MOJOK.CO – Mojok berbincang dengan dua pegiat Book Club Sunmor Jogja tentang buku perempuan apa yang menarik untuk dibaca. Berikut ini rekomendasi mereka.
Setahun kebelakang, dunia perliterasian di Jogja mulai ramai oleh kemunculan Book Club Sunmor. Eksistensi mereka bisa dilacak, salah satunya melalui foto-foto pertemuan yang mereka bagikan di Twitter @literarybase atau Litbase.
Mojok berkesempatan berbincang dengan Anetta Mutiara (22) dan Yunita Azizah (24), dua perempuan pegiat perkumpulan ini.
Menurut Anetta, perkumpulan ini lahir berkat inisiasi pecinta buku di Litbase, yang ternyata banyak berasal dari Jogja. Kurang jelas memang siapa yang pertama kali menelurkan wacana ini karena seiring waktu berlalu, para pecinta buku di Jogja terkoneksi dan membuat grup WA untuk mengatur pertemuan.
“Karena saat itu aku masih kuliah, dan membutuhkan circle yang seperti ini, makanya aku gabung,” ujarnya.
Sementara Yunita menjelaskan, nama “Sunmor” diambil dari kata Sunday Morning alias minggu pagi. Hal ini mengingat pertemuan book club dilaksanakan setiap hari minggu pagi dengan tempat berpindah-pindah sesuai kesepakatan.
Biasanya, tiap pukul 9 pagi pegiat akan berkumpul dan melakukan silent-reading selama sejam. Agenda berikutnya, mereka akan melingkar dan berdiskusi terkait buku yang mereka baca selama silent-reading tadi.
Mengingat Anetta dan Yunita punya concern di isu perempuan, Mojok pun menanyakan terkait buku-buku bertema perempuan yang paling menarik untuk dibaca. Anetta sendiri tertarik pada pembahasan perempuan dalam kacamata kajian Islam. Sementara Yunita, punya minat pada isu-isu kesetaraan yang dibidani paham feminisme.
Berikut ini 10 buku bertema perempuan yang Book Club Sunmor Jogja rekomendasikan. Mojok menuliskan urutan buku berdasarkan tahun terbit.
#1 Ibuisme Negara (2011)
Buku yang ditulis oleh salah satu aktivis perempuan cum penulis terkemuka, Julia Suryakusuma, ini direkomendasikan oleh Yunita
Menurut dia, kendati buku ini disusun sejak 34 tahun yang lalu, ia masih relate dengan kondisi perempuan saat ini. Seperti yang sudah diketahui, melalui buku ini Suryakusuma mengaitkan konsep “Ibuisme” yang digunakan rezim Orde Baru untuk membungkam kerja-kerja politik perempuan.
Ibuisme sendiri merupakan paham yang menempatkan kaum perempuan sebagai pekerja domestik, tanpa dibayar, demi mendukung kapitalisme negara. Paham ini merupakan kontruksi sosial yang feodalistik dan paternalistik yang diciptakan selama pemerintahan Soeharto.
“Perkenalanku melalui buku ini memberiku pemahaman, bahwa Orba menuntut perempuan untuk bekerja domestik, tidak diperkenankan kerja-kerja politik, dan membawa ibuisme negara ke dalam nilai-nilai feodal, kapital dan konsevatif,” turur Yunita dalam testimoninya.
Rating 8/10
#2 Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2013)
Masih direkomendasikan Yunita, Putih merupakan buku karya Ayu Saraswati yang menceritakan bagaimana kulit putih bagi seorang perempuan dipandang sebagai norma kecantikan.
“Buku bacaan wajib bagi teman-teman perempuan!!,” kata Yunita tegas.
Dalam Putih, Ayu Saraswati melacak persebaran citra-citra kecantikan lintas lokasi geografis dan babak kesejarahan yang berbeda-beda. Ia bahkan secara runtut juga menjelaskan bagaimana sirkulasi transnasional tersebut turut melestarikan supremasi putih di aras global dan membentuk konstruksi ras, gender, dan warna kulit di Indonesia.
“Setidaknya di dalamnya kita bisa melihat sejarah standar kulit putih di Indonesia dibentuk dalam lima era, yaitu era prakolonial, standar putih era kolonial, era Jepang, Indonesia, dan terakhir putih kosmopolitan,” Yunita menyambung.
“Buku ini membuatku tidak perlu terobsesi lagi dengan warna putih yang dikatakan sebagai standar kecantikan di Indonesia, terlebih melihat banyak produk kecantikan yang menjual ‘atas nama putih’,” pungkasnya.
Rating: 10/10
#3 Perjalanan, Cinta, dan Makna Perempuan (2016)
Karya ini merupakan kumpulan tulisan dari seorang perempuan muda bernama Nazura Gulfira tentang kehidupan pribadinya.
Di dalamnya, Nazura menyajikan 14 tulisan menarik tentang kehidupan kuliahnya, beasiswa, kisahnya tentang hijab, hingga pandangannya terkait perempuan dan jodoh.
