Baliho Kampanye itu Metode Usang yang Cuma Jadi Sampah Visual, Kenapa Masih Dipakai?

baliho politisi sampah visual

Ilustrasi baliho politisi di musim kampanye yang menjamur di mana-mana (Mojok.co).

MOJOK.CO – Jika iklan sirup di TV menandakan semakin dekatnya Bulan Ramadan, maka menjamurnya baliho politisi di bahu jalan menyiratkan musim pemilu akan segera tiba.

Ya, pada momen tahun politik, baliho para caleg maupun capres dan cawapres jadi pemandangan lumrah. Baik itu di billboard, pepohonan pinggir jalan, atau di sudut ruang-ruang publik seperti taman kota.

Sebagai informasi, segala hal yang berhubungan dengan pemasangan baliho di ruang publik sebenarnya telah ada aturannya di masing-masing daerah. Di DKI Jakarta, misalnya, pemasangan baliho tercantum dalam Perda Nomor 9 Tahun 2014 tentang Reklame.

Area-area mana saja yang boleh dan tidak boleh ada baliho sudah tertulis. Umumnya, tempat-tempat seperti kantor pemerintahan, sekolah/kampus, atau rumah sakit tidak boleh ada alat peraga tersebut.

Sementara dalam pemilu, aturan terkait pemasangan baliho sudah masuk dalam Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye. Di dalamnya ada regulasi yang mengatur dari mulai jenis dan ukuran baliho, hingga area dan waktu pemasangan—idealnya hanya boleh terpasang saat masa kampanye saja.

Namun, faktanya banyak wilayah “terlarang” justru terpasang baliho kampanye. Bahkan, sebelum pemilu tiba sekalipun, banyak politisi yang sudah “pamer muka”.

Ini terlihat dari banyaknya baliho “Kepak Sayap” Puan Maharani, Airlangga Hartarto, hingga Cak Imin yang menghiasi tiap jengkal bahu jalan. Fenomena ini sekaligus menimbulkan perdebatan. Karena para politisi ini mengelak curi start kampanye. Mereka berdalih baliho-baliho ini sebagai “bentuk sosialisasi”.

Sampah visual sekaligus sampah asli

Sudah jadi rahasia umum jika baliho masuk kategori sebagai sampah visual atau visual pollution. Definisi ini merujuk pada segala sesuatu yang mengganggu pemandangan sebuah kawasan.

Pun, sampah visual sendiri punya banyak dampak negatif. Salah satu yang paling terlihat adalah mengganggu estetika lingkungan.

Bahkan, secara keamanan, baliho juga dapat membahayakan pengguna jalan. Mongabay melaporkan bahwa baliho-baliho dapat mengganggu konsentrasi berkendara, sehingga bikin rawan kecelakaan lalu lintas. Ancaman keselamatan lain juga bisa muncul dari insiden robohnya baliho baik karena faktor hujan badai atau pemasangan dan perawatan yang tidak sesuai prosedur. Peristiwa membahayakan tersebut kerap kali terjadi.

Selain menjadi sampah visual, baliho juga merupakan sampah dalam arti sebenarnya. Penelitian Forest Digest menyatakan bahwa baliho politik ternyata menghasilkan emisi karbon yang cukup besar.

Menurut penelitian tersebut, selembar baliho mengandung polyethylene, bahan kimia untuk bikin plastik. Satu kilogram polyethylene berasal dari pengolahan 2 kilogram minyak bumi.

Berdasarkan perhitungan Forest Digest, membakar atau mengolah 1 kilogram minyak menghasilkan 3 kilogram karbondioksida (CO2).

“Maka, tiap membuat satu kantong plastik akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 6 kilogram setara CO2. Sementara, berat rata-rata satu kantong plastik antara 8-60 gram,” tulis laporan tersebut, Minggu (26/2/2023).

Alhasil, berdasarkan perhitungan tersebut, dapat disimulasikan: jika 1 x 1 meter baliho beratnya 300 gram, maka emisi karbon yang dihasilnya kira-kira 1 kilogram setara CO2.

Sementara yang kita tahu, baliho kampanye rata-rata berukuran 3 x 6 meter. Maka, satu plastik baliho tersebut berasal dari 10,8 kilogram minyak bumi dan menghasilkan emisi 32,4 kilogram setara CO2.

