MOJOK.CO – Dunia telah merampas banyak hal yang saya sukai. Dan saya ingin mengembalikannya lagi.
Dulu, sekalipun sudah berusaha menahan diri, saya hampir selalu ikut-ikutan berkomentar tentang banyak hal. Baik permasalahan itu saya pahami, agak saya pahami, maupun sedikit saya pahami.
Saya sering ikut tandatangan petisi onlen. Menyebarkan dan mengampanyekan berbagai isu. Tapi kemudian saya saksikan sendiri, mendadak saya sibuk sekali. Setidaknya pikiran saya. Harus ada banyak isu yang harus saya pantau.
Kalau ada teman yang menyebarkan isu tentang sesuatu yang seksi dari sisi kemanusiaan, saya minimal ikut menyebarkannya. Atau paling tidak mengacungi jempol. Rasanya tidak enak saja jika tak melakukannya.
Tentu apa yang saya lakukan tidak salah. Saya tidak merasa bersalah. Tidak ada yang memaksa saya. Saya pribadi yang otonom.
Saya cuma merasa bahwa emosi saya mudah teraduk, pikiran saya terlalu banyak mengikuti berbagai isu. Itu membuat saya lelah. Saya kira, apa yang saya lakukan tidak terlalu tepat untuk orang seperti saya. Orang yang punya tanggungan keluarga, ada beberapa lembaga yang harus saya pikirkan, dan ada tanggungan kreatif yang harus saya ekspresikan. Lalu apa yang saya lakukan?
Pertama, saya banyak menggunakan fasilitas blokir pada medsos yang saya miliki. Akun-akun medsos itu punya saya. Saya berhak berinteraksi secara sehat dengan orang lain. Jika ada orang-orang tertentu yang mengganggu saya dan saya balas, saya menghabiskan waktu dan energi. Tidak membuat saya bertambah pintar, tidak membuat saya bertambah makmur, dan tidak juga membuat saya tambah bahagia. Jadi mulailah saya sering pergunakan fasilitas unfriend, unfollow, dan blokir. Dengan begitu, ekosistem medsos saya ada dalam kontrol saya sepenuhnya.
Kedua, saya memperjarang bermedsos. Sesekali saja. Dan tidak menggunakan fasilitas gulir untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan orang lain. Lalu aktivitas itu saya pakai untuk membaca lebih banyak artikel dan nonton Youtube.
Ketiga, tidak semua isu saya ikuti. Tidak mungkin saya mengikuti banyak isu. Tapi dulu, saya berusaha mengikuti banyak isu. Utamanya isu-isu politik. Kini saya batasi. Caranya, jika ada satu isu memanas, saya langsung bilang: Halah, bentar lagi juga reda. Rugi kalau saya ikuti.
Lebih baik saya menonton Youtube. Mulai dari nonton akun-akun para pemancing, akun tentang otomotif, lagu-lagu lama, pengajian Gus Baha’, sampai permainan catur. Kalau sudah masuk ke tema itu, biasanya saya malas masuk ke akun medsos. Kalau malas masuk ke akun medsos, ada banyak isu yang tidak saya ikuti. Itu artinya baik buat saya.
Keempat, memperbanyak ngopi. Saya punya beberapa lembaga. Lembaga-lembaga itu ada anggotanya. Dulu, saya berhubungan dengan mereka lewat Whatsapp. Sungguh itu efektif. Tapi saya kemudian mengubahnya dengan mempersering tatap muka.
Dengan tatap muka, kami akan banyak melakukan curah gagasan dan bercanda. Apalagi sambil ngopi dan merokok, sungguh asyik sekali. Keasyikan seperti itu membuat kami juga jarang mengecek hape. Sesekali saja. Itu pun jika ada yang penting.
Empat hal sepele itu ketika saya lakukan, lambat laun membuat efek positif di diri saya. Saya jadi tidak begitu peduli dengan banyak hal. Saya hanya peduli dengan sesuatu yang saya anggap penting. Jika ada isu yang saya tidak tahu, saya juga tidak malu. Malah saya agak senang. Syukurlah, saya tidak tahu sehingga tak perlu mikir.
Dunia telah merampas banyak hal yang saya sukai di dunia ini. Dan saya ingin mengembalikannya lagi. Pertemuan antarmanusia yang penuh canda, tanpa harus bergunjing dan ngomongin politik yang sebetulnya sesuatu itu hal yang jauh dalam kehidupan kami.
Kalau saya menggunjing soal Sandiaga Uno misalnya, apa untungnya buat saya? Saya ini anggota parpol bukan, timses bukan, politikus bukan, jadi apa yang membuat saya harus ngomongin dia? Bukankah lebih baik saya tertawa bersama teman-teman? Pikiran segar. Tak tegang.
Ada puluhan ribu persoalan sosial di luar sana. Semua itu akan terus terjadi kalau saya ikuti maupun tidak saya ikuti. Saya pilih saja yang kira-kira saya bisa punya kontribusi untuk menyelesaikannya. Atau keterlibatan saya tak menguras energi saya. Karena energi saya bukan milik saya sendiri. Ada keluarga, kawan, tetangga, rekan kerja, yang berhak atas energi saya. Bukan orang-orang nun jauh di sana.
Saya ingin tetap politis, tapi saya tetap ingin realistis. Jika dunia ini kejam, itu bukan salah saya. Dan saya tak perlu menyalahkan diri sendiri jika tidak terlibat mengatasinya.
Dunia telah menyita jatah gembira saya. Saya pun makin tua. Saya ingin lebih banyak tertawa dan bahagia. Tanpa harus menertawakan nasib dan penderitaan orang.
Saya bukan bersikap masa bodoh, saya hanya bersikap bodo amat. Apa bedanya? Saya tak tahu. Saya tak mau tahu.
Mari kita ngopi!