MOJOK.CO – Resto D’cost Seafood dan Yosinoya dibully netizen karena bikin aturan aneh. Pengunjung dilarang makan kue tart dari toko yang nggak punya sertifikat halal.
Resto D’cost Seafood dan Yoshinoya memuat aturan agak nyleneh secara terbuka dan sempat viral di media sosial. Kedua resto ini pun mendadak dibully habis-habisan oleh netizen.
Usut punya usut, jebul dua resto ini melarang pengunjungnya memakan kue tart (dari luar) untuk dimakan di dalam resto. Kecuali satu: kue tart itu berasal dari toko kue yang punya sertifikat halal.
Dalam aturan D’cost Seafood, diizinkan bagi pengunjung kalau mau bawa kue tart ke dalam resto, pihak D’cost harus tahu kalau kue tart itu memiliki sertifikat halal atau tidak dari toko yang bikin kue.
Jika kue tart itu tidak ada sertifikat halalnya, maka pihak resto masih mengizinkan kue tart itu dibawa masuk. Hanya saja kuenya hanya digunakan untuk proses pemotretan dan perayaan saja—tak boleh dimakan. Aturan ini kurang lebih diterapkan juga oleh pihak resto Yoshinoya.
Melihat adanya aturan ini, netizen jadi mencak-mencak karena merasa aturan tersebut punya kesan diskriminatif dan cukup sensitif bagi penganut agama minoritas di Indonesia.
Wakil Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Sumunar Jati, mencoba menjelaskan aturan dari kedua resto tersebut.
“Asal tidak dikonsumsi di restoran tersebut tidak apa-apa,” kata Wakil LPPOM MUI tersebut dilansir dari merdeka.com.
Ada kemungkinan pihak resto mengkhawatirkan soal sertifikat halal makanan lain, karena resto yang menerbitkan aturan tersebut memang telah memiliki sertifikat halal.
“Hal tersebut karena bisa timbulkan potensi kontaminasi dan misleading terhadap resto yang sudah bersetifikat halal,” tambah Sumunar.
Pada saat yang bersamaan, netizen memang langsung menunjuk hidung MUI karena dianggap menjadi satu-satunya lembaga yang punya otoritas untuk memberi sertifikat halal. Puadahal sebenarnya MUI sejak 2014 tidak punya wewenang untuk memberi logo halal lagi.
Kalau merujuk pada UU No. 33 tahun 2014 yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sertifkat halal saat ini dikeluarkan oleh Kementerian Agama lewat Badan Penyelenggaran Jaminan Produk Halal (BPJPH). Jadi sudah bulen via MUI lagi dong.
Lalu apakah MUI benar-benar lepas tangan terhadap logo halal pada era sekarang? Hm, tidak juga.
Meski tidak secara langsung memberi logo halal, MUI tetap menjadi bagian penting dalam sertifikasi halal sebuah produk.
Lah kok gitu? Karena produk bisa dilabeli halal oleh BPJPH, kalau produk tersebut telah lulus dari rekomendasi MUI. Yaelah, sama aja dong ya?
Aturan sertifikasi halal ini sebenarnya berlaku juga untuk semua produk makanan dan minuman di Indonesia yang dijual-belikan. Dari 17 Oktober 2019 sampai 2024 nanti, seluruh produk harus mendapatkan melewati proses sertifikat halal di BPJPH lebih dahulu sebelum dipasarkan di Indonesia.
“Jadi selama lima tahun, 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024, tenggang waktu lima tahun untuk melakukan proses sertifikasi,” kata Lukman Hakim, Menteri Agama pada waktu itu.
Bahkan ketentuan ini juga tidak hanya berlaku untuk produk makanan besar, melainkan juga makanan atau minuman yang diproduksi oleh UKM-UKM kecil.
Lebih daripada itu, proses sertifikasi halal ini tidak secepat dan semudah yang dibayangkan. Ketika segala macam prosedur sudah dilakukan sekalipun, (kalau merujuk dari aturan) perlu waktu sampai 64 hari kerja untuk mendapatkan sertifikasi ini.
Itu pun bisa lebih lama proses nunggunya. Bahkan sampai pada batas waktu yang tidak ditentukan. Tergantung sama BPJPH bisa menyelesaikannya sertifikasi ini atau tidak. Ebuset, berarti ada kemungkinan pengajuan ini bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan sampai tahun dong? Mukegile.
Melihat durasi waktu yang tak begitu jelas dan effort yang tidak sedikit dari pihak pemohon, maka sertifikasi halal ini punya nilai yang gede banget bagi pengusaha. Hal ini barangkali yang bikin manajemen D’Cost dan Yoshinoya jadi ikut-ikutan sensi terhadap produk-produk yang diragukan kehalalannya (baca: sertifikat halalnya).
Coba aja dibayangin, mereka sudah susah-susah mengajukan sertifikasi agar sesuai dengan peraturan pemerintah nantinya, begitu udah dapet malah ada makanan-makanan dari luar yang nggak jelas punya sertifikatnya atau tidak ikut nyelonong mau masuk aja ke resto mereka. Ya, bisa jadi hal ini kan nggak adil buat mereka.
Di sisi lain, sebenarnya sih ada cara yang lebih mashook bagi D’Cost dan Yoshinoya agar tidak dibully netizen karena larangan makan kue tart tanpa sertifikat halal itu. Cara yang jauh lebih simpel dan tidak bikin emosi banyak pihak.
Ketimbang bikin larangan memakan kue tart tanpa sertifikat halal, bikin aja sih peraturan kayak gini:
“Dilarang membawa makanan dan minuman dari luar resto.”
Beres.
Lebih aman, nggak sensitif SARA, dan jelas bisa diterima oleh semua kalangan. Bahkan nggak cuma kue tart yang nggak bisa masuk, tapi juga cilok, cireng, martabak, lemper, dan jajanan pasar lainnya.
Ya kecuali kalau memang D’Cost dan Yoshinoya sebenarnya cuma mau pamer kalau resto mereka udah berhasil dapat sertifikat halal. Maklum, bikinnya kan ﻤﺣﻞ.