Teror Patriarki di Film Autobiography, yang Personal pun Politis

Ini adalah kali pertama saya menonton film yang terasa sangat maskulin dan meneror dalam kesenyapan yang menyesakkan.

autobiography mojok.co

Ilustrasi FIlm Autobiography (Ega Fansuri/Mojok.co)

MOJOK.COAutobiography menghadirkan teror personal yang mencekam lewat sosok bapak dan anak laki-laki. Sayang, sosok perempuan tidak hadir dalam film yang mendapatkan Piala Citra 2022 untuk skenario terbaik ini.

Ketika saya masuk dengan tergesa-gesa, studio sudah gelap, film sudah diputar entah menit ke berapa, dan deretan kursi paling depan telah penuh. Di layar lebar, seorang lelaki paruh baya perlente keluar dari mobil hitam, disambut senyum sopan seorang pemuda berambut ikal.

“Putranya Amir?”

“Iya, Pak.”

Saya belum benar-benar mencerna siapakah putra Amir yang diperankan oleh Kevin Ardilova, lalu siapa gerangan seorang lelaki perlente yang diperankan oleh Arswendy Bening Swara, ketika saya diusir oleh seorang penonton yang baru datang karena saya salah kursi.

Saya berharap segera dapat menikmati jalannya film dengan tenang dan kalem. Sayang itu tak terjadi, meski saya sudah menemukan kursi sesuai nomor yang tertera di tiket saya. Sepanjang hampir dua jam perut saya terasa mulas, jarang-jarang saya dibuat setegang ini ketika menonton film.

Autobiography karya Makbul Mubarak bercerita tentang relasi bapak dan anak laki-laki, antara Purnawinata seorang pensiunan jenderal yang kembali ke kampung halamannya untuk mencalonkan diri sebagai bupati dengan Rakib, seorang pemuda yang menjaga rumah pusaka keluarga Purnawinata. Dahulu kala, bapak, kakek, hingga kakek buyut Rakib bekerja melayani keluarga Purnawinata. Kini, rumah tua itu kosong, Rakib menjaganya seorang diri, sementara bapaknya masuk penjara karena menyabotase proyek pembangunan PLTA yang hendak menggusur kebun kopinya, dan abangnya menjadi buruh migran di negara tetangga.

Purnawinata yang hendak bersafari politik, menunjuk Rakib sebagai sopir pribadinya. Dengan cepat, Rakib menjadi orang kepercayaannya, bahkan bak ajudan kesayangannya. Rasa sayang itu barangkali timbul karena pribadi Rakib yang manut dan santun, apalagi sang Jenderal tak memiliki anak kandung laki-laki, ketiga anaknya perempuan semua.

Dalam beragam momen, sang Jenderal tak segan bermain catur dengan Rakib, memotret Rakib yang mengenakan seragam sersan lungsuran darinya, makan mi instan bareng, bahkan karaokean bareng dengan gayeng.

Hari-hari Rakib menjadi penuh warna di tengah lingkungan desa yang masih kerap mati listrik. Untuk pertama kalinya, Rakib berburu burung liar dengan senapan. Purnawinata mengajarinya menembak. Untuk pertama kalinya pula, Rakib makan prasmanan dengan menu sajian yang lezat, berbeda dengan lauk di nasi kotak yang dibagikan pada para konstituen alias warga biasa di acara kampanye.

Sangat menarik mengamati perkembangan karakter Rakib yang sopan, pendiam, dan bahkan tampak penakut dengan gestur kepala yang lebih sering menunduk. Ia mencerminkan karakter jongos sejati seperti Balram di The White Tiger (2021) yang diam-diam menyimpan gejolak bahaya dalam batinnya. Kevin Ardilova bermain dengan ekspresi keluguan naif seorang pemuda 18 tahun yang polos nyaris tanpa tipuan.

Sedangkan Purnawinata, karakter purnawirawan sejati. Ia jago berorasi, menguarkan aura berwibawa sekaligus angker. Dia baru turun dari mobil saja, orang bisa langsung tertunduk. Gaya bicaranya bagai pejabat yang berkarat di lempeng kerak birokrasi. Nada suaranya berat, kaku, serius tapi sekaligus kebapakan. Dia veteran di antara puing-puing Orde Baru yang masih optimistis nan jemawa mengais suara rakyat. Arswendy di Ngeri-Ngeri Sedap (2022) berhasil menjelma sebagai sosok bapak kaku yang sangat egois tapi chill di warung kopi, sementara di Autobiography, sesantai apapun momennya, akting Arswendy tetap menguarkan nuansa kengerian tersendiri bagi penonton.

Masih sangat sedikit film Indonesia bertemakan politik. Jika pun ada, itu tak jauh dari dinamika politik di pusat, kota-kota besar dan biasa pula berbentuk biopik. Debut film panjang Makbul Mubarak ini menawarkan cita rasa yang berbeda. Dinamika politik lokal di Autobiography jauh dari kata gaduh, tidak melulu dari podium ke podium (bahkan tidak ada panggung orkes dangdut dan biduanitanya), dan tanpa sosok kandidat pesaing. Spanduk calon bupati di film ini hanya milik Purnawinata seorang, dengan desain komunikasi visual minim estetika: Coblos Nomor Satu!

Riak konflik bermula dari Purnawinata yang bad mood karena mendapati spanduk kampanyenya dirusak dan dijadikan sumpalan botol bir. Sebenarnya, ini adegan yang menggelikan, betapa seorang jenderal pensiunan bisa amat tersinggung dengan vandalisme payah tersebut. Tapi ketegangan terus memuncak ketika Purnawinata bersungguh-sungguh mencari siapa oknum perobekan spanduk foto dirinya. Sementara itu, Rakib yang mulai merasakan cipratan kekuasaan jadi sok belagu, berinisiatif mencari si biang kerok dengan motivasi Asal Bapak Senang (ABS).

