MOJOK.CO – Setelah beredar wacana Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) akan disunting Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, sebagai calon wakil presiden (cawapres), nama-nama lain pun muncul ke permukaan. Dari Anies Baswedan sampai Sandiaga Uno. Siapa yang lebih menguntungkan?
Pertemuan antara Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto dengan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarif Hasan, beberapa waktu silam memunculkan wacana bahwa nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bakalan masuk ke dalam bursa calon wakil presiden (cawapres) untuk Prabowo.
Setelah sebelumnya Partai Demokrat adem ayem berada di poros tengah untuk menunggu momentum yang mengutungkan, kecenderungan untuk tidak berpihak kepada pihak pemerintah semakin lama semakin kelihatan. Hal ini yang barangkali dimanfaatkan Prabowo untuk mencoba menjajaki Partai Demokrat agar mau berkoalisi dengan Gerindra.
Langkah Prabowo ini bisa dimaklumi, sebab basis massa pendukung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Partai Demokrat di negeri ini juga masih ada—meski tidak banyak. Apalagi jika koalisi ini benar-benar terjalin, secara hitung-hitungan sederhana, hal ini menguntungkan bagi Prabowo guna semakin menguatkan relasi di dunia kemiliteran yang sudah dimilikinya dengan SBY.
Selain nama AHY, dua nama lain yang juga sempat dibicarakan untuk menjadi cawapres Prabowo adalah pasangan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Dua nama terakhir yang bisa dibilang merupakan “penolong” bagi Gerindra saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 silam—selain karena terpelesetnya lidah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentu saja.
Bahkan nama Anies tidak hanya disinggung bisa maju sebagai cawapres, melainkan berpeluang juga untuk maju sebagai capres—yang malah bisa jadi “lawan” Prabowo sendiri. Paling tidak, ada sejumlah partai yang meliriknya untuk dijadikan Capres 2019 nanti. Dengan “keluarnya” Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi dari dukungan kepada Prabowo, nama Anies lambat laun justru semakin menguat.
Hal ini sebenarnya menggambarkan satu hal. Anies yang merupakan representasi Pemimpin Muslim (menurut Persaudaraan Alumni 212 tentu saja) adalah satu-satunya nama yang secara citra tidak jauh-jauh amat dengan TGB. Dibandingkan AHY dan Sandiaga Uno, nama Anies jelas lebih “islami”, baik secara nama harfiah yang sudah arab banget dibandingkan “Agus” atau “Uno”, maupun secara reputasi kesehariannya.
AHY memang sempat digandeng oleh beberapa ormas Islam di Indonesia saat Pilgub DKI Jakarta 2017 lalu, hanya saja, sejak kekalahannya melawan Ahok dan Anies, AHY barangkali tidak lagi punya kapabilitas yang bisa diandalkan untuk meraup suara yang cukup mengutungkan bagi siapa saja capres yang akan bersanding dengannya.
Meski kemudian muncul wacana Prabowo-AHY untuk Pilpres 2019 depan, sangat berisiko bagi Gerindra dan Prabowo jika hanya mengandalkan “sisa-sisa simpatisan SBY” guna mendompleng suara melawan Presiden Jokowi yang semakin hari semakin kuat. Pilihan bedekatan dengan AHY bisa dibaca hanya merupakan upaya Gerindra untuk bisa memperoleh basis massa Demokrat—tak lebih.
Di sisi lain, meski Sandiaga Uno punya catatan sebagai The Rookie dalam kancah perpolitikan di Indonesia dan cukup berhasil pada Pilgub DKI Jakarta, menyeret nama Sandi sebagai cawapres juga pilihan yang berisiko bagi Prabowo.
Seperti yang kita tahu, sejak beberapa tahun sebelum pasangan calon (paslon) Pilgub DKI Jakarta 2017 diumumkan, nama Sandi sama sekali tidak masuk sebagai unggulan. Pembangunan citra yang dibangun bersama tim suksesnya (sebelum rela mengalah jadi cawagub Anies) tidak menemui hasil yang memuaskan. Bahkan beberapa upayanya sering kali dijadikan meme atau jadi bahan olok-olokan di sosial media.
Bukan bermaksud meremehkan kekuatan Sandi, tapi baik Gerindra maupun Prabowo harus diakui cukup tertolong saat Anies Baswedan bersedia maju menjadi cagub DKI Jakarta. Saat gerakan-gerakan umat semakin kuat di Jakarta karena kasus Ahok, citra AHY dan Sandi hanya jadi peralihan suara para anti-Ahok di Jakarta. Terlebih keduanya tidak memiliki citra yang alami sebagai sosok pemimpin muslim. Hal yang justru dimiliki Anies dibandingkan dengan AHY dan Sandi.
Pada akhirnya memilih Anies untuk mendampingi Prabowo akan jadi pilihan paling masuk akal bagi Gerindra. Sebab hal ini akan memiliki keuntungan dua hal.
Pertama, citra Islam dari Anies akan cukup berpotensi memperbesar calon suara dari golongan Islam yang keras melawan Jokowi. Sudah santer diketahui, meski Prabowo didukung oleh beberapa golongan Islam, namun citra “pemimpin Islam” yang dimiliki Prabowo tidaklah alami.
Harus diakui bersama, Prabowo tak jauh beda dengan AHY dan Sandi. Ketiganya memang didukung kelompok ormas Islam anti-Jokowi, tapi cuma sebagai tujuan “asal bukan Jokowi” saja atau sebagai tujuan karena menganggap “Jokowi tidak islami” saja. Nah, dengan menggandeng Anies, citra Prabowo untuk memimpin kelompok ini bisa semakin kuat dan kokoh.
Kedua, dengan menggandeng Anies, Prabowo dan Gerindra bisa cukup tenang karena bisa mengamankan aset berharga yang dimiliki sebelum dirampok oleh parpol-parpol lain. Sekaligus bisa menutup kemungkinan skenario terburuk bagi Gerindra: Anies berbalik jadi lawan Prabowo untuk Pilpres 2019 nanti.
Sebagai sosok yang memenangkan pertarungan dengan Ahok, nama Anies jelas tidak bisa dipandang remeh. Meski terlalu buru-buru untuk memintanya bisa mengalahkan Jokowi, tapi nama Anies bisa dimanfaatkan untuk mendulang suara pada Pemilihan Legislatif (Pileg) sebelum pilpres. Reputasi dan popularitas sebesar ini tentu tidak akan disia-siakan oleh parpol manapun. Kalau pakai istilah jawa, namanya: eman-eman.
Akan tetapi, jika kemudian Anda bertanya, ke mana nama Habib Rizieq Shihab yang direkomendasikan Persaudaraan Alumni (PA) 212 sebagai rekomendasi capres 2019? Kok nggak dilirik sama sekali oleh Prabowo?
Sayang sekali, saudara-saudara, Imam Besar bagi—katanya—7 juta umat alumni Monas itu jumlah massanya masih terhitung terlalu sedikit jika dibandingkan 260 juta penduduk Indonesia. Apalagi yang bersangkutan juga masih di luar negeri dan tidak punya track record sebagai pengampu kebijakan pemerintah.
Toh, dengan memilih Anies, sebagian besar pendukung Habib Rizieq juga bisa diraih—selain tentu saja, faktor Anies yang pernah jadi “orangnya Jokowi”. Tapi semua itu masih tergantung bagaimana Prabowo memanfaatkan keuntungan itu nantinya, untuk paling tidak menyiapkan pertarungan agak seimbang dengan Presiden Jokowi tahun depan.