Agus Mulyadi dan PKS

KEPALA SUKU-MOJOK

KEPALA SUKU-MOJOK

MOJOK.CO – Ketika Agus Mulyadi diangkat sebagai pemred Mojok, banyak orang bertanya kepada saya: Kenapa Agus Mulyadi? Bukankah dia kader PKS?

Saya akan menjawab di sini. Supaya jelas. Juga supaya adil.

Pertama, Agus Mulyadi bukan kader, tapi dia mencoblos PKS. Terus apa yang salah? Mencoblos adalah hak warga negara. Agus sendiri hanya menggunakan haknya. Lalu di mana salahnya? Bukankah PKS memang partai yang legal?

Kedua, Agus tidak munafik. Dia tidak peduli orang mau mengejek dirinya. Sejak saya mengenal dirinya, Agus selalu jujur kepada siapa saja bahwa dia mencoblos PKS. Alasannya sederhana tapi penting. Dia pernah ditolong oleh tetangganya yang merupakan kader PKS.

Saat masih pengangguran, Agus diberi pekerjaan dan dibiayai kursus komputer. Orang ini juga dikenal banyak menolong orang lain di kampung Agus. Sampai di sini, di mana kekeliruan Agus? Dia mencoblos orang yang dia kenal, yang dianggap baik dan amanah. Agus percaya bahwa hal apa pun yang dilakukan di hidup ini akan diminta pertanggungjawabannya di depan Tuhan nanti. Dia juga merasa harus mempertanggungjawabkan hal coblosnya.

Saya tidak pernah ikut pemilu legislatif. Alasan saya juga sederhana tapi prinsipil: karena saya tidak merasa kenal calon-calon yang ada di daftar calon legislatif. Kenapa saya harus mencoblos? Bagaimana saya bisa memberikan amanah kepada orang yang tidak saya kenal? Saya tidak mau.

Suara saya memang hanya satu, tapi saya punya kesadaran politik yang membuat saya tak mau pergi ke bilik suara. Saya juga tidak punya kedekatan emosional dan politik dengan partai-partai yang ada. Tambah kokoh alasan saya untuk tidak mencoblos.

Ketiga, Agus dibilang sering mengisi kegiatan di PKS. Iya. Itu benar. Tapi jangan salah, semua partai yang meminta Mojok mengisi materi, entah workshop atau seminar, pasti dilayani. Siapa pun. Dari partai mana pun. Dan asal tahu saja, Agus juga pernah mengisi acara di KSP (Kantor Staf Presiden).

Keempat, kita sering gegabah menilai bahwa sikap seseorang pada satu hal itu konsisten dan menyeluruh. Di Indonesia, tidak seperti itu. Agus salah satu contohnya. Dia mencoblos PKS, tapi ketika pilpres mencoblos Jokowi.

Coba lihat berbagai hasil survei yang ada di Indonesia. Jokowi banyak dicoblos oleh warga yang mencoblos partai-partai yang justru tidak mengusung dirinya. Juga sebaliknya. Banyak juga orang yang mencoblos PDIP, lalu memilih Prabowo. Harus lengkap ketika membaca hasil survei agar makin memahami sikap perilaku warga negara.

Kelima, ini yang paling menjengkelkan: Agus berjenggot. Terus kenapa kalau Agus berjenggot? Dia mempercayai itu perilaku sunah. Itu ekspresi dari kayakinannya. Dia tidak pernah sinis mengejek orang tak berjenggot. Saya pribadi menghormat ekspresi Agus. Tidak pernah menghina jenggot Agus sebagaimana saya tidak menghina orang berjilbab, tatoan, bercelana cingkrang, bertindik, gondrong, dll. Suka-suka mereka. Setiap orang berhak mengekspresikan keyakinan dan yang mereka sukai. Kenapa harus cerewet amat dengan ragam ekspresi orang?

Itu jawaban saya. Lain soal kalau kemudian Agus membuat Mojok menjadi media yang pro-PKS. Kalau itu yang dia lakukan, saya yang akan pertama mengadangnya. Sebab Mojok dibuat memang bukan untuk dukung-mendukung politik elektoral. Tidak untuk kepentingan semacam itu.

Itu jawaban saya. Kalau kalian tidak suka dengan PKS, saya pribadi juga cenderung tidak suka, dan tidak suka dengan semua partai politik. Tapi kalau mereka datang ke kantor Mojok, saya meminta semua harus diterima dengan baik. Wajib hukumnya menerima kedatangan orang, bersikap baik dan memuliakan tamu.

Kalau kalian mau menurunkan suara PKS, silakan saja. Itu juga boleh. Itu bagian dari pertarungan politik. Kalau ingin membubarkan PKS, saya tidak ikut-ikut. Saya tidak suka politik bubar-bubaran. Kalau hanya menuruti keinginan membubarkan, rasanya semua partai politik ingin saya bubarkan. Tapi apa hak membubarkan mereka?

Begitu dulu ya. Ini penjelasan yang semoga mudah dimengerti. Kalau tetap tidak bisa dimengerti ya mau bagaimana lagi. Hal itu mungkin sudah masuk ke persoalan kemampuan berpikir.

Exit mobile version