Alasanku Mengubur Mimpi Jadi Politisi Perempuan

Realita politik praktis yang dialami bapakku, ditambah harus berurusan dengan birokrasi partai yang melelahkan, membuatku memikirkan ulang cara lain untuk memengaruhi kebijakan.

politisi perempuan mojok.co

Ilustrasi mengubur cita-cita menjadi politisi perempuan (Mojok.co)

MOJOK – Sejak dulu aku sudah bercita-cita jadi seorang politisi: Anggota DPR. Tapi setelah belajar politik di bangku kuliah dan merefleksikan pengalaman bapak di kontestasi pilkades, sepertinya berat. 

Ajang pemilihan ratu kecantikan yang acap kali disebut beauty pageant terus-menerus mengampanyekan bahwa kandidat yang sukses harus memiliki 3B: brain, behaviour, beauty. Sementara, kalau mau sukses di dunia perpolitikan, apalagi jadi politisi perempuan, harus punya 3B pula: BIG money, BIG social network dan BIG luck!

Pemilu Legislatif 2019 menghasilkan sejumlah dewan perempuan di Senayan. Kita bisa sebut Roro Dyah Esti, Putri Komarudin, Hillary Brigitta Lasut, Farah Puteri Nahlia, dan Rizki Aulia Rahman Natakusumah. Lima perempuan ini berusia di bawah 30 tahun. Hillary Brigitta Lasut misalnya ia terpilih menjadi Anggota DPR pada umur 23 di dapil Sulawesi Utara melalui Partai Nasdem. Ayah dan ibu dari Hillary adalah bekas bupati di Kepulauan Talaud dan Minahasa Tenggara. Sebaya dengan Hillary, Farah merupakan putri dari Kapolda Metro Jaya Fadil Imran dengan latar belakang pendidikan jebolan University of London. Kurang? Roro Dyah Esti, selisih satu tahun usianya denganku, dia punya jejak pendidikan yang juga tak kalah impressive.

Kalau boleh disandingkan, sebetulnya aku dan Mbak Roro mulai kerja bareng di Senayan di tahun yang sama, 2019. Tapi bedanya, dia masuk sebagai legislator, aku masuk sebagai tenaga pendukung parlemen. Saat tahu banyak anggota DPR periode 2019-2024 terpaut umur yang tidak jauh denganku, hati rasanya berdesir.

Rasanya, kok aku nggak mampu seperti mereka, kok mereka sudah sangat keren sekali. Pasti ide-ide mereka sangat brilian, pasti mereka sudah begini sudah begitu.

Ya maklum saja, aku ini meski begini-begini pernah punya cita-cita menjadi legislator yang progresif. Apalagi aku sarjana Ilmu Politik dari kampus yang tidak jelek-jelek amat. Tapi, ya memang bukan horang kaya dan punya jejaring kuat.

Sebuah cita-cita

Kalau dipikir-pikir kembali, aku akrab dengan dunia politik sejak kecil. Mulai dari TV yang selalu disetel untuk nonton berita politik sampai aku menjadi saksi politik praktis yang digeluti oleh bapakku.

Bapak adalah mantan kepala desa. Saat terpilih, dia masih berusia 27 tahun. Gara-gara terpilih di usia yang sangat muda, Bapak tertantang untuk mencoba lagi dan lagi. Kalau tidak salah ingat, di sepanjang hidupku, sudah 4 kali aku menyaksikan drama pilkades dan 1 pileg DPRD kabupaten-kota. Bertarung di medan laga politik ibarat candu bagi bapakku.

Tentu saja, laga politik selalu diwarnai drama. Mulai dari gambar kelapa, pisang, ketela mana yang berpotensi menang, ziarah ke makam, terawangan orang pinter, air minum yang sudah dijampi-jampi, wirid yang harus dibaca dalam posisi arah mata angin tertentu, hingga kemarahan botoh (pendukung).

Sejujurnya aku trauma dengan semua drama dan dinamika politik yang jadi bagian dari hidup bapakku. Apakah ada program konseling khusus bagi anggota keluarga dengan background sepertiku? Hahaha~

Lucunya, saat masih menjadi remaja polos dan naif, aku sering terang-terangan mengungkapkan ketertarikanku untuk masuk ke dunia politik. Dan itu ternyata aneh banget bagi banyak orang.