Buku yang direkomendasikan Anetta ini menarik karena selain menawarkan inspiring story, di dalamnya juga melampirkan foto-foto menawan dari kisahnya itu.
“Buku ini dikembangkan dari blog yang dia tulis, jadi ada banyak foto-foto dan visualisasi yang eye-pleasing dan estetik banget dari segi isi dan visual untuk buku terbitan 2016,” ujar Anetta.
Rating: 9/10
#4 Sihir Perempuan: Kumpulan Cerpen (2017)
Buku berikut ini merupakan karya fiksi. Buku yang direkomendasikan Yunita ini ditulis oleh Intan Paramaditha dalam bentuk kumpulan cerpen (kumcer).
Sebagai seorang penulis dan aktivis perempuan, Intan berhasil mengolah genre horor, mitos, dan cerita-cerita lawas dalam perspektif feminis.
“Sebagai pecinta fiksi horor, aku sangat menyukai penggambaran mengerikan dari cerpen-cerpen dalam novel ini yang dikemas dalam bentuk satir, menyentil,” kata Yunita.
Sihir Perempuan (2017) sendiri meraih penghargaan 5 besar Khatulistiwa Literary Award (Kusala Sastra Khatulistiwa) pada tahun 2005. 12 tahun berselang, ia diterbitkan ulang dalam kemasan baru.
“Bagiku, cerpen ini memuat banyak mitos-mitos perempuan, horor, feminisme, serta adegan gore, terutama mengenai seks sebab pada masyarakat kita yang tabu untuk dibicarakan tapi diam-diam ikut dinikmati,” paparnya.
Rating: 8/10
#5 Wanita Berkarir Surga (2018)
Buku Wanita Berkarir Surga ditulis oleh Ustaz Felix Siauw, bersama dengan tim dakwah @hijabalila. Ketika awal peluncurannya, tim penulis menyebut bahwa buku ini dipersembahkan untuk seluruh kaum perempuan agar mengenali potensi dan fitrah mereka sebagai makhluk yang mulia dan berharga.
Menurut Anetta, sama seperti karya Felix Siauw lainnya, buku ini menarik dan nyaman dibaca karena visualnya yang full color dan bahasanya ringan—meski topik yang dibahas terkesan berat. Seperti bagaimana Islam memandang perempuan, feminisme, dan kesetaraan.
“Meskipun genrenya nonfiksi Islam, menurutku engga ada unsur doktrin di dalamnya,” ujarnya.
“Sebab semua yang dipaparkan pasti ada dalil yang sahih dari Al-Quran dan hadits sebagai pedoman tertinggi umat Muslim,” sambung Anetta.
Buku ini terbagi menjadi lima bab dengan tema yang berbeda tapi masih berkaitan. Bab I terkait sejarah perempuan di peradaban Yunani, Romawi, India, Cina, Arab, Eropa dan pandangan Nasrani dan Yahudi; Bab II tentang latar belakang munculnya feminisme; Bab III tentang dampak feminisme; Bab IV terkait fitrah perempuan dan laki-laki, dan; Bab V soal pandangan Islam terhadap kaum perempuan.
“Aku cukup relate dengan buku ini.”
Rating: 9,5/10.
#6 Perempuan yang Memesan Takdir by W. Sanavero (2018)
Perempuan yang Memesan Takdir karya W. Savanero ini merupakan salah satu kumpulan prosa yang diterbitkan Buku Mojok.
Meskipun tipis, menurut Anetta, kumpulan prosa di dalam buku ini bisa bikin perasaan campur aduk. Ia bisa bikin heartwarming, tapi sekaligus bikin patah hati.
Album prosa ini menyingkap sisi lain perempuan yang tengah menjalani takdirnya masing-masing. Para tokoh di dalamnya, mempunyai sudut pandang dalam memaknai cinta, kenangan, keluarga, budaya, pernikahan, bahkan hubungan manusia dengan Tuhan.
Ada 16 kisah di dalamnya, yang mana semuanya tak ada yang gagal bikin perasaan Anetta campur aduk.
“Seperti yang aku bilang sebelumnya, feeling perempuan ‘tuh kadang bisa dalam dan seluas itu, tapi bisa juga jadi dangkal, sebagaimana dia ngadepin takdirnya itu,” ujarnya.
Rating 8/10.
#7 Muslimah yang Diperdebatkan by Kalis Mardiasih (2019)
Masih menjadi terbitan Buku Mojok, Muslimah yang Diperdebatkan merupakan karya Kalis Mardiasih yang mulai beredar sejak 2019 lalu.
Sebagaimana judulnya, buku yang merupakan kumpulan opini ini muncul akibat isu dan narasi keislaman yang banyak membicarakan perempuan. Sayangnya, perempuan cenderung ditemptakan dalam posisi salah dan amat menakutkan.
“Cukup bisa jadi sindiran untuk berbagai pihak yang berusaha menjatuhkan imej muslimah yang seharusnya punya banyak potensi,” kata Anetta.
Kalis sendiri mengemas Muslimah yang Diperdebatkan dalam gaya tulisan yang sinis, tegas, tajam, tapi diksinya mudah dipahami pembaca.
