MOJOK.CO – Kegagalan memahami makna atas fiksi dan imajinasi membuat penjelasan Rocky Gerung ditangkap secara salah oleh para politikus Indonesia.
Setelah hampir dua bulan ini dunia politik kita dijejali oleh kekeliruan yang terus mengular, pada acara Indonesia Lawyers Club (ILC) semalam, ada upaya dari Rocky Gerung untuk membuat benteng agar kebebalan tidak berlarut-larut. Ini tentang dunia politik kita yang gagal memahami apa itu “fiksi”.
Cara pandang orang atas fiksi nampaknya makin memburuk, ketika beredar kutipan pidato Prabowo yang menyatakan Indonesia bakal bubar pada tahun 2030. Para pengkritiknya membuli. Para pendukungnya lalu mengatakan bahwa itu diambil dari karya fiksi. Dari situlah istilah fiksi menjadi kayak comberan. Jelek. Buruk. Bohong.
Sialnya, pendukung Prabowo tidak menyatakan bahwa para pengkritik Ketua Umum Gerindra itu keliru memahami fiksi. Malah mencari argumen lain, yang diambil dari karya “nonfiksi”. Kekacauan makin terjadi.
Rocky Gerung mencoba meluruskan semua itu. Hanya sayang, karena acaranya di televisi dengan keterbatasan durasi, penjelasan Rocky Gerung tidak terlalu gamblang. Saya bahkan ragu, para politikus dari kubu yang saling berseberangan, yang berdebat dengan menjemukan itu, bisa menangkap dan mengerti apa yang dimaksud oleh Rocky Gerung.
Jamak di masyarakat kita, fiksi dianggap sebagai karangan, kebohongan, tidak nyata, dan lain sebagainya. Sialnya, bahkan istilah “karangan” pun sudah sedemikian negatif. Karangan dianggap sama dengan kebohongan. Sebagaimana kita menganggap buruk istilah “rekayasa”.
Padahal, istilah itu berasal dari dua kata yang menjadi dinamisator peradaban manusia: “reka” dan “yasa”. Bahkan istilah “mengakali” yang jelas-jelas penting pun kemudian maknanya jadi sangat buruk. Jangan heran jika kemudian istilah “radikal” pun buruk.
Para mahasiswa yang belajar filsafat pun tahu, salah satu cara berfilsafat haruslah berpikir radikal. Berpikir sampai “akar” masalah. Karena radikal berasal dari kata radix yang artinya ‘akar’.
Saking buruknya istilah fiksi, sampai Rocky pun dicecar pertanyaan bodoh soal kitab suci yang dinyatakannya sebagai “fiksi”. Lagi-lagi, para politikus yang mencecar itu, sudah terkena virus busuk di kepala mereka kalau fiksi itu dianggap sama dengan bohong, membual, dan mengada-ada.
Fiksi berasal dari bahasa Latin fictio, yang punya akar kata fingere. Kalau diartikan kira-kira: ‘membangun atau mengonstruksi’, ‘menemukan’, ‘membuat’, ‘mengkreasi’. Jadi tidak ada satu pun arti yang mengarah kepada kebohongan atau pembualan.
Lalu, di mana semua itu dikerjakan? Di telatah bernama “imajinasi”. Lagi-lagi jangan berpikir negatif tentang imajinasi. Karena tanpa imajinasi, manusia telah punah dari muka bumi, kalah berkompetisi dengan hewan, pupus karena bencana alam, hancur karena penyakit.
Mudahnya begini, kalau ada seorang pematung melihat sebatang tonggak kayu, lalu dia memahat kayu itu sehingga menjadi kepala banteng atau burung garuda, maka sesungguhnya dia telah menciptakan atau mengkreasi kedua benda itu di dalam imajinasinya. Baru kemudian dia mengerjakannya.
Kalau manusia melihat burung maupun benda bersayap lain terbang di udara dengan sayap, maka dia berandai-andai bisa terbang. Sejak itu pula, imajinasi bekerja hingga peradaban manusia mengenal pesawat terbang.
Demikian juga ketika orang membuat kapal selam, komputer, handphone, Facebook, dan lain-lain. Jadi hape itu lebih dulu ada di dalam imajinasi manusia, jauh tahun sebelum benda itu mampu dibuat. Orang sudah lama mengimajinasikan bagaimana supaya orang bisa berkomunikasi jarak jauh, tanpa telepon kabel.
Perumpamaan, persamaan, perbedaan, kreasi, simbol, citra, dan bahkan daya cipta saling taut, bersemayam di dalam wilayah yang penuh hidayah Tuhan bernama imajinasi. Nalar manusia yang kemudian ikut melahirkan ilmu pengetahuan itu, membutuhkan semua itu, dan hanya bisa diletakkan di sebuah wilayah bernama imajinasi.
Di situlah fiksi bekerja. Jadi kalau sekarang ini, Anda sedang menonton televisi atau menjelajah dunia lewat internet, maka sebetulnya Anda sedang berutang budi kepada fiksi dan imajinasi. Sebagaimana rumus-rumus eksakta pun berutang budi kepada kedua hal itu.
Dengan demikian, orang yang menyatakan bahwa fiksi itu bohong, bualan, tak nyata, pada dasarnya sedang menegasikan peranti terpenting dari diri manusia. Modal dominan yang dimiliki manusia sehingga bisa bertahan di bumi ini.
Tidak mengherankan jika dunia politik kita menjemukan dan menyebalkan, karena kebanyakan politikus kita bukan hanya miskin imajinasi. Bahkan mereka tidak tahu apa itu fiksi dan imajinasi.
Ketajaman dan daya jelajah imajinasi itulah, yang bahkan menggerakkan orang untuk punya visi, misi, dan bahkan konsepsi. Tanpa imajinasi, tidak ada bangsa ini. Ketika fiksi kebangsaan mulai digagas dan diperdebatkan, tidak ada yang menganggap itu kebohongan.
Bayangkan, alangkah jauh kualitas politikus kita sekarang dengan para politikus yang ikut merancang bangsa ini. Bahkan tepat ketika pidato Proklamasi dikumandangkan, fiksi dilantunkan dengan keras: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Memangnya saat itu entitas negara-bangsa Indonesia sudah ada? Belum ada. Hanya imajinasi dan daya fiksional yang bisa merengkuh dan menjangkaunya.
Sampai di sini paham ya! Semoga. Amin.
Sebagai penulis fiksi, sekaligus pernah belajar filsafat secara formal, saya sudah mencoba menjabarkan semudah dan sesederhana mungkin.
Nanti pasti muncul pernyataan, “Ah, Rocky Gerung kan memang selalu nyinyir kepada Jokowi dan dekat dengan poros tertentu.” Anggaplah itu benar, tapi apa yang dipaparkannya soal fiksi itu tepat, dan sesuai dengan kaidah ilmu yang ada. Setidaknya dia bicara dengan ilmu. Soal apakah dia berafiliasi dengan partai atau kekuatan politik tertentu, itu urusan dia.
Tapi bukankah seteru yang berilmu itu jauh lebih berguna dibanding kawan yang tuna-ilmu?