Jumlah total emisi karbon yang seorang politisi hasilkan tinggal mengalikannya dengan jumlah baliho yang ia pasang di seluruh Indonesia. Jika seorang politisi rata-rata memasang baliho 1.000 per provinsi, ia akan menyebar dan memasang 34.000 baliho. Emisi karbonnya kira-kira sebanyak 1.101,6 ton setara CO2. Luar biasa bukan?

“Perkiraan emisi karbon ini baru dari prediksi jumlah emisi yang dikonversi dari minyak bumi menjadi plastik. Sementara dalam proses produksinya, baliho juga menghasilkan emisi lain seperti hidrofluorokarbon (HFCs) atau metana,” tulisnya.

HFCs adalah gas rumah kaca kedua paling kuat dalam mencederai atmosfer bumi, yakni 11.700 kali lebih kuat daripada karbondioksida.

Bikin masyarakat muak

Selain jadi sampah, kemunculan baliho-baliho politik ini cukup mengganggu masyarakat. Di Purwakarta, misalnya, kemunculan alat peraga kampanye (APK)—yang bahkan terpasang jauh sebelum pemilu—ini hanya mengotori ruang publik.

Koordinator Komunitas Peduli Purwakarta (KPP) Munawar Kholil meminta kepada para politisi maupun parpol yang memasang baliho di kotanya untuk lebih disiplin. Ia menilai, sejumlah baliho yang tersebar keberadaannya tidak sesuai tempat dan cenderung ilegal.

“Hal itu diperparah dengan para penebar sampah visual iklan politik yang tidak mau mengurus izin pemasangan dan membayar pajak reklame,” ujar Munawar pada harian Rakyat Merdeka, dikutip Selasa (28/2/2023).

“Mereka cenderung melakukan pelanggaran. Dengan seenak udelnya sendiri memasang iklan politik dan alat peraga kampanye dengan menjarah ruang publik maupun ruang terbuka hijau,” sambungnya.

Lebih lanjut, Pakar Komunikasi Universitas Indonesia Firman Kurniawan Sujono, mengatakan bahwa baliho-baliho politik sebenarnya hanya bikin masyarakat muak. Jika niat awal pasang baliho adalah untuk mencari simpati, maka menurutnya ini langkah yang keliru.

Masyarakat, kata Firman, cenderung melihat banyaknya baliho ini seperti “perang antarpolitisi” alih-alih adu visi-misi. Dengan demikian, masyarakat cuma bakal merasa muak, terlebih jika gambar politisi itu tersebar begitu banyak dan tidak rapi.

“Pesan memang memaksa masuk, tapi persepsi yang terbentuk bisa negatif,” ucapnya kepada Detik.

“Masyarakat muak, dan secara sadar memilih bersikap sebaliknya dari tujuan pesan,” sambungnya.

Sudah usang, mengapa masih dipakai?

Selain bikin masyarakat muak, Firman juga menganggap bahwa di era digital ini, kampanye politik via baliho sudah tidak relevan. Harusnya, ia sudah ditinggalkan dan para politisi maupun parpol harus mulai menggenjot kampanye digital, semisal melalui media sosial.

Menurut Firman, sekarang bukan zamannya lagi “mejeng” wajah politisi di baliho. Selain gagasan, idealnya para politisi mulai adu kreativitas dalam membuat konten kampanye di media sosial. Apalagi kini platform yang tersedia sangat beragam.

“Lebih banyak orang ingin menyimak ketika [politisi] tampil di media sosial, karena menceritakan sisi keunikannya,” ujar Firman.

Bahkan, menurut survei Litbang Kompas, baliho sudah tidak relevan lagi digunakan sebagai media kampanye. Ia tidak memiliki dampak yang signifikan dalam meningkatkan elektabilitas seorang politisi. Bahkan, tidak sedikit responden yang menganggapnya sebagai pencitraan saja.

Hal serupa ditegaskan oleh Chief of Consultant Cyrus Network, Hafizhul Mizan Piliang. Ia  menyimpulkan, bahwa seandainya seorang politisi yang pasang baliho ternyata naik elektabilitasnya, ini bukan karena baliho itu sendiri melainkan ada variabel lain.

“Baliho itu ‘kan cuma strategi untuk menghasilkan efek ‘Oh’. Jika mau itu efektif ya harus dibarengi dengan usaha lain berupa membuat statement lanjutan, kunjungan publik, sumbangan ini-itu, atau viral karena sesuatu hal,” paparnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Setahun Menuju Pemilu 2024: Benarkah Menjadi Pesta Demokrasi Termahal di Dunia?

Exit mobile version