“Buku ini meninggalkan motivasi untuk belajar lagi setelah membacanya,” sambung Anetta.
Rating: 6/10.
#8 Ada Serigala Betina dalam Diri Tiap Perempuan (2020)
Masih terbitan Buku Mojok, kalau kata Yunita, Ada Serigala Betina dalam Diri Tiap Perempuan merupakan salah satu buku tentang perempuan paling menarik yang pernah ia baca.
Alasannya sederhana, karena buku ini membahas perempuan melalui sudut pandang psikologi feminis, yang tidak banyak dibicarakan dalam kelas-kelas di perkuliahan.
“Salah satunya membahas teori oedipus complex dan penys envy Sigmund Freud [dua paham yang mereduksi kebertubuhan perempuan], yang ternyata terbukti tidak valid dan memojokkan status perempuan,” ia mencontohkan.
Buku karya Ester Lianawati menggunakan frasa “serigala betina” karena menurut sang penulis, ada kesamaan antara perempuan dengan serigala betina. Keduanya sama-sama memiliki indra yang tajam, intuisi kuat, kepedulian terhadap sesama, keberanian, kemampuan beradaptasi dalam berbagai situasi dan kondisi, serta kekuatan, dan daya tahan.
Sayangnya, sebagaimana perempuan hari ini, naluri dari serigala itu telah direduksi oleh nilai dan sistem yang ada di masyarakat. Perempuan dijinakkan, hidup dalam ketakutan untuk bertindak dan mengambil keputusan.
“Menurutku ini penting dibaca dan dipahami karena banyak perempuan yang menganggap benar anggapan stereotipe [negatif soal perempuan] yang kadang membuat mereka tidak percaya diri dan merendah atas kedudukan perempuan di lingkungan sekitarnya,” tukasnya.
Rating 10/10.
#9 Lebih Putih Dariku (2022)
Rekomendasi berikut ini merupakan karya fiksi. Namun, kata Yunita, ia seolah membaca buku sejarah—pengalaman serupa ketika membaca Bumi Manusia.
Lebih Putih Dariku sendiri merupakan novel berlatarkan sejarah masa kolonial Hindia-Belanda pada paruh akhir abad ke-19 yang ditulis Dido Michielsen. Mulanya, buku ini terbit dalam Bahasa Belanda berjudul asli Lichter dan ik pada 2019 lalu.
Novel ini bercerita tentang perempuan bernama Isah, anak luar nikah seorang bupati dengan pembatik yang tidak pernah diakui sebagai selir resmi. Akibatnya, Isah menempati posisi sosial yang serba salah: dia berbeda dari orang awam di luar lingkungan keraton, tetapi dia juga mendapati diri berada di lapisan bawah dari hierarki ketat dunia keraton.
“Buku ini menyadarkanku bahwa hidup menjadi perempuan di masa sekarang adalah sedikit anugerah yang perlu kusyukuri,” kata Yunita.
Dalam buku ini diceritakan bahwa akhirnya Isah berusaha merebut takdirnya sendiri dengan kabur dan menjadi Nyai seorang Perwira Belanda. Namun, realitas dunia kolonial ternyata juga tak seperti yang diangankan oleh impian naif masa mudanya.
“Kisah hidup Isah sangat penting dibaca sebab perjuangannya untuk mencari keadilan atas identitas perempuan dan pencarian anak kandungnya membuatku menyadari bahwa sudah berapa banyak perempuan di masa lalu yang harus berkorban demi kedudukan perempuan saat ini,” tegasnya.
Rating 9/10.
#10 Memaksa Ibu Jadi Hantu (2022)
Rekomendasi ini merupakan buku berupa hasil penelitian dari pasangan suami-istri Justito Adiprasetia dan Annisa Winda Larasati. Kendati merupakan hasil penelitian yang dibukukan, kata Yunita, ia cukup menikmati karena bahasanya yang tak terlalu kaku.
“Menarik karena ada penelitian yang disajikan dengan bahasa seenak ini,” kata Yunita.
Memaksa Ibu Jadi Hantu sendiri merupakan studi wacana maternal horor atas dua film Joko Anawar, Pengabdi Setan (2017) dan Perempuan Tanah Jahanam (2019). Buku ini mendedah bagaimana melalui dua filmnya, Joko Anwar menempatkan sosok ibu dan keibuan sebagai sumber teror bagi keluarga dan masyarakat karena ibu menyimpang dari pakem sosial.
Kata Yunita, ada dua hal menarik dalam buku ini. Pertama, ia mengenalkan term “maternal horror” dalam semesta film di Indonesia. Meski wacana ini sebenarnya sudah dijadikan formula di banyak film Indonesia (bahkan sejak 1980-an), tapi secara ilmiah ia tak banyak dibahas dan didiskusikan. Apalagi dibukukan.
Kedua, dalam persepektif keperempuanan, ia memberi gambaran bahwa dalam konstruksi masyarakat Indonesia, seorang ibu seolah hanya diberi dua pilihan. Memilih tunduk pada sistem yang menindas, atau melawan tapi punya konsekuensi menjadi hantu.
Rating; 8/10.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi