MOJOK.CO – Khonsa Taqiya (22), merupakan salah satu calon legislatif (caleg) muda DPRD Klaten yang siap bertarung di Pemilu 2024 mendatang. Kepada Mojok, ia memberikan pandangannya terkait anak muda yang terjun ke dunia politik praktis.
Perempuan yang aktif mengajar di Pondok Pesantren Hidayah Klaten ini nyaleg melalui Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia akan berjuang di Dapil 1, yang melingkupi Klaten Tengah, Klaten Utara, Klaten Selatan, Kalikotes, Kebonarum, dan Ngawen.
Khonsa, yang tercatat masih aktif sebagai Mahasiswa Departemen Psikologi UNY, jadi salah satu dari 50 bacaleg yang ikut didaftarkan PKS ke KPU Klaten pekan lalu.
Saat itu, rombongan pengurus dan bacaleg PKS Klaten tersebut, terpantau mendatangi kantor KPU Klaten sekitar pukul 13.00 WIB. Mereka menggelar arak-arakan dari simpang lima Bramen sampai ke kantor KPU.
Mojok berkesempatan berbincang dengan Khonsa di sebuah warung kopi di wilayah Sleman, DIY, Selasa (16/5/2022). Sepanjang obrolan, eks Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNY ini memberikan pandangannya terkait politik, perempuan, dan anak muda.
Apa, sih, yang bikin kamu tertarik buat nyaleg di Pemilu 2024 nanti?
Sejak pertama masuk kuliah, sebenarnya saya sudah minat dengan politik. Buktinya, saya selalu aktif di perpolitikan kampus. Saya selalu merasa bahwa pemilu itu menyenangkan. Baru, pada awal tahun 2023 ini, kesempatan itu datang: awalnya saya bilang ke Bapak bahwa saya ingin jadi tim sukses dalam Pemilu. Kebetulan Bapak saya juga politisi, yang pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 juga menjadi caleg.
Namun, Bapak malah nawarin, “kenapa enggak kamu aja yang maju jadi caleg?”. Setelah itu, ya sudah, saya mengiyakan. Jadi, kalau dipikir-pikir segampang itu saja proses saya nyaleg. Mengingat sejak awal saya punya minat besar pada politik, kemudian ditawari kesempatan ikut kontestasi pemilu, akhirnya saya mau-mau aja.
Tapi di luar faktor tersebut, saya selalu merasa bahwa sebagai seorang muslim, saya wajib untuk menebar kebermanfaatan pada sesama. Dalam sebuah negara, Pemilu merupakan medium yang pas untuk menebarkan kebermanfaatan tersebut, bahkan lebih luas.
Terlebih, di Klaten, tempat tinggal saya, terdapat realitas yang cukup timpang antara pusat kota dan pinggiran kota. Mulai dari infrastruktur, pendidikan, akses internet, dan sebagainya, sangat timpang. Saya ingin mengubah kondisi tersebut, melebarkan kebermanfaatan di sana.
Kenapa memilih PKS?
Secara background, Bapak merupakan politisi dari PKS. Jadi, bisa dibilang itu jadi salah satu pendorongnya. Tapi di luar itu, pengalaman hidup pada akhirnya membawa saya memilih PKS.
Pertama, perlu diketahui bahwa saya sudah banyak bergaul dengan berbagai organisasi mahasiswa yang terafiliasi dengan partai tertentu, selain PKS. Sementara sejak kecil, saya hidup di lingkungan PKS. Karena yang menjadi pertimbangan saya adalah kenyamanan, saya pun akhirnya bisa membandingkan antara lingkungan di PKS dan parpol lain. Mulai dari hal-hal kecil saja, misal, obrolan ringan hingga bahasan soal merumuskan suatu hal. Kemudian, aku merasa bahwa kenyamananku berada di lingkungan PKS belum aku temukan di organisasi-organisasi tersebut.
Kedua, saya melihat PKS adalah partai yang konsisten bekerja untuk rakyat. Mungkin, secara kasat mata PKS kurang tenar jika dibandingkan partai lain. Namun, PKS konsisten dalam menyuarakan kritik yang dianggap bertentangan dengan kepentingan rakyat, terlebih posisi PKS sendiri yang memang partai oposisi. Jadi, konsistensi ini yang bikin saya akhirnya memilih PKS.
Kamu masih aktif mengajar di pondok pesantren, bagaimana cara membagi kesibukan?
