hayaa lewat ketidakpercayaan terhadap aparatur-aparaturnya.

KPU sudah kena sejak lama lewat narasi kalau 02 kalah berarti mereka dicurangi. Bahkan dengan tewasnya banyak petugas KPPS, semakin tersedia peluru kesalahan untuk ditembakkan ke KPU.

Polri juga sudah kena. Dan selalu kena. Atmosfer yang dibangun, Polri dinarasikan nggak netral.

Apalagi kasus kerusuhan di Jalan MH Thamrin di Jakarta, dalam aksi 22 Mei, yang sampai tulisan ini dibuat memakan korban 6 orang tewas. Hal yang mempertegas bahwa bakal semakin kenceng lagi amunisi serangan yang bisa ditembakkan ke arah Polri.

Keributan yang memuncak dalam aksi 22 Mei ini kalau kita mau melacaknya, lahir karena munculnya ketidakpercayaan masyarakat (wabilkhusus pemilih 02) terhadap Mahkamah Konstitusi (MK).

Ada tuduhan yang mengerikan dari sana. MK dianggap sebagai alat atau “anak buahnya” pemerintah. Lalu dengan begitu muncul anggapan pemerintah kan dipimpin petahana, petahana sekarang kan Jokowi, mana mungkin ada “anak buah” membangkang sama tuannya sendiri?

Semena-mena benar memang tuduhan itu, yang kemudian berimbas pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum di Indonesia.

Lha sama MK saja tak percaya, padahal MK itu badan tertinggi untuk mengatasi sengketa konstitusi je? Jadi ini maunya apa? Bikin lembaga hukum sendiri?

Puadahal, pada kenyataannya, masalah ini semakin riuh karena BPN Prabowo-Sandi sendiri gagal dalam mengajukan bukti-bukti kecurangan saat sengketa ini masih bisa diajukan ke Bawaslu.

Lha gimana? Semua bukti-bukti yang diajukan ditolak. Dan alasannya benar-benar bikin pengen ngelus dada, ya iyalah, bukti kok cuma link berita. Bijimana seeeh?

Lagi dan lagi, BPN gagal meyakinkan penegak hukum dalam soal dugaan kecurangan yang sudah dituduhkan. Tanpa bukti yang memadai, bagaimana seseorang bisa menjatuhkan keputusan ya to? Bagaimana memprosesnya kalau sejak awal BPN emang nggak niat-niat amat begini membongkar kecurangan?

Padahal, dengan narasi sebelumnya bahwa “Prabowo hanya bisa dikalahkan dengan kecurangan”, harusnya persiapan untuk 02 mengumpulkan bukti kecurangan jauh lebih terukur, proposional, dan kuat lagi ketimbang 2014.

Ini belum melihat inkosistensi klaim kemenangan BPN Prabowo-Sandi, dari awalnya klaim kemenangan 64 persen, lalu berubah jadi 62 persen, sampai yang terakhir 54 persen. Lalu tidak menerima hasil Pilpres tapi menerima hasil Pileg. Tak perlu berpikir keras untuk melihat hal ini sebagai sesuatu yang aneh dan sangat sulit mencari penjelasannya.

Masalahnya, ketika pihak BPN gagal meyakinkan Bawaslu atas “bukti-bukti” ini, pendukung 02 melihat ini sebagai sebuah konspirasi untuk menjegal jagoannya menang Pilpres. Hal yang kemudian termanifestasikan dalam: buat apa ke MK? MK kan isinya 01 semua?

Lalu dari narasi dan cerita-ceritu itu, potensi rusuh pada aksi 22 Mei pun muncul secara perlahan. Masyarakat makin panas. Makin gerah dari hari ke hari.

Tentu saja, saya tak juga bilang kalau Pileg dan Pilpres 2019 ini murni tanpa kecurangan sama sekali. Ya kok kayaknya naif banget kalau disebut tidak ada kecurangan sama sekali. Tapi mau nyebut kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif kan nggak bisa sembarangan kalau nggak ada buktinya kan?