“Kenapa kamu mau jadi anggota MPK?” tanya kakak tingkat ketika aku ikut seleksi anggota Majelis Permusyarawatan Kelas di sekolah.

“Ya, karena aku mau jadi anggota DPR!”

Sontak seluruh ruangan ngakak berjemaah. Bukannya malu, aku justru semakin merasa tertantang.

Kuliah politik

Enggak berhenti sampai di situ. Ketika diminta guru memilih jurusan di perguruan tinggi, dengan mantap kutulis: Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan.

Pemikiranku waktu itu: ya, aku mau bantu lebih banyak orang dengan kebijakan publik yang kubikin, jalannya ya jadi politisi perempuan di DPR, oleh karena itu aku berkuliah di jurusan politik.

Tekadku semakin kuat di akhir masa SMA, karena lagi-lagi bapakku kembali mencalonkan diri dan hasilnya kalah. Waktu itu aku merasa terpanggil. Aku harus bisa menjadi penerus bapak dan persiapan itu dimulai dengan berkuliah di Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan.

Namun, tak disangka-sangka, belajar politik di kampus bikin aku ter-demotivasi menjadi seorang politisi perempuan. Dari sejumlah bahan bacaan, aku jadi tersadar bahwa laga politik memang sungguh-sungguh brutal. Beberapa buku yang membuka mata batinku yaitu: Politik Lokal di Indonesia karangan Gerry van Klinken dan Henk Schulte Nordholt serta Electoral Dynamics in Indonesia; Money Politics, Patronage and Clientelism at the Grassroots karangan Edward Aspinall dan Mada Sukmajati. Buku-buku itu setidaknya mampu menggambarkan apa yang terjadi di banyak lapangan politik praktis yang mahal dan rumit.

Belajar dari bapak

Lantas, aku jadi paham mengapa bapakku kalah terus-terusan saat maju entah di laga pilkades, ataupun nyaleg DPRD di tingkat kabupaten dan kota. Pertama, Bapak bukan dari keluarga terpandang di kampung halaman kami. Kalau kalian punya trah yang turun-temurun mumpuni dan punya saudara yang setidaknya di militer atau kepolisian, peluang kalian untuk sukses di babak pilkades sepertinya akan bagus.

Kedua, bapakku bukan dari keluarga kaya bergelimang harta. Kekayaan menjadi basis penting tidak hanya sebagai ongkos politik tetapi modal status sosial di masyarakat. Tanpa itu, kamu tidak akan bisa menyebar uang serangan fajar ke tetangga-tetangga. Boro-boro serangan fajar, kamu juga nggak akan mampu menyediakan rokok tiap malam karena rumahmu juga akan jadi tempat tongkrongan selama pilkades.

Ketiga, satu-satunya yang bapak andalkan adalah relasi yang baik dengan banyak orang. Ia sering dimintai tolong kalau ada yang tersangkut perkara hukum, ya seperti advokat begitulah. Tapi yang bapakku abai, uang dan jaringan persaudaraan yang besar adalah kunci kemenangan.

Itu baru politik setaraf pemilihan kepala desa, apalagi setaraf pileg nasional? Remuukkkk, Luuur….

Apakah bisa orang sepertiku: perempuan muda, kritis, berbahaya, progresif, maju menjadi politisi muda? Aku memang tidak kaya, tidak juga berasal dari keluarga elite, tapi aku juga sempat tergabung dalam gerakan mahasiswa untuk mengasah ketajamanku berpolitik.

Realita politik praktis yang dialami bapakku, ditambah harus berurusan dengan birokrasi partai yang *kalian tentu tahu* hhhhh~ melelahkan, membuatku memikirkan ulang cara lain untuk memengaruhi kebijakan.

Tempo hari, dosenku pernah berkata, “Kalian ini—mahasiswa—menurutku jauh lebih layak menjadi anggota dewan dibandingkan dengan orang-orang itu!”

Tapi kaya’nya kok pernyataan itu kurang lengkap, “….asal kamu dan keluargamu kaya, punya jaringan yang bagus, dan wani piro.”

Penulis: Anisa Nur Nia Rahmah
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Tergolong Rendah, Partisipasi Politik Perempuan Indonesia Peringkat 7 di Asia Tenggara

Exit mobile version