Tiadanya tokoh perempuan

Larut dalam nuansa yang semakin suspense dan creepy, saya tersadar bahwa ada yang lebih bikin mulas ketimbang genangan darah dan suara senapan. Meski demikian, bagaimana Makbul membangun konsistensi kesunyian minim parodi dalam Autobiography patut mendapat pujian. 

Kesunyian dalam pusaran politik yang direfleksikan oleh hubungan bapak-anak, simbol negara-rakyat, terasa amat mencekam ketika kehadirannya bukan di balik meja kerja sang jenderal atau operasi rahasia atau kerusuhan demonstrasi. Kesunyian ini hadir melalui sinematografi di dalam rumah tua yang muram dan dingin, melalui pengambilan gambar yang kadang kabur, berasap, terpantul buram, penuh kelebatan, dan seolah mengalami pembiasan. 

Jika diamati secara lebih detail, perpindahan tone warna dari hijau ke merah juga menunjukkan perubahan pandangan dan emosi seorang Rakib. Kesunyian yang terekam dalam bentuk visual pun berkelindan dengan noise yang secara kultural menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari: azan, lagu tembang kenangan yang kerap menjadi selera bapak-bapak ketika berkaraoke, suara tokek, serta lelayu—berita kematian.

Namun, kejanggalan yang paling membuat saya gelisah dan merasa terganggu tatkala Makbul nyaris meniadakan tokoh perempuan. Tentu saja, perempuan masih dapat ditemukan di sepanjang film ini: kadang tampil berjejalan sebagai ibu-ibu konstituen yang menghadiri kampanye; kadang berlalu-lalang ketika takziah; siswi pulang sekolah; menjadi suster, sipir penjara, pacar di tongkrongan, dan bakul konter pulsa. Nyaris tidak ada perempuan yang ngomong agak panjang kecuali istri Pak Jenderal, itu pun sekadar melalui video call.

Hanya ada satu tokoh perempuan yang cukup mengesankan bagi saya, bahkan dia sama sekali tak tampak wujudnya. Namanya Kartini, ibu dari seorang pemuda bernama Agus. Dia berhalangan hadir di acara kampanye karena sedang periksa kehamilan. 

Dia seorang janda yang menikah lagi dengan tukang bengkel dan hanya mempunyai sepetak kebun kopi yang terancam digusur. Kartini menitipkan sepucuk surat pendek berisi aspirasinya, yang dibacakan Agus dengan terbata-bata di depan Purnawinata.

Makbul Mubarak jelas menyimpan kesengajaan dengan tidak menghidupkan tokoh perempuan yang benar-benar berperan di filmnya alih-alih hanya sebagai figuran. “Saya tidak mau memaksakan diri dengan meletakkan karakter-karakter perempuan sebagai alat atau sebagai tempelan saja. Meski, ibu saya pun protes. ‘Kok, nggak ada perempuannya?’ Saya janji padanya, di film saya berikutnya pasti ada perempuannya,” ungkap Makbul setelah pemutaran film Autobiography dalam rangka tur special screening di Yogyakarta (10/01).

Makbul juga menyatakan bahwa alur cerita film ini mengalir berdasarkan eksplorasi pada karakter utama, sehingga dalam konteks ini, Purnawinata dan Rakib memang tidak sedang membutuhkan figur perempuan tertentu untuk turut serta menginterupsi kekacauan relasi bapak-anak yang intens.

Sepanjang pengalaman saya, ini adalah kali pertama saya menonton film yang terasa sangat maskulin dan meneror dalam kesenyapan yang menyesakkan. Purnawinata adalah anak kandung militerisme yang mampu menghantui isi kepala penonton yang bahkan hidup di 2023, berjarak 25 tahun dari keruntuhan rezim Orde Baru. Absennya perempuan di sini justru menegaskan bahwa demit patriarki, sang Bapak, dalam peta politik terasa begitu dominan sekaligus tragis.

Politik dalam gambaran umum hingga saat ini masih bercorak maskulin dan patriarki. Dua hari sebelum saya menonton Autobiography, saya menyimak deklarasi delapan pemimpin parpol yang menolak sistem pemilu proporsional tertutup, yang semuanya lagi-lagi lakik.

Teror patriarki yang diciptakan Makbul barangkali terhubung dengan pernyataan tegasnya di penutup film: jangan remehkan korban laki-laki akibat teror ini dan jangan abaikan sisi rapuh dan gelap seorang bocah ingusan.

Ketika saya keluar dari studio dengan perasaan kacau, saya bertanya-tanya, kapan dan di manakah Rakib mendapat ilham untuk menggulingkan kursi sang Jenderal? Apakah ketika dia duduk melamun di depan jendela kamarnya dengan kipas angin menyala? Apakah pagi-pagi saat menyapu teras? Apakah saat menyajikan makan malam? Apakah saat menangis di dapur ketika tengah mencuci piring? Ataukah saat dia lupa mengunci pintu kamar mandi?

The personal is political, yang pribadi pun bersifat politis, slogan ini bisa jadi tidak hanya dimiliki oleh gelombang kedua feminis, tapi juga sekumpulan generasi muda yang mewarisi trauma antar generasi turun-temurun. Barangkali, Rakib belajar politik melalui kesunyian ruang domestik.

Penulis: Amanatia Junda
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Banalitas Kekerasan di Mata Rieke Diah Pitaloka: Bagaimana Negara Memfasilitasi Kejahatan?

Exit mobile version