Masalahnya kalau dalam ranah Bawaslu aja, BPN nggak serius menemukan bukti yang mumpuni, gimana mereka mau maju ke MK? Masa mau kasih link berita lagi? Tapi ya, mau bagaimana pun, mereka harus tetap maju, lah gimana? Udah kadung teriak ada yang curang jeh. Kalau nggak maju ke MK ya semakin aneh lagi dramanya.

Ini belum dengan kepentingan yang tersandera karena beberapa partai di dalam koalisi sudah merasa cukup dengan perolehan suara di Pileg. Ini jelas bikin mereka jadi jinak-jinak truwelu. Dari PAN yang ucapkan selamat ke Jokowi, Demokrat yang mengakhiri kerja sama koalisi dan mendukung Jokowi.

Satu-satunya yang tersisa ya PKS yang tetap bertekad membantu Prabowo menuntut keadilan ke MK. Meski ya, Mardani Ali Sera ini sudah mengharamkan #2019GantiPresiden. Wajar sih, secara itung-itungan politik, perolehan PKS udah melebihi prediksi. Aman sudah.

Artinya, status BPN Prabowo-Sandi menuju ke MK tidak dalam kondisi terkuatnya. Ibarat Barcelona, mereka seperti akan menghadapi Real Madrid tanpa Lionel Messi dan Luis Suarez. Koalisi sudah tercerai-berai, skuad compang-camping, padahal harus segera melenggang ke MK.

Melihat itu, jalur kemenangan jadi semakin lama semakin kelihatan sudah buntu, akhirnya yang tersedia menjadi kekuataan pendukung 02 ya cuma tinggal kesaksian-kesaksian. Kesaksian dan cerita-cerita kecurangan di lapangan.

Bisa benar ceritanya, bisa saja salah. Bisa bener ada kejadiannya tapi ceritanya salah, atau bisa nggak ada kejadiannya, tapi ceritanya ada.

Kesaksian dan cerita ini yang kemudian menyebar melesat ke berbagai akun-akun media sosial, obrolan di wasap grup keluarga, warung kopi. Dalam bentuk video dugaan kecurangan, foto-foto, data-data salah input KPU, dan lain-lain. Lalu semuanya perlahan jadi bangunan piramida yang jadi penyulut kemarahan massa pada aksi 22 Mei.

Melihat fenomena itu saya jadi teringat kata-kata Tyrion Lannister di episode terakhir serial Game of Thrones. Saat dirinya sedang diadili.

“What unites people? Armies? Gold? Flags?”

Semua orang terdiam, sampai Tyrion menatap mata para Lord di hadapannya.

“Stories.”

“There’s nothing in the world more powerful than a good story.”

Dan dari “cerita” itulah pendukung Prabowo berharap banyak.

Karena meskipun kalah secara perhitungan resmi, mereka akan terus bercerita ke sana kemari, bahwa mereka kalah secara terhormat karena dicurangi. Cerita bahwa mereka seharusnya yang menang. Cerita bahwa mereka sudah berjuang di aksi 22 Mei sampai memakan korban jiwa sebagai kisah-kisah heroik—alih-alih dilihat sebagai tragedi.

Sayangnya, cerita-cerita mengerikan ini muncul karena pernyataan singkat salah satu elite, mantan Bapak Reformasi, yang memancing masyarakat kita untuk tidak lagi percaya terhadap negara: “Kita nggak akan ke MK (Mahkamah Konstitusi). Nggak ada gunanya, tapi kita people power, people power sah.”

Lalu pernyataan mengerikan berikut adalah ini: “Saudara ku saya menangis, saya betul-betul sedih, juga marah bahwa polisi-polisi yang berbau PKI telah menembak umat islam secara ugal-ugalan.”

Lalu pengarang-pengarang cerita mulai bermunculan. Karena cerita yang bagus, yang menarik untuk diwariskan dari generasi ke generasi, dan yang mudah diingat hampir selalu membutuhkan dua hal ini: kreativitas dan imajinasi.

Bukankah begitu, Pak Amien Rais?

Exit mobile version