Yang penting komunikasi dan kompromi saja, sih. Sejak awal saya sudah berkomunikasi dengan pimpinan yayasan dan pondok kalau saya ingin nyaleg. Dari mereka mendukung, dan memberikan kompromi. Semisal, kewajiban mengajar tidak boleh ditinggalkan. Pada akhirnya, kami sama-sama memahami saja.
Kamu merupakan caleg perempuan yang maju melalui PKS. Memangnya, apa sih sisi keperempuanan dalam PKS yang bikin kamu tertarik?
Pada Pemilu 2019 lalu, ada gerakan ‘Emak-Emak Sandi’ yang mendukung Sandiaga Uno. Nah, itu PKS yang membidani. Jadi, menurut pandangan saya, itu sangat menarik bahwa perempuan emak-emak ini ternyata punya soliditas dan militansi yang cukup tinggi. Dan itu semua tak lepas dari mobilisasi PKS.
Selain militan, di PKS sendiri banyak umi-uminya yang sangat cerdas, baik di keluarga maupun di lingkungan sosial. Umi-umi PKS ini kan rata-rata punya anak banyak, dan tentu yang bikin saya kagum adalah mereka bisa seimbang: pintar mendidik anak, mengurus keluarga, dan di sisi lain tetap berdakwah serta menjalankan kewajibannya di partai. Jadi, perempuan di PKS ini solid, militan, dan cerdas.
Soliditas, militansi, dan kecerdasan umi-umi PKS ini seolah membuka mata saya bahwa perempuan ternyata juga bisa andil dan aktif dalam politik.
Tapi kalau bicara data, representasi perempuan di politik Indonesia itu masih kecil. Menurut pandanganmu, faktor apa yang menyebabkannya?
Ini saya bicara tentang riset, salah satunya dirilis Yayasan Plan. Sebenarnya, ke-kepo-an perempuan soal politik itu cukup tinggi. Mereka cukup aktif berdiskusi soal politik. Namun, minat mereka buat terjun langsung ke arena politik itu kecil karena, menurut saya, mungkin ada perasaan minder, tidak pede untuk memimpin.
Ambil contoh, dari pengalaman saya di kampus; dalam keorganisasian saya sering melihat teman saya yang ketika ditanya “mau tidak untuk memimpin?” (di BEM), mereka tidak mau karena minder. Ya, minder ini bisa disebabkan karena banyak hal. Bisa jadi karena relasi kuasa, atau juga budaya yang maskulin di kampus.
Tapi, kamu bukan tipikal yang minder itu…
Saya ini tipikal yang kalau saya yakin untuk bisa maju, kenapa tidak? Saya bukan orang yang harus merasa takut untuk berkontestasi dengan laki-laki, karena jika saya merasa mampu kenapa harus takut?
Sebelum saya akhirnya berhasil jadi Ketua BEM Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, saya sudah melewati tujuh atau delapan kali kekalahan—bahkan sejak jadi mahasiswa baru. Mulai dari kalah sebagai calon koordinator Pelayanan Pengabidan Masyarakat (P2M), dua kali kalah pemilihan Koordinator PKKMB Fakultas, kalah dalam pemilihan Ketua KPU Fakultas, hingga akhirnya bisa menang di Pemilu BEM Fakultas.
Kalau saya minder, mungkin saya tidak akan maju lagi di pemilihan umum BEM Fakultas. Tapi saya merasa bahwa kekalahan-kekalahan tersebut menempa mental saya.
Kamu mengaku punya concern di pendidikan, bahkan saat ini kamu masih aktif mengajar. Bagaimana pandanganmu soal pentingnya pendidikan bagi perempuan?
Menurut saya sangat penting. Berdasarkan sejumlah riset, perempuan itu cenderung punya kecerdasan lebih baik dibanding laki-laki. Jadi, sungguh disayangkan kalau perempuan tidak mengasahnya melalui pendidikan. Jadi, menurut saya, ini merupakan pentingnya pendidikan bagi perempuan yang pertama, bahwa jika perempuan itu cerdas maka akan bermanfaat bagi dirinya sendiri.
Kedua, berhubungan dengan parenting. Jika perempuan cerdas, ia bisa mendidik anaknya secara baik sebagai seorang ibu. Mulai dari pengetahuan dasar soal pola asuh yang benar, hingga mengajari anaknya ilmu, pengetahuan, ataupun keterampilan.
