Dua Garis Biru: Menutup Mata Kepada Pendidikan Seks

dua garis biru dan pendidikan seks MOJOK.CO

MOJOK.COPendidikan seks bukan sesuatu yang tabu. Justru, usaha menekan rasa malu dan gelisah ini yang akan menyelamatkan keluargamu dari aib yang tak perlu. Dan, “Dua Garis Biru” ada di sana untuk membantumu.

Film “Dua Garis Biru” ditolak banyak orang. Film ini dianggap sebagai kampanye seks bebas. Film ini dianggap tabu, mirip seperti pendidikan seks yang tidak boleh disuarakan itu. Sebuah anggapan tolol dari sekumpulan manusia bebal.

Membaca judul saja lalu menghakimi sudah menjadi tren. Klib sebuah tautan berita, lalu membacanya sampai tuntas itu sudah menjadi pekerjaan yang begitu berat. Lebih berat ketimbang memikirkan UMR rendah atau harga tanah yang semakin tidak terjangkau oleh generasi milenial.

Padahal, berapa kilobyte sih berat sebuah berita? Pastinya jauh lebih ringan ketimbang kamu nonton Youtube atau maraton drama Korea berjilid-jilid itu. Jadi, apakah kalian ini bodoh, atau cuma sekadar miskin saja, sampai-sampai membaca sebuah berita online saja berat. Ahh, mungkin ada kaitannya dengan lingkar otak dan bercak hitam di hatimu.

“Dua Garis Biru” memang sebuah film, tapi ia diperlakukan sama seperti berita online dengan judul yang menggelitik. Lihat judul saja, film ini langsung dianggap sebagai bentuk kampanye seks bebas. Masih SMA sudah kelon, masih SMA sudah hamil. Ini contoh yang buruk. Namun, tidak lebih buruk dari orang-orang bebal yang menutup mata kepada pendidikan seks sejak dini.

Padahal, jika mau menonton saja–tentu dengan pikiran yang jernih–kamu akan menemukan sebuah scene yang menyentuh hati. Ketika Bima, berbincang dari hati ke hati dengan ibunya. Bima meminta maaf, setelah sebelumnya mengaku kalau takut perbuatannya membuat sang ibu masuk neraka.

Tokoh Ibu, yang diperankan oleh Cut Mini, menutup perbincangan dengan kalimat yang kurang lebih berbunyi begini: “Seandaianya kita lebih sering ngobrol begini ya, Bim.”

Hubungan antara orang tua dengan anak, terutama di budaya kita, terkadang terasa “canggung”. Terutama ketika membicarakan soal pendidikan seks sejak dini. Tokoh Ibu menyesal karena nggak pernah ngobrol dengan anaknya soal pendidikan seks sejak dini, tentang reproduksi, tentang hubungan laki-laki dan perempuan, dan tentang segala hal yang sering lewat begitu saja karena terhalangi oleh anggapan “tabu”.

Membicarakan pendidikan seks sejak dini masih dianggap hanya soal hubungan badan saja. Padahal, di dalamnya berkelindan banyak hal. Soal kesehatan kelamin, tentang perubahan yang terjadi ketika masuk masa puber, tentang kesehatan reproduksi, tentang pola pikir remaja ketika tahu tubuhnya mulai berubah, dan lain sebagainya.

Lantaran “tabu”, membicarakan soal kelamin saja sudah risih betul. Kepada siapa seharusnya bertanya? Kepada Google? Kepada teman-teman yang sama tidak tahu dan justru menjerumuskan?

Melahirkan itu satu momen, tapi menjadi orang tua adalah seumur hidup. Pendidikan seks sejak dini, seperti yang ingin diperingatkan oleh “Dua Garis Biru” juga ada di dalamnya. Memahami soal “seks” bukan soal kelamin saja, tapi soal menghargai tubuh dan pola pikir manusia.

Ajari mereka apa itu pubertas. Perubahan fisik apa saja yang terjadi. Misalnya perubahan suara, tinggi badan, jerawat, hingga muncul bulu di beberapa bagian tubuh. Berikan juga panduan merawat diri, membersihkan bulu di tubuh, pengertian ereksi, ejakulasi, mimpi basah.

Pendidikan seks sejak dini juga mencakup cara menjalin hubungan dengan lawan jenis. Apa itu pacaran, dan batas-batas yang perlu dipahami anak. Film “Dua Garis Biru” ingin menhajarkan hal-hal penting itu, bukan malah mempopulerkan seks bebas. Hadeehh…

Untuk anak perempuan usia 9 hingga 10 tahun juga sebaiknya sudah mulai diajak ngobrol soal pendidikan seks. Misalnya soal pertumbuhan payudara, menstruasi, membeli dan memakai bra, memakai pembalut, menjaga kesehatan vagina.

Sama seperti yang perlu diketahui anak laki-laki, anak perempuan juga perlu diajari soal cara memperlakukan teman laki-laki, pacaran yang sehat, pelecehan seksual, dan batasan-batasan ketika pacaran.

Memang, mengikis tabu bukan pekerjaan singkat dan mudah. Kamu bisa mulai dengan beli buku pendukung, coba bangun suasana yang nyaman ketika berdiskusi, jangan berbelit-belit ketika menjelaskan, berikan pendidikan seks secara bertahap, dan jangan berlebihan. Maksudnya, jangan kagetan ketika anak sudah berusaha menahan malu untuk berdiskusi soal alat kelamin. Jangan justru marah, apalagi terancam.

Banyak kasus kehamilan sebelum pernikahan karena orang tua dan anak yang terlalu berjarak. Anak mereka sendirian ketika menjalani hari-hari berat itu. Ditekan oleh orang tua sendiri, dianggap aib, menjadi bahan gunjingan tetangga. Ujung dari sebuah stres selalu buruk.

Pendidikan seks bukan sesuatu yang tabu. Justru, usaha menekan rasa malu dan gelisah ini yang akan menyelamatkan keluargamu dari aib yang tak perlu. Dan, “Dua Garis Biru” ada di sana untuk membantumu.

Exit mobile version