Usia dan Agama Sophia Latjuba yang Bukan Urusan Kita

Agama artis udah kayak kacang goreng, jadi bahan jualan terus.

ilustrasi Usia dan Agama Sophia Latjuba yang Bukan Urusan Kita mojok.co

ilustrasi Usia dan Agama Sophia Latjuba yang Bukan Urusan Kita mojok.co

MOJOK.CO Alih-alih menelisik apakah wanita ini spesies vampir, netizen malah kepo betul dengan usia dan agama Sophia Latjuba yang seolah lebih misteri.

Bukan masyarakat Indonesia tulen kalau nggak kepo agama artis. Kolom pencarian internet selalu bikin kita malu karena setiap figur publik harus banget dicari tahu spiritualitasnya. Dalihnya selalu sama, “Namanya juga public figure, perlu lah ditilik standar moralnya.” Padahal sebagian hidup si orang terkenal masih milik mereka sendiri.

Saya senang betul ketika Sophia Latjuba muncul di kanal YouTube Vindes. Tapi, lagi-lagi pembicaraan tidak pernah beranjak dari usia dan agama Sophia Latjuba yang kayak lautan misteri itu. Ya sudah, nggak apa-apa, mungkin begitu pikir Vincent dan Desta. Sekali-kali ngasih makan rasa penasaran fans yang kurang bermutu.

Soal usia, Sophia Latjuba nggak perlu didebat. Dia sendiri pun saya rasa kelewat bingung untuk meresepkan cara terlihat layaknya mbak-mbak di usia tante-tante. Cara terlihat masih tiga puluhan padahal usianya lebih dari setengah abad. FYI, doi memang sudah 51 years my age kalau kata Vicky Prasetyo. Saya sangat memahaminya, Mbak Sop, saya juga kepala dua dikira masih bayi.

Ketimbang penasaran dengan usia dan agama Sophia Latjuba sebenarnya lebih masuk akal kalau kita semua curiga blio adalah spesies vampir yang tidak menua. Mungkin dia saudari jauhnya Edward Cullen dan Bella Swan yang berusaha membaur dengan masyarakat. Semoga selama ini yang diminum cuma darah kambing, ya Tuhan, jangan darah donor.

Selain blio, tentu ada spesies lain di dunia ini yang layak kita curigai karena tidak menua, misalnya Keanu Reeves, Will Smith, dan Jet Li. Banyak banget ya vampir yang jadi artis.

Soal agama Sophia Latjuba, seperti yang blio katakan di kanal Vindes, memang punya sejarah yang agak rumit. Blio lahir dari kedua orang tua yang berbeda keyakinan, ayahnya Muslim, ibunya Katolik. Sebagai bocah yang tumbuh besar di Jerman, blio terbiasa dengan lingkungan gereja dan mengira bahwa sudah sejak dulu dia Katolik.

Sayangnya rasa hormat Mbak Sop terhadap sang ayah juga memicunya untuk penasaran dengan agama Islam. Ya maklum, waktu itu blio masih sepuluh tahun dan disuruh pilih agama. Saya kalau jadi Mbak Sop juga bakal bingung.

Mendengar cerita Sophia Latjuba soal agama, mengingatkan saya pada seorang penulis kenamaan berdarah Iran-Amerika, Reza Aslan, yang banyak ngomongin soal teologi. Pada sebuah dialog terbatas yang kebetulan saya hadiri, dia dan sang istri menceritakan bagaimana agama itu kompleks, namun tak berarti harus dipertentangkan.

Agama Buddha, kata Reza Aslan, mengibaratkan spiritualitas itu seperti minum dari sebuah sumur. Reza Aslan menambahkan, ingin minum dari sumur yang mana, bebas, tapi kamu nggak bisa minum dari galian yang dangkal. Setidaknya harus menggali enam kaki dulu baru bisa menikmati airnya.

“Sumur” bagi seorang Reza Aslan adalah Islam, dan dia tidak bisa memaksakan semua orang untuk menggali di tempat yang sama dengannya. Itu masalah spiritual masing-masing dan begitulah dia dan istrinya menjalani kehidupan dalam pernikahan beda agama.

Biarkan orang menggali sumur yang dalam sampai meminumnya sendiri. Jika minum air di dalamnya tak membuatnya segar, seseorang mungkin akan menggali sumur lain alias terjadilah bursa transfer.

Kasus ini mirip dengan perjalanan agama Sophia Latjuba, yang ternyata juga dialami Vincent, Desta, dan beberapa orang yang saya kenal. Banyak orang yang terlahir dari keluarga beragam dan perlu menggali sumur mereka sendiri sejak kecil. Beruntung jika mereka langsung merasakan air segar setelah menggali cukup dalam. Tapi, butuh waktu yang begitu lama bagi mereka yang kembali menggali lubang baru, lubang lain. Pada akhirnya yang harus mereka punya adalah tekad untuk terus menggali.

Agama Sophia Latjuba sebetulnya bukan urusan kita. Punya hak apa kita untuk menanyai, “Mbak, udah berapa meter gali sumur Islam?” Sebab spiritual memang kadang bersifat privat. Kan nggak ada juga paksaan buat masuk Islam, begitu pun dengan paksaan masuk agama lain.

Kadang saya merasa cukup beruntung karena sejak kecil masuk TPA, belajar Iqro, dan sudah minum air segar dari sumurnya. Setidaknya saya nggak punya PR untuk menggali sumur-sumur lain, lha wong dahaga bisa dipenuhi sendiri. 

Beberapa kawan yang saya kenal pernah juga curcol soal kebimbangannya masuk Islam atau Buddha aja kayak ayahnya. Spiritualitas di dalam rumah adalah kebebasan memilih. Kelima anggota keluarga di rumahnya punya keyakinan berbeda-beda, udah kayak relief keberagaman Indonesia. Ada juga yang setiap Minggu ke gereja tapi masih salat Jum’at. Sungguh petualangan sekali hidupnya.

Untungnya, saya juga nggak pernah tuh merasa ideologi Reza Aslan, agama Sophia Latjuba, dan agama kawan-kawan saya adalah masalah serius yang perlu saya campuri. Mau menggali sumur yang sama ya syukur, nggak juga nggak apa-apa. Yang penting jangan lupa minum air dua liter sehari.

BACA JUGA Yoga dan Spiritualisme Karbitan dan artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version