Ketiga, berhubungan dengan relasi kita dengan masyarakat. Saya selalu punya keyakinan, perempuan bisa punya andil besar dalam masyarakat. Kalau perempuan cerdas, ini menjadi privilese di masyarakat karena pada akhirnya kita akan lebih di dengar dan dipercaya. Dari situ, kita bisa menebarkan kebermanfaatan.
Statement kamu seolah mendobrak pandangan awam bahwa, “buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh, hanya jadi ibu rumah tangga”…
Nah, justru karena jadi ibu rumah tangga, di situ pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ibaratnya, keluarga itu kantor. Seorang ibu adalah manager-nya. Jadi, kalau perempuan itu cerdas, misalnya, ia bakal bisa memanajemen keuangan secara baik.
Atau, hal-hal basic lain dalam parenting, misalnya cara mengatasi anak yang tantrum. Jika seorang perempuan berpendidikan, pasti dia bisa memanajemen atau mengatasi anak yang tantrum secara lebih baik. Jadi, saya sangat tidak sepakat dengan pernyataan tadi. Malah harusnya dibalik, “karena bakal jadi ibu rumah tangga, perempuan harus berpendidikan tinggi”.
Kamu merupakan salah satu caleg muda. Memangnya menurut kamu, isu anak muda sih yang paling penting hari ini?
Menurut saya, ada tiga hal yang saat ini sangat penting, tapi belum banyak anak muda bahas. Pertama, soal leadership atau kepemimpinan. Saya selalu punya keyakinan bahwa semangat anak muda inilah yang harusnya jadi tonggak kepemimpinan. Tapi saat ini masih ada krisis kepemimpinan karena anak mudanya jarang yang mau memimpin, dan akhirnya yang meneruskan yang tua-tua lagi.
Kedua, inovasi. Bagiku, tak bisa kita pungkiri kalau Indonesia sekarang begini-begini saja karena anak mudanya masih minim inovasi. Ketiga, kejujuran. Di kalangan anak muda, ini masih minim. Padahal, menurutku kejujuran adalah hal paling ideal yang harus dimiliki anak muda.
Di Klaten, tempatmu nyaleg, apakah ketiga isu tersebut juga kamu sorot?
Tentu. Tapi tak hanya Klaten, ini hampir terjadi di mana-mana.
Lantas, bagaimana kamu bakal mengatasinya, khususnya di Klaten?
Klaten itu termasuk kota yang kurang berkembang, padahal ada di antara dua kota besar (Solo dan Jogja). Menurutku, salah satu penyebabnya karena anak mudanya lebih memilih untuk keluar. Misalnya mencari kerja ke Solo, atau kalau mau kuliah pergi ke Jogja. Ini yang jadi tantangannya, bagaimana saya berusaha membawa anak-anak muda tersebut balik ke Klaten, berkontribusi untuk kota kelahiran, dan menjadikan Klaten lebih baik lagi.
Soal Golput, nih, menurut data banyak terjadi di kalangan anak muda. Bagaimana kamu memandangnya?
Saya menghargai keputusan anak muda yang golput, tapi sekaligus menyayangkannya. Menurut saya, banyak anak muda golput karena mungkin merasa terlampau kecewa. Pertama, kecewa karena pilihannya tak sesuai ekspektasi. Kedua, bisa juga kecewa karena tak ada harapan lagi. Misalnya, merasa, “yah, yang kepilih itu lagi, itu lagi”.
Tapi, di sini poin pentingnya. Jika menginginkan perubahan, mereka ini harusnya yang lebih punya power. Kecewa boleh, tapi siapa lagi yang bisa mengubah keadaan kalau bukan dia sendiri. Tapi sekali lagi, saya menghargai orang yang golput meski menyayangkan keputusannya.
Mungkinkah itu karena anggapan “politik itu kotor”?
Analoginya begini: katakanlah politik itu ibarat sepatu, dan negara itu rumah. Jika kamu melihat sepatu kotor, kamu tidak bisa membiarkannya tetap kotor dan mengotori rumahmu. Yang harus kamu lakukan tentu adalah membersihkannya agar bisa dipakai lagi, dan rumahmu tak akan kotor lagi, bukan?
Jadi, kamu tipikal yang merasa bisa “mengubah dari dalam”?
Iya. Sangat